Selasa, 30 Juni 2009

Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperialisme Pendidikan

Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperialisme Pendidikan
oleh: Erinto Sumardi

Sebagai sebuah realitas yang tidak dapat ditawar-tawar, pendidikan memiliki peran yang teramat urgen bagi perkembangan pribadi manusia.

Keterbelakangan Pendidikan Rakyat
Pendidikan berakar dari kata didik yang berarti mengarahkan ataupun membimbing. Segala upaya yang diarahkan untuk mendidik ataupun membimbing seseorang merupakan bahagian dari upaya pendidikan. Senapas dengan itu pendidikan tidak lepas dari beberapa komponen yang satu sama lain saling bertautan, jika satu dari mereka tidak ada maka proses pendidikan tidak akan mungkin terjadi.

Komponen tersebut adalah: Pendidik dan peserta didik. Komponen tersebut merupakan bagian yang paling fundamen dari sebuah proses pendidikan. Seorang pendidik bertugas mengarahkan dan mentransformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didiknya, guna mengarahkannya mencapai sesuatu yang bermakna. Dalam kaitan itu seorang pendidik dituntut untuk memiliki kualifikasi dan kompetensi akademis yang memadai.

Dalam Permendiknas Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 28 disebutkan bahwa, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki tujuan pendidikan. Lebih lanjut dalam Pasal 30 dijelaskan, seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, kompetensi tersebut meliputi, kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi propfesional dan kompetensi sosial (UU NO 20 tahun 2003).

Selaras dengan itu seorang Pendidik juga memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk mengetahui sejauh mana anak didiknya bersikap dan berafiliasi dengan teman-temannya yang lain, dalam hal ini aspek Afektif menjadi harga mati dari sebuah proses pendidikan. walapun tetap harus memperhatikan ranah Kognitif dan Psikomotoriknya. Walaupun dalam prakteknya sering terjadi antithesis dalam wilayah Afektif dan Kognitif, yang terjadi adalah pendidik seolah-olah menjadi orang yang paling berkuasa di kelasnya, komunikasi timbal balik tidak berjalan sebagaimana mestinya, penekanan aspek verbal menjadi tuntutan pendidik. Sehingga pencapaian Assessment hanya dilihat dari aspek skor dan nilai dari peserta didik.

Hal tersebut secara tidak langsung akan mematikan kreatifitas peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Perlu untuk digarisbawahi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi alamiah yang berbeda-beda yang jika dipaksakan terhadap sesuatu hal akan mengganggu kejiwaannya. Artinya adalah memberikan mereka kebebasan untuk berkreatifitas dan menunjukan kemampuan terbaiknya merupakan uregensi seorang pendidik.

Sejatinya, seorang pendidik mengarahkan peserta didik untuk lebih mengeksplorasi aspek afektifnya. Pembinaan mental dan sikap merupakan peran utama seorang pendidik yang harus benar-benar berfungsi dengan baik. Sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi manusia yang sadar nilai dan mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang Agung yang tidak berbuat sesuka hati dan menempatkan nilai dan moral di atas segalanya.

Sarana dan Prasana Pendidikan. Tidak berbeda dengan komponen yang telah disebutkan di atas komponen ini juga teramat urgen dalam upaya mengembangkan proses pendidikan. Hal tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik (UU No 20 tahun 2003).

Tanpa adanya sarana dan prasarana yang baik maka upaya pengembangan pendidikan tidak akan terjadi sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terlihat ketika pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh. Berapa banyak Sekolah yang hancur dan berapa banyak sarana dan prasarana pendidikan yang hilang dan rusak parah.

Akibatnya para siswa tidak dapat melaksanakan proses pendidikan sebagaiamana mestinya kalaupun harus dipaksakan mereka hanya bisa bersekolah di tenda-tenda darurat ataupun di gedung-gedung sekolah yang sangat tidak layak. Hasilnya adalah ketika terjadi UAN pada tahun 2006 banyak dari anak-anak Aceh yang tidak lulus pada Ujian Akhir Nasional.

Tidak hanya itu Gempa Bumi dan Tsunami Aceh juga berimbas kepada anak-anak Aceh yang kian terganggu mental dan kejiwaannya, diakibatkan stress maupun trauma yang berkepanjangan padahal potensi intelektual, emosionl dan kejiwaan merupakan potensi sarana dan prasarana yang sangat esensi bagi proses-proses pendidikan.

Komponen tersebut di atas merupakan hal yang sangat asasi bagi kemajuan pendidikan bangsa ini. Itu harus menjadi perhatian pemerintah jika tetap ingin mengembangkan dunia pendidikan di negara ini. Walaupun harus diakui secar jujur bahwa kian hari dunia pendidikan kita nyaris semakin tertinggal. Hal ini dibuktikan dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Hal tersebut semakin diperparah dengan tingkat kemiskinan yang semakin mengelembung, kehidupan masyarakat kumuh yang berbaris semraut di pinggiran sungai malah semakin menggeliat. Di beberapa daerah malah terkuak anak-anak Balita yang menderita busung lapar, kelaparan terjadi di beberapa daerah, bahkan beberapap penyakit menular juga bertubi-tubi menyerang bangsa ini. Masyarakat semakin terperosok jauh ke belakang untuk kemudian meratap sedih terhadap sanak kelurga mereka yang tak berdaya. Alih-alih untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk menghidupi keluarga saja mereka tidak sanggup lagi.

Dan inilah yang terjadi hari ini, betapa tidak pendidikan seyogianya menjadi milik seluruh warga
masyarakat tanpa terkecuali, malah seperti perjalanan panjang yang tanpa garis finish.

Imperialisme Pendidikan
Pasca Revolusi Prancis, Inggris dan beberapa negara Eropa, istilah pembaharuan semakin sering terdengar. Istilah semacam aufklarung, renessaince, revolusi bahkan istilah imperialisme merupakan istilah yang cukup populer di mata bangsa barat. Bahkan kata-kata tersebut menjadi simbol pada setiap pergerakan dan aksi-aksi mereka (baca: barat). Salah satu istilah yang cukup populer adalah imperialisme. Istilah imperialisme merupakan istilah yang digunakan untuk melakukan penjajahan ataupun suatu usaha untuk melakukan penyerangan baik dalam bentuk sosial, budaya, politik, militer, ataupun pendidikan terhadap
wilayah yang dianggap sebagai objek lawan. Intinya adalah mempengaruhi, merusak, menjajakan, serta
menjajah negara lain adalah kata kunci imperialisme.

Imperialisme Pendidikan yang terjadi di negara ini bukanlah barang baru. Jauh-jauh hari bentuk penjajahan ini telah berlangsung lama dan rapi. Bangsa ini dihadapkan pada wajah dunia yang harus
diikuti dan dituruti. Pendidikan seolah-olah milik mereka yang berkuasa, pendidikan seolah-olah hanya milik mereka yang berlatar belakang kaya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Fakih Mansour "Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran aliran positivisme". (Fakih Mansour, 1999:22).

Besarnya biaya pendidikan dari mulai tingkat pendidikan dasar, menegah sampai perguruan tinggi begitu sungguh mengagumkan. Bayangkan saja untuk masuk ke sekolah dasar yang cukup ternama orang-orang tua siswa dipungut beberapa juta rupiah, itu yang terjadi ketika setiap kali tahun ajaran baru dimulai. Begitu juga, kenaikan biaya pendidikan tinggi (perguruan tinggi) juga tidak main-main. Di privatisasinya beberapa perguruan tinggi terkemuka semakin menjadi momok dan monster yang menyeramkan bagi para anak-anak bangsa ini yang hendak mengeyam ke jenjang pendidikan tinggi.

Istilah privatisasi perguruan tinggi merupakan hal yang baru bergulir satu dasarwarsa terakhir ini. Beberapa perguruan tinggi ternama, semisal UI, UGM, ITB, UNPAD, USU dan beberapa perguruan tinggi lainnya resmi menyatakan siap di-privatisasi, dan berubah statusnya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Bahkan untuk beberapa jurusan terkemuka semisal, kedokteran pihak rektorat dengan berani mematokan sekian ratus juta untuk dapat diterima jika memang mereka benar-benar dari keluarga berada namun secara kemampuan kognitif tidak sanggup memasukinya.

Digulirkannya privatisasi perguruan tinggi negeri cukup mendapat respon yang marak dari kalangan mahasiswa, demonstrasi terjadi dimana-mana untuk menolak kebijakan itu. Namun apa lacur, pemerintah tetap memprivatisasi perguruan tinggi yang dianggap mapan dengan beberapa alasan, di antara alasan-alasan itu adalah agar perguruan tinggi baik Dosen-dosen dan aparat Kampus semakin profesional karena dalam hal ini pihak rektorat dapat kapan saja untuk memberhentikan dosen-dosen yang tidak berkualitas.

Hal ini juga ditengarai untuk menghapuskan subsidi pemerintah terhadap perguruan tinggi. Artinya perguruan tinggi harus mampu untuk mencari dan mengembangkan keprofesionalannya sendiri tanpa harus mengemis kepada Pemerintah.

Kebijakan privatiasi tersebut seolah-olah menjadi solusi dan jawaban terhadap sekian persoalan pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Namun secepat itukah. Sudah layakkah beberapa perguruan tinggi negeri tersebut diprivatisasi. Apapun itu, bola telah menggelinding, aksi telah dilakukan, privatisasi telah terjadi. Lihat berapa banyak anak-anak pintar dan cerdas di negeri ini, dikarenakan tidak memiliki cukup dana terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengambil jurusan kedokteran ataupun jurusan bergengsi lainnya.

Pendidikan Untuk Rakyat
Pendidikan memanusiakan kembali manusia dari dehumanisasi struktural dan sistem sosial yang menindas. Begitulah ungkapan Paulo Freire yang hingga kini tidak akan pernah terlupakan. Pendidikan harus mampu menjadi penyelamat manusia dari ketertindasan, kemiskinan, kemelaratan dan marginalisasi.

Upaya untuk memanusiakan manusia merupakan segmen utama dari pendidikan. Dalam UU tentang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pada Pasal 5 dijelaskan, "bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". Itu artinya setiap anak bangsa di negeri ini memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan tanpa melihat latar belakang kehidupannya.

Dengan pendidikan manusia hina menjadi bermartabat, bahkan dengan pendidikan orang-orang jahiliyah di masa Rasul Muhammad SAW, menjadi mulia. Hal itu tidak lepas dari didikan Muhammad SAW terhadap kondisi masyarakat Quraisy yang sangat Jahiliyah. Berawal dari sebuah rumah sederhana milik sahabat Nabi bernama Arkam inilah proses tarbiyah dimulai. Hasilnya adalah betapa dari didikan Rasul, Muhammad SAW ini bermunculan orang-orang besar yang kemudian membesarkan Islam sampai ke penjuru Jazirab Arabiah dan Eropa.

Realitas pendidikan yang kian mensubordinasi dan memarginalisasi masyarakat merupakan ancaman terhadap demokratisasi dan tujuan pendidikan. Sejatinya, masyarakat dapat mengeyam pendidikan sama dengan masyarakat mampu yang lain dikarenakan pendidikan merupakan hak seluruh warga masyarakat. Kalaulah bangsa ini hendak bercermin, bangsa Jerman dapat menjadi sampel bagaimana mereka mampu mengelola pendidikan gratis di negara itu. Walaupun gratis namun dalam tataran kualitas tidak perlu diragukan lagi. Kalaupun upaya untuk menggratiskan seluruh tingkatan pendidikan tidaklah mungkin, minimal pada jenjang pendidikan dasar tidak dipungut biaya (UU NO 20 tahun 2003).

Sudah saatnya pemerintah dan orang-orang yang berkompeten di bidang ini melihat hal itu, memikirkan kembali pendidikan rakyat yang kian terpuruk. Potensi penduduk negara ini yang cukup besar merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk mensuplai orang-orang yang berkualitas. Ragam cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan anak rakyat ini dari kebodohan, ketertindasan, bahkan kejahiliyahan
struktrual yang kian menggelayut. Yang terpenting adalah kesungguhan pemerintah dan kearifan penguasa negeri ini untuk tidak melihat mereka semakin tertindas.***

Pendidikan atau Pembodohan

Pendidikan atau Pembodohan

REALITA pendidikan sekolah saat ini menyeleweng dari tujuan mencerdaskan anak bangsa demi memanusiakan manusia.

Quo vadis pendidikan Indonesia? Puncak tertinggi makna dari sebuah pendidikan adalah kemampuan mencapai ilmu sebanyak mungkin dengan mendatangkan manfaat kepada diri sendiri dan orang lain. Selain itu, menuntut ilmu adalah salah satu bentuk ketaatan kita terhadap Tuhan. Menuntut ilmu adalah suatu ibadah.

Bagaimana mungkin kita tidak menyadari tentang adanya praktik pembodohan massal di beberapa sekolah di Indonesia. Banyak orangtua merasa geram dengan fenomena yang terjadi selama ini. Kondisi diperparah dengan kejadian akhir-akhir ini. Sungguh pembuktian nyata yang tidak dapat di pungkiri oleh siapa saja.

Fenomena Unas cukup mencengangkan masyarakat. Kok bisa!! Itu ekspresi bagi orang yang tergolong baru mendengar fenomena pembodohan sekolah, tapi bagi orang yang tidak merasa kagum atau heran, fenomena itu bukanlah suatu barang langka.

Paparan di atas merupakan indikator adanya kepentingan golongan untuk meraih ambisi pribadi. Selama pendidikan kita masih di selimuti oleh kepentingan-kepentingan golongan, kemajuan dan perubahan tidak akan terjadi. Kemunduran dan kebodohan negaralah yang akan terealisasi dengan cepat.

Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik awal adalah periode pertama yang sangat penting untuk diperhatikan oleh orang tua selaku orang terdekat. Karena pada tahap ini, adalah tahapan terbaik untuk mencerna segala sesuatu yang ditanamkan oleh orang tua ataupun lingkungannya, alangkah baiknya jikalau orang tua menanamkan nilai-nilai kejujuran, norma dan etika pada masa perkembangan ini.

Belajar yang baik tidaklah hanya bisa dilihat dari tingginya nilai-nilai yang dicapai, namun satu hal yang tidak kalah penting adalah proses untuk mencapai dan menuju hasil. Dalam bahasa Arab dikatakan”Attoriqoh ahammu mina-l maaddah”.

Hai inilah yang sering dilupakan oleh orangtua. Ketika menjawab soal, siswa tidak mempunyai kepercayaan diri dan kejujuran untuk itu. Penginginan hasil yang instan dan cepat tanpa usaha adalah pandangan yang harus diubah. Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat dicapai tanpa adanya kegigihan usaha.

MENGEMBALIKAN “ROH” PENDIDIKAN

Driyarkara pernah menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah “memanusiakan manusia”. Artinya, lewat pendidikan itu setiap peserta didik digembleng agar dapat menjadi “manusia”. Dan Plato bilang bahwa manusia adalah “binatang yang berakal budi’. Manusia dapat menjadi “manusia” kalau ia mempunyai akal dan mempunyai budi. Filosofi ini berkembang pada abad ke-21 dengan rumusan tentang multi-kecerdasan yang mesti dimiliki oleh seorang manusia, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Roh utama pendidikan adalah membangun individu yang cerdas, terampil, dan berbudi pekerti luhur.
Namun, yang terjadi sekarang ini adalah penjungkirbalikan arah pendidikan. Sekolah hanya mengejar target nilai Ujian Nasional (UN) sehingga mengesampingkan misi “pemanusiaan manusia” yang menjadi roh pendidikan itu sendiri. Sekolah hanya bertujuan meluluskan siswa sehingga menafikan proses pembelajaran. Dampaknya adalah lahirnya budaya pragmatisme dan serba-instan dalam praktik pendidikan. Karena tujuan akhir adalah tingginya tingkat kelulusan siswa, maka sekolah lebih memilih cara-cara yang pragmatis. “Apa pun caranya, yang penting adalah hasilnya”. Demikianlah motto yang dipegang.
Pada hari-hari menjelang UN, sekolah menjadi sangat sibuk. Berbagai upaya dilakukan agar siswa siap menghadapi UN. Mulai dari memberi jam pelajaran tambahan sampai gemblengan mental-spiritual. Dari sinilah sering muncul titik ironi dalam praktik pembelajaran di kelas. Taruhlah adanya pelajaran tambahan. Kegiatan ini justru sering membebani siswa dengan tugas-tugas yang amat melelahkan, karena hampir 100% kegiatan ini digunakan untuk drill soal saja. Kelas tak lebih dari tempat bimbingan belajar atau kursus tentang kiat-kiat mengerjakan soal. Serba kilat, serba smart. Padahal, pendidikan itu merupakan proses yang membutuhkan waktu. Dan, dalam pandangan Contextual Teaching and Learning (CTL), setiap individu adalah unik. Setiap individu memiliki “bakat” masing-masing dalam belajar.
Belajar juga mensyaratkan adanya pembiasaan dan kesinambungan. Belajar merupakan sebuah rutinitas, yang mestinya dilakukan oleh setiap individu secara teratur. Tidaklah bijaksana apabila belajar dilakukan secara instan. Memaksa siswa kelas IX atau kelas XII untuk menguasai materi dalam waktu yang singkat, sama sekali tidak ada gunanya. Sebab setelah ujian semua materi pembelajaran itu akan hilang begitu saja tanpa bekas
Yang paling menggelikan adalah maraknya pendekatan spiritual dalam menghadapi UN. Doa-doa dipanjatkan agar setiap siswa diberi “jalan yang terang” agar bisa mengerjakan soal UN dengan benar. Bahwa manusia harus beribadah kepada Sang Khalik itu memang sudah layak dan sepantasnya. Tetapi, maraknya kegiatan ibadah hanya pada saat menghadapi UN, justru kontra-produktif dengan hakikat pendidikan agama. Seolah kita baru ingat kepada Tuhan hanya pada saat Ia kita butuhkan saja.
Akhirnya, menjadi PR bagi kita untuk merenungkan sekali lagi tujuan dan hakikat pendidikan. Menjadi tugas bagi kita untuk mengembalikan “roh” pendidikan yang selama ini terabaikan. UN boleh saja diadakan, tetapi bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. UN mestinya dilakukan dengan tujuan untuk memetakan mutu pendidikan dan kualitas setiap sekolah. Bahkan bila perlu jangan hanya mata pelajaran tertentu saja yang di-UN-kan, tetapi semua mata pelajaran!
Lalu, kepada siapa kita bisa berharap untuk membenahi semua ini? Yang pertama tentunya kepada guru yang menjadi ujung tombak dalam pendidikan. Namun, selama ini guru hanya menjadi robot yang penurut. Guru adalah prajurit patuh yang siap berperang tetapi tidak tahu untuk apa perang itu! ***

Un, Kebijakan yang Tidak Memanusiakan

Un, Kebijakan yang Tidak Memanusiakan


Mulai bulan Januari tahun ini sekolah termasuk didalamnya Kepala sekolah, guru, dan siswa disibukkan dengan persiapan Ujian Nasional (UN).

Mulai dari pembelian buku-buku (bank-soal UN), mengikuti bimbingan test sampai kepada penambahan jam belajar disekolah.

Berdasarkan peraturan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 72 ayat (1) d yang menyebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi empat syarat. Pertama, telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran.

Kedua, memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional. Maka UN telah resmi menjadi ”anak tangga” terakhir bagi para siswa melalui tingkat satuan pendidikan masing-masing apakah layak melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya atau tidak.

Sejak awal kebijakan UN terus menuai kritik dari para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat. Namun pemerintah tidak pernah mau mendengarkan bahkan terus ”mengeraskan hati”. Mendiknas dan BSNP menetapkan bahwa untuk tahun 2009, peserta UN dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Terjadi peningkatan angka kelulusan dari tahun lalu sebesar 0,25 (nilai rata-rata 5,25 dengan nilai terendah 4,00).

Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN. Sedangkan kriteria kelulusan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) untuk sekolah dasar ditetapkan melalui rapat dewan guru. Penetapan mencakup nilai minimum setiap mata pelajaran yang diujikan serta nilai rata-rata ketiga mata pelajaran, yakni bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Pelaksanaan UN tahun ini untuk SMP, MTS, dan SMPLB pada 27-30 April dan ujian susulan 4-7 Mei. Mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Untuk jenjang SMA dan MA: 20-24 April dan susulan 27 April – 1 Mei. SMK dan SMALB: 20-22 April, susulan 27-29 April. Untuk SMA ada 6 MP yang diujikan, sedangkan SMK ada 3 MP.

Dampak Kebijakan yang Tidak Memanusiakan

Menurut hemat penulis, kebijakan UN cenderung menjadi kebijakan yang tidak memanusiakan. Beberapa alasannya antara lain; Pertama, digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandarisasi, ini merupakan salah satu dampak yang paling eksistensial. UN yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan kebijakan yang tidak menghargai keunikan pribadi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan.

Lewat UN dimensi etis individu tidak diakui lagi. Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreativitas, juga kebebasan dalam mengembangkan diri, penilaian kelulusan yang hanya mendasarkan pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat manusia.

Kedua, terjadinya kriminalisasi pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya memanusiakan manusia. Jadi, ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan, membudayakan, dan mengindonesiakan menghasilkan yang sebaliknya, disitu terjadi kriminalisasi pendidikan.

Ketiga, menipisnya kecintaan siswa kepada sekolah, siswa tidak lagi ”candu sekolah”. Sekolah-rumah kedua bagi siswa-yang seharusnya menyediakan lingkungan, sarana, dan prasarana belajar yang kondusif bagi siswa malah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari Bimbingan belajar (Bimbel).

Keempat, Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi siswa juga terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban siswa.

Kelima, membunuh karakter. Untuk memperoleh hasil ujian sesuai standar, para siswa mengikuti bimbingan belajar alias bimbel, tapi realitasnya adalah bimbingan tes. UN adalah upaya instan yang bersifat darurat hanya untuk lulus ujian, sedangkan bimbel adalah unit gawat daruratnya. Jadi, UN bukanlah sarana pendidikan kerja keras dan semangat bersaing, apalagi sarana pembentukan karakter. Bukannya justru menciptakan etos kerja yang tinggi malah menghasilkan budaya malas. Mau jadi apa anak bangsa ini nanti?
Berharap dari Pemilu

Menurut hemat penulis, salah satu akar permasalahan tersebut adalah ketika orang-orang yang mengisi jabatan di departemen pendidikan bukan mereka yang memahami bahwa pendidikan hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Kesalahan terjadi ketika yang dipercaya menangani pendidikan ternyata tidak peduli falsafah tentang hakikat manusia, realitas kehidupan, dan bagaimana ”ilmu sekolah”dapat berdampak positif dalam peradaban manusia.

Mencuatnya selalu kasus pelaksanaan UN dari tahun ke tahun adalah sebuah ekses dari manajemen pendidikan kita yang tidak visioner, pembentukan kebijakan publik yang dilakukan secara eksklusif, dan menganggap masyarakat semata-mata sebagai objek. Itu dikarenakan penempatan SDM yang tidak tepat. Bukankah menempatkan seorang akuntan menjadi seorang mentri pendidikan sesuatu yang salah ?. Menempatkan orang yang benar pada tempat yang benar merupakan solusi tepat didalam memperbaiki pendidikan Indonesia. Harapan itu ada pada pemilihan umum presiden yang akan datang.

Siapapun presiden yang terpilih mendatang sudah saatnya memberlakukan kebijakan bahwa tidak ada satupun kebijakan publik (termasuk pendidikan) yang dapat diberlakukan tanpa melalui cara-cara yang demokratis. Cara-cara yang demokratis harus memperhatikan pentingnya sosialisasi rencana kebijakan, menjaring dan menyaring masukan publik melalui serangkain konsultasi publik dengan time frame yang memadai, dan memberlakukan kebijakan publik tersebut secara hati-hati dan bertahap. Siapapun yang menjadi presiden mendatang hendaknya menempatkan pendidikan bukan hanya sebatas political will, tapi harus sampai pada political action.

Senin, 29 Juni 2009

MEMPERTARUHKAN MASA DEPAN

MEMPERTARUHKAN MASA DEPAN
Oleh ERINTO SUMARDI

Salah satu ciri khas dari peradaban kontemporer adalah maraknya spesialisasi profesional, berdasarkan pengkhususan perhatian disiplin ilmiah dan pertimbangan efektivitas usaha atau demi efisiensi kerja.
Proses itu berjalan terus, nyaris tanpa kendali dan jumlah jenis profesi di masyarakat terus meningkat. Meski semua itu tidak mutually exclusive, pentingnya kaitan profesional satu dengan yang lain tak selalu ditonjolkan karena khawatir penonjolan itu menjurus ke penentuan signifikansi relatif dari satu spesialisasi terhadap spesialisasi yang lain. Atas berbagai spesialisasi itu, publik umumnya tidak peduli.
Profesi guru
Demonstrasi guru (Kamis, 19 Juli 2007) di Jakarta dan respons pemerintah mendorong kita untuk berpikir, seberapa penting profesi guru di negeri kita.
Signifikansi profesi guru bisa diketahui melalui penyederhanaan jumlah semua profesi di masyarakat. Dari jumlah puluhan itu—di komunitas nasional maju bisa ratusan—dapat direduksi, essentially reasonable, menjadi dua kelompok profesional. Pertama, adalah "guru", yang kedua adalah "dan lain-lain". Kelompok kedua ini meliputi, dari yang tertinggi, yaitu "presiden", sampai yang terendah, "penyapu/pembersih" atau profesi setara.
Pengelompokan yang sekaligus esensial dan reasonable ini bukan bersifat simbolis. Ia adalah riil-historis. Esensial karena tidak akan ada "presiden", "menteri", "jenderal". name it all together, kalau tidak pernah ada "guru" yang mengajari mereka. Reasonable mengingat kerja keguruan yang langsung terkait dengan kegiatan penting manusia yang mencerahkan—pendidikan—untuk terus semakin memanusiakan dirinya sambil menyiapkan sendiri masa depan kemakhlukannya.
Respons pemerintah
Bentuk respons pemerintah terhadap demo dari profesi yang signifikan ini pantas disesalkan, betul-betul unreasonable, tidak bertanggung jawab.
Pertama, bukan Presiden sendiri yang menerima wakil dari ribuan guru yang berunjuk rasa. Presiden tentu sadar, dia bukan hanya Kepala Negara, tetapi juga Kepala Pemerintahan. Pejabat eksekutif nomor satu di republik ini seharusnya tahu, yang berunjuk rasa itu bukan sembarang orang, tetapi yang, by profession, menyiapkan kelangsungan hidup bangsa kita. Dia bisa saja berdalih ada kesibukan lain, tetapi ini adalah sikap resmi Presiden yang untuk kesekian kalinya menunjukkan bahwa dia "terpanggil" untuk memimpin, tetapi bila saatnya tiba, "gentar" memimpin. Dia bisa saja mendelegasikan otoritasnya kepada para menteri sebagai pembantu, tetapi tidak seharusnya mendelegasikan tanggung jawabnya sebagai kepala eksekutif. You may delegate your authority, but never delegate your responsibility.
Kedua, para pejabat yang mewakili pemerintah dengan sadar dan sengaja menyembunyikan kebenaran. Jumlah mereka—sampai empat menteri—tidak bisa menutupi pelecehan pemerintah terhadap profesi guru. Menteri Hatta Rajasa mengungkapkan, hak budget dipegang DPR. Dia sengaja tidak mengatakan, di alam demokrasi, pemerintah berhak menyampaikan anggaran kepada DPR. Bagaimana DPR mau memutuskan jika tidak diusulkan. Selama ini pemerintah belum pernah eksplisit mengetengahkan angka 20 persen sebagai realisasi anggaran pendidikan minimal. Tidak ada uang? Nonsens! Kenyataan ada uang untuk kenaikan gaji menteri dan anggota DPR. Akuilah, yang tidak ada bukan uang, tetapi komitmen, kesungguhan mengakui signifikansi kerja pendidikan bagi masa depan bangsa.
Mencela demo
Tentu ada orangtua yang mencela demo guru sebagai perbuatan tidak terpuji karena bisa berdampak negatif terhadap sikap dan perilaku anak-anak. Kekhawatiran ini benar dan bisa terjadi bila orangtua juga bersikap tidak acuh dan meremehkan signifikansi kerja guru bagi perkembangan kemanusiawian anak-anaknya. Dengan segala keterbatasannya, selama ini para guru telah bertindak sebagai orangtua kedua di sekolah. Alih-alih mencela, kini saatnya para orangtua bersikap sebagai guru kedua di rumah. Terangkan sejujurnya kepada anak-anak, berbagai alasan mengapa guru mereka sampai meninggalkan kelas untuk berdemo di luar sekolah.
Para guru itu bisa saja bukan sanak keluarga dari orangtua yang jengkel atas sikap guru. Namun, mereka telah berbuat banyak, meski dengan keadaan finansial serba minim. Para orangtua ini hendaknya membaca reportase sebab-sebab demo dengan nurani terbuka, tidak hanya dengan mata terbuka, lalu menggugah nurani anak-anaknya untuk memahami penderitaan para guru. Mereka turun ke jalan bukan tanpa alasan. Marilah kita renungi alasan-alasan itu.
Para guru, di mana pun, melalui profesinya, memberi jasa lebih banyak daripada imbalan yang diterima. Artinya, di seluruh dunia, gaji guru selalu relatif lebih rendah daripada orang yang sama tingkat pendidikan praprofesionalnya, tetapi bekerja di bidang nonpendidikan. Namun, di sana, jumlah absolut balas jasanya masih bisa dianggap reasonable. Adapun di sini tidak karena penetapannya dilakukan secara terpisah dengan penggajian di bidang-bidang lain, sama sekali lepas dari asas kesepadanan, kepatuhan, dan keadilan dilihat dari sudut keseluruhan dan kebersamaan tanggung jawab dan hak.
Kita beruntung, dengan sistem balas jasa yang serba pincang ini, masih ada orang yang bersedia menjadi guru. Bersedia memberikan jasa lebih banyak daripada imbalan jasa yang diterimanya. Bersedia mengabdi tanpa menerima tanda jasa apa pun di dadanya sebagai simbol pengakuan terhadap setiap prestasi lebih yang telah diberikan. Para guru ini, melalui dedikasinya, betul-betul telah berusaha menyiapkan masa depan kita semua karena sadar, di sanalah kita semua akan menjalani bersama-sama sisa hidup itu.
Tidak gampang untuk bisa menyatakan apa yang membuat suatu bangsa kukuh dan maju. Namun, mudah sekali untuk mengatakan kapan bangsa ini mulai goyah eksistensinya, yaitu bila generasi yang sedang berkuasa melalaikan pendidikan generasi penerusnya, melalui pelecehan terhadap kinerja pengabdi nomor satu di bidang pendidikan itu, yaitu guru.
Nurani bangsa, di mana Anda? Bangun dan bicaralah!

Konstruksi Nasional Pendidikan Kita


Konstruksi Nasional Pendidikan Kita


Oleh: Agus Suwignyo



Di tengah meningginya harga kebutuhan pokok dan pengangguran terdidik, diluncurkan optimisme tentang masa depan Indonesia.

Di bawah berita utama Kompas ada foto Kepala SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, berangkat mengajar dengan sepeda motor yang dinaikkan rakit, menyeberangi sungai (Kompas, 5/4/2008).

Jika nasionalisme dipahami sesuai semangat zamannya, para guru telah menunjukkannya melalui dedikasi dan pengabdian tanpa henti. Jika itu makna nasionalisme, optimisme tentang masa depan Indonesia tidaklah berlebihan, setidaknya sejauh terkait peran dan sumbangan para guru bagi negeri ini.

Masalahnya, apakah pemerintah merespons nasionalisme itu melalui aneka kebijakan yang menyejahterakan? Adakah hubungan negara-warga bersifat resiprokal saling menguntungkan?

Ketika pemerintah mengadopsi semangat neoliberal dalam aneka kebijakan, seperti sertifikasi guru, ujian nasional, dan badan hukum pendidikan, tuntutan penguatan nasionalisme harus dilekati tuntutan pemenuhan hak dasar warga atas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Keseimbangan penting ditegaskan karena semangat neoliberal tak hanya membuka persaingan antarindividu, tapi juga kesetaraan dalam hubungan—merujuk Anthony Giddens—agensi dengan struktur; antara warga dan pemerintah sebagai representasi negara. Dalam kesetaraan itu, sifat hubungan negara dan warga (seharusnya) resiprokal.

Tidak adil

Meski usia Indonesia sudah 63 tahun dan rasa cinta Tanah Air para guru telah terbuktikan melalui pengabdian profesi, posisi mereka selalu subordinat terhadap negara akibat politik-pendidikan yang tidak adil. Pengalaman alumni sekolah guru tahun 1950-an membuktikan, perbaikan sosial-ekonomi justru setelah mereka meninggalkan profesi guru dan beralih pekerjaan. Mereka yang bertahan sebagai guru entah karena pilihan atau ikatan dinas, pensiun dalam kondisi ekonomi amat sederhana diukur dari laju kenaikan harga kebutuhan pokok.

Kini, yang terjadi justru ironi. Meski dijamin Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan guru tidak segera terwujud karena aneka alasan yang mungkin hanya pemerintah dan Tuhan yang tahu.

Laporan media menunjukkan, betapa sertifikasi menghadapkan guru pada kompleksitas soal ketidakadilan, tunjangan profesi tertunda, ketiadaan biaya kuliah, hingga birokrasi di dinas pendidikan dan sekolah (Kompas 4, 8, 10, 11/4/2008).

Pada saat yang sama, pemerintah dan anggota DPR tega memangkas anggaran pendidikan (Kompas, 11/4/2008)?

Konstruksi ”Nasional”

Terpinggirkannya guru dan pengembangan pendidikan dari prioritas pembangunan menegaskan bahwa saat ini problem hubungan pendidikan dan semangat kebangsaan tidak terkait praktik skala mikro, tetapi politik kebijakan tingkat makro. Dalam praktik pendidikan di sekolah, nasionalisme ditunjukkan para guru melalui dedikasi profesi serta mengajarkan arti menjadi Indonesia dalam konteks sekarang.

Karena itu, tidak relevan menanyakan apakah para guru dan proses pendidikan di alam reformasi mampu membangkitkan nasionalisme lebih dahsyat daripada zaman kolonial yang melahirkan para pendiri republik. Yang harus dipertanyakan, seberapa mendalam konstruksi ”nasional” pendidikan kita dipahami dan diwujudkan dalam kebijakan strategis.

Jika diamati, berbagai kebijakan pendidikan, seperti kurikulum, evaluasi pembelajaran, standar pendidikan, dan sertifikasi guru, menunjukkan, ”nasional”nya sistem pendidikan kita hanya dimaknai dalam aspek geopolitik dan birokrasi. Lebih tragis, ”nasional” sering diartikan ”pusat/Jakarta”, menyiratkan hegemoni atas daerah.

Konsepsi filosofis-historis-kultural untuk menyatukan gagasan kebangsaan dilupakan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang diklaim ”nasional”. Akibatnya, pemerintah dan anggota DPR merasa, mereka—bukan massa-rakyat—adalah pusat dari semua kebijakan pendidikan sambil berpura-pura lupa bahwa sebagai representasi negara, mereka bertanggung jawab atas ketersediaan, aksesibilitas dan pembiayaan pendidikan bagi warga.

Refleksi ini mau mengingatkan, krisis nasionalisme yang diprihatinkan akhir-akhir ini bukan problem massa-rakyat aras akar rumput, semisal guru.

URL Source: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.18.00371821&cha

Agus Suwignyo
Alumnus Universitas Amsterdam

ARAH BARU PENDIDIKAN

ARAH BARU PENDIDIKAN
Oleh: Ester Lince Napitupulu


Pendidikan yang mampu melayani semua anak dalam keragaman dan perbedaan, dengan fokus untuk mengoptimalkan potensi anak secara penuh, kini menjadi kecenderungan reformasi pendidikan yang tengah dikembangkan banyak negara. Inilah pendidikan inklusi yang diharapkan menciptakan proses pendidikan yang ramah anak.
Pendidikan inklusi menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua atau education for all, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari layanan sistem pendidikan. Pendidikan inklusi ini diyakini membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik. Ke depan, pendidikan inklusi juga bisa menghancurkan eksklusivitas sosial dalam masyarakat.
Sheldon Shaeffer dari Biro Pendidikan Regional Asia Pasifik UNESCO, dalam Konferensi Persiapan Regional Asia Pasifik mengenai Pendidikan Inklusi di Denpasar, Bali, akhir Mei lalu, menjelaskan, pendidikan inklusi merupakan sebuah proses menuju dan merespons keragaman kebutuhan peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya, dan masyarakat, serta mengurangi ketertinggalan dalam dan dari pendidikan.
Semangat pendidikan inklusi memandang perbedaan di antara para siswa sebagai sebuah tantangan yang memberikan keuntungan, bukan hambatan dalam pembelajaran di sekolah. Pendidikan yang demikian mampu terlaksana jika kita mengakui bahwa semua anak berhak mendapat pendidikan berkualitas.
”Pendidikan inklusi, khususnya di Asia, tidak hanya bagaimana mengintegrasikan sekelompok anak dalam suatu pendidikan khusus. Perlu difokuskan bagaimana mengembangkan strategi menghilangkan hambatan-hambatan dalam belajar dan sebaliknya semua anak bisa berpartisipasi. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai pendidikan berkualitas bagi semua,” kata Sheldon.
Karena itu, perlu diciptakan sekolah ramah anak supaya mereka sadar akan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas baik. Sheldon menyebutkan sekolah ramah anak adalah sekolah yang mencari anak. Artinya, sekolah itu harus mau mengidentifikasi anak-anak yang tidak terjangkau dan membantu mereka untuk mendapatkan hak pendidikan.
Sekolah juga harus berpusat pada anak, yaitu mengembangkan potensi anak secara penuh meliputi semua perkembangan anak, yakni kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan, serta peduli terhadap apa yang terjadi pada anak sebelum masuk sekolah dan setelah lulus.
”Yang penting dari semua adalah sekolah harus memiliki kualitas lingkungan belajar yang baik, yakni yang responsif jender, mendorong partisipasi anak-anak, keluarga, dan masyarakat,” kata Sheldon.
Namun, pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang tertinggal dari layanan pendidikan. Mereka adalah anak-anak penyandang ketunaan atau berkebutuhan khusus, anak-anak jalanan dan pekerja anak, anak-anak yang berada di lingkungan yang sulit seperti konflik bersenjata dan bencana alam, anak-anak yatim piatu dan yang dibuang, anak-anak dari keluarga sangat miskin, anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS, serta anak-anak migran/pengungsi.
Di dunia ada 72,13 juta anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah—27 juta di antaranya ada di kawasan Asia Pasifik. Sebanyak 56,8 persen adalah perempuan.
Perhatian dunia
Renato Opertti dari Biro Pendidikan Internasional UNESCO mengatakan, pendidikan inklusi telah tumbuh menjadi perhatian dunia yang menantang proses reformasi pendidikan di negara maju dan berkembang. Sasarannya adalah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang didefinisikan kembali sebagai proses belajar dengan memperhitungkan kemampuan belajar anak yang berbeda, mengurangi eksklusivitas, dan tidak mengajarkan pengetahuan akademik yang tinggi semata.
Untuk dapat melaksanakan pendidikan inklusi ini dibutuhkan sistem pendidikan dan peran guru yang mengarah pada paradigma baru pendidikan, yaitu mampu memanusiakan anak-anak didik. Untuk komitmen ini butuh pengajaran kuat pada guru sejak pendidikan di perguruan tinggi hingga pendidikan selama menjadi guru.
Pengajaran guru seharusnya didasarkan pada paradigma untuk bisa memahami siswa dalam keberbedaannya. Dengan kurikulum yang fleksibel, guru akan mudah mengerti mengenai perbedaan anak-anak yang memiliki kapasitas khas.
Pendidikan guru dibawa untuk mengubah label-label yang mempertahankan hierarki kemampuan yang sering kali menutup potensi siswa. Yang ditekankan justru potensi belajar terbuka bagi setiap siswa dan distimulasi.
>kern 401m<>h 9737m,0<>w 9737m< Pendidikan inklusi itu juga merespons kebutuhan budaya dan kelompok sosial beragam. Ini tantangan tidak mudah, tetapi pendidikan sedang menuju kepada pembiasaan untuk menerima keragaman mulai dari sekolah.>kern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m<
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, kebijakan pendidikan Indonesia mengharuskan tidak boleh ada anak tertinggal layanan pendidikan, dan pendidikan dilakukan secara holistik. Tantangan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar, heterogen, dan wilayah yang sangat luas.
Upaya menjangkau semua warga untuk menikmati pendidikan terus dilakukan dan ditingkatkan. Anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang berbagai ketunaan dan anak cerdas istimewa mendapat pendidikan khusus dengan sekolah atau kelas khusus atau kelas akselerasi.
Untuk anak-anak jalanan, di daerah terisolasi, miskin, pengungsi, atau di daerah konflik dan bencana alam, diberikan pendidikan layanan khusus.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/09/01145917/arah.baru.pendidikan

Mengapa Cewek Selalu Salah Pilih?


Mengapa Cewek Selalu Salah Pilih?
Oleh: Eto'S
Sistem emosi dan sistem logika cewek bekerja dengan bobot peranan yang tidak merata. Cewek jauh lebih mempercayai dorongan emosi, intuisi daripada logika. Logika hanya berfungsi dan dilestarikan sekedarnya, yakni sebagai reminder atau setidaknya supaya merasa bodoh-bodoh amat. Kedua sistem itu bekerja independen, dan tidak jarang saling bertolak belakang. Bila terjadi clash, cewek akan lebih berpihak pada intuisi. Dia akan berkata pada sisi logikanya, “Yeah, of course I know that..” lalu melanjutkan dengan melogikalisasi apa yang dikatakan oleh intuisinya. Ketika mereka melihat seorang cowok yang brengsek, mereka merasakan ketertarikan emosional pada cowok itu karena alasan yang sudah dijelaskan di atas. Apakah secara logika mereka sadar bahaya berhubungan dengan cowok demikian? Ya, mereka sadar akan kemungkinan sakit hati dan sebagainya. Tapi justru itu yang membuat api ketertarikan mereka semakin berkobar-kobar! Guys, listen to this: cewek memiliki logika bahwa jika cowok terlihat keras dan kasar diluar, pasti di dalamnya sama sekali berkebalikan dengan itu! MERASA para bajingan yang dominan dan banyak aksi itu sebagai cowok yang selalu-disalah-mengerti oleh masyarakat. Bahwa jika saja ada Seorang Cewek Agung Yang Tulus Menyayangi, cowok-cowok itu pasti akan berubah dan menyadari keindahahan Cinta dan Kasih Sayang yang diberikan tanpa syarat kepada mereka. Bahwa cowok itu akhirnya akan tenggelam dalam adorasi dan mistikus cinta abadi kepada Sang Cewek Spesial Yang Selalu Setia Berkorban Dan Memahaminya ketika dulu mereka masih berandalan, norak, dianggap kurang ajar dan salah dimengerti oleh semua orang. Rasanya memang konyol, tapi itu adalah hasrat terpendam dari sebuah hubungan cinta yang diidam-idamkan oleh banyak cewek, kalau bukan semua. Jika kamu bertanya kepada banyak cewek, “Kata apa yang muncul dalam muncul di bayangan kamu bila mendengar kata Cinta?” kamu akan menemukan bahwa Pengorbanan selalu menjadi jawaban favorit utama, disusul oleh variasi kata-kata lainnya. Tanyakan pada cowok pertanyaan yang sama, jarang sekali mereka akan mengikutsertakan kata itu dalam tiga jawaban pertamanya. Itulah relung psikis yang terukir dalam jiwa seorang cewek ketika mereka terlahir ke dunia. Relung psikis yang membuat cewek merasa lebih hidup ketika bertemu obyek yang mampu mengisinya. Apakah itu termasuk hal yang membuat mereka turn-on? Yup, exactly. Cewek-cewek tertarik dengan aspek kejantanan, dominan, kepemimpinan seorang cowok karena itu menggambarkan landasan hubungan yang sehat dan secure. Tapi ingat juga bahwa mereka adalah makhluk yang menyukai permainan arti dan simbol. Jadi para cewek selalu membayangkan dibalik semua kesempurnaan dan kegilaan cowok itu, ada tersembunyi ruang-ruang kosong dan dingin yang menunggu untuk diisi oleh satu Cewek Yang Sangat Spesial. Saya ingin kamu mengulang ini puluhan kali setiap pagi: Daripada DIPERLAKUKAN spesial, cewek lebih ingin MERASA spesial! Cowok lossy tidak akan pernah mengerti hal ini. Mereka berpikir jika selalu memberikan semua perhatian khusus siang malam dan tetek bengek hadiah-hadiah lainnya, cewek-cewek akan tertarik pada mereka. Itu sebabnya kamu akan melihat jika cowok ingin mengejar satu cewek, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak pernah mereka lakukan dengan cewek lain. BZZZZT! Salah, bung… Saya selalu mengajar hal penting ini: It’s NOT about WHAT special things you do to her.
It’s about WHO you are that makes herself FEEL special!
Cowok brengsek, bajingan, playboy, bandot, dan berbagai kelas penjahat kelamin memiliki sinar alamiah yang menarik perhatian cewek-cewek. Sinar yang mengkomunikasikan mereka adalah pemimpin dan petualang yang begitu tangguh dan tidak kekurangan apa-apa, sehingga jika mereka memilih seorang cewek, itu pasti karena sang cewek mengetahui apa yang tidak diketahui cewek lain untuk bisa memahami dunia cowok tersebut. Dengan demikian ia menjadi Cewek Yang Sangat Spesial. Saya mengenal seorang sahabat cewek yang berpacaran dengan cowok yang paling brengsek, bangsat, dan fuckingly retarded of all man I’ve known in the world. Cewek itu sebenarnya bisa menemukan BANYAK cowok yang ratusan kali lebih baik dari dia, karena tidak saja cowok itu kekanak-kanakan, tapi cara dia menjalankan hubungan sangat destruktif dan mengancam NYAWA sahabat saya tersebut. Kami sudah tidak meneruskan kontak lagi sekarang, tapi di salah satu percakapan kami yang terakhir, saya sempat bertanya apakah si cowok bajingan sudah tahu tentang kondisi kesehatannya yang semakin parah. Sahabat saya itu menjawab dengan lirih, “Ngga. Gapapa, dia ga perlu tahu. Ini gue simpen aja sendiri, toh waktu gue juga ngga lama lagi. Gue mo nikmatin semua sisa keindahan hubungan ini, karena dia terlalu baik untuk tahu dan nanggung tekanan ini semua.” Itu adalah kata-kata dari seorang cewek muda, pintar, dan menarik yang selalu menangis setiap beberapa hari, mengalami berbagai emotional roller coaster dan mental abuse karena korban Blame Game di sepanjang hubungan mereka. I was like, “Fuck!” Especially because I was the only one, besides the doctor, who know exactly how serious her health condition was. Not even her parents. Parahnya lagi, jika api ketertarikan sudah muncul, cewek akan sulit untuk memadamkan api tersebut, sekalipun akhirnya mengetahui bahwa cowok yang dia idam-idamkan itu adalah cowok brengsek. Mereka bersedia terus berkorban, menunggu munculnya kristal yang berharga dari balik semua lagak kebrengsekan itu. Semakin mereka bertahan, semakin mereka merasa spesial dan tidak bisa melepaskannya. Sebuah martir complex yang mengerikan. Ironis sekali cowok-cowok yang baik dan mampu memberikan hubungan yang sehat justru tergeletak kesepian dalam kejombloannya. Kalaupun akhirnya mendapat cewek yang diimpikan, biasanya itu sudah ‘barang sisa’. Cewek yang sudah exhausted dan luka trauma akibat keluguan mereka ketika berhubungan dengan cowok berandalan. Cewek yang sudah kepayahan dan sangat insecure karena sudah harapan mereka tentang cinta sudah sempat dikandaskan oleh pasangan sebelumnya. Kini kamu memiliki gambaran yang jelas tentang jawaban pertanyaan di awal tadi

Kapitalisasi Pendidikan
Beberapa tahun ini iklim pendidikan kita dihadapkan pada dua persoalan yang sangat paradoks. Di satu sisi luka perih pendidikan kita merasa terobati dengan prestasi pelajar Indonesia yang tiap tahun memenangi Olimpiade Internasional.
Kabar itu seakan menandaskan bahwa pendidikan kita sudah dapat bersaing dalam kancah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, kita banyak disuguhi kabar mengenaskan ihwal kondisi anak-anak Indonesia yang menjadi buruh atau kuli.
Banyak di antara mereka yang dengan kondisi terpaksa karena himpitan ekonomi harus putus sekolah. Kalaupun memang ingin mengenyam pendidikan, mereka ditempatkan di sekolah perdesaan dengan fasilitas terbatas, gedung kumuh, atap bocor, dan guru seadanya.
Pada tahun ini beberapa pelajar Karisma Bangsa telah mendapat medali emas dari ajang kontes penelitian bergengsi dengan tema International Young Inventor Project Olympiad (IYIPO) di Georgia. Pelajar Indonesia telah mampu menorehkan prestasi setelah menang dalam bersaing dengan koleganya dari 22 negara.
Hal ini memang merupakan prestasi lanjutan dari tahun sebelumnya setelah Teuku Mahfuzh Aufar Kari (SMA 10 Fajar Harapan Banda Aceh), Moh Faiz (SMAN 1 Pacitan), William (SMA Sutomo Medan), dan Vicentius (SMA St Louis I Surabaya) membawa harum negeri ini dengan berhasil membawa dua medali perak dan dua medali perunggu dari ajang bergengsi Olimpiade Kimia Internasional (International Chemistry Olympiad) ke-29 di Moskow, Rusia.
Namun, jangan heran jika di balik segelintir pelajar kita yang telah menorehkan prestasi itu, ternyata masih lebih banyak anak telantar dan anak yang terpaksa mengenyam pendidikan seadanya di perdesaan. Laporan UNICEF menyatakan, 26 persen dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun kartu tanda penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, dan tanpa masa lalu ini ada sekitar 23,5 juta.
Bila identitas mereka sudah tidak jelas,apalagi sekolahnya. Kalau terpaksa mengenyam pendidikan, mereka bersekolah di bekas kandang ayam. Di antaranya seperti Sekolah Dasar (SD) Islam Darul Ihsan, Ciburial, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang beberapa fasilitasnya memang sudah tak layak pakai. Jangankan mengimpikan komputer dan internet, tempat duduk dan papan tulisnya saja sudah layak untuk bara api (Kompas, 10/5).
Tidak jauh mengenaskan dari kondisi SD di Enggano, yakni di Desa Kahyapu, Ka'ana, Malakoni, Apoho, dan Banjarsari yang tiap sekolah hanya memiliki tiga ruang kelas yang digunakan siswa kelas I hingga siswa kelas VI. Dengan demikian, untuk mengatakan bahwa pendidikan Indonesia kian membaik adalah suatu yang paradoks.
Ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang dicipta oleh sistem pendidikan masih cukup kental terjadi. Bagi kalangan elite, mereka mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit atau yang dikenal dengan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang secara kualitas mumpuni, sedangkan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah sekolahnya di pinggiran yang terkadang gurunya pas-pasan, sarananya minim, dan ironisnya banyak kalangan yang tak mampu memasukkan anaknya ke sekolah lantaran masalah finansial.
Dengan berlatar ketimpangan sekolah yang dipicu oleh kemiskinan, timpang pula masa depannya. Karena miskin, tidak bisa bersekolah atau bersekolah tapi di daerah pinggiran yang serba berkekurangan. Tidak bisa bersekolah, lalu tidak mampu mengubah nasib. Terus saja miskin.
Bahkan kemiskinan dan keterbelakangan diturunkan dari generasi ke generasi (Dr Willy Toisuta, 2005). Korelasi antara kemiskinan dan pendidikan menjadi spiral yang terus membiak apabila tak segera diatasi. Dalam konteks inilah, benar apa yang dikatakan Paulo Fraire (2005) bahwa pendidikan kerap dijadikan sebagai alat ampuh praktik penindasan.
Kapitalisasi Pendidikan
Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, apakah itu kaya atau miskin, telah tergiring pada praktik jual beli pendidikan.
Dengan memakai logika "siapa yang berduit akan mengenyam sekolah elite berkualitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolahsekolah yang mengenaskan", pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta jurang pemisah antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Terjadinya kapitalisasi pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan.
Tidak serta-merta menyalahkan beberapa lembaga pendidikan yang menaikkan biaya melambung tinggi karena mereka sudah diliarkan oleh pemerintah untuk mengelola lembaganya secara otonom. Pemerintah secara tidak langsung telah mengamini atau bahkan menjual pendidikan kita pada pasar.
Hal ini mulai tampak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan itu tertera bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen.
Akan disusul juga dengan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang targetnya akan disahkan tahun 2008 ini. Apabila dari beberapa peraturan pemerintah yang menggiring terjadinya kapitalisasi pendidikan terus dibiarkan begitu saja, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta pemenang dan pecundang. (*)
Najamuddin Muhammad
Peneliti Center For Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (//mbs)

MENGGUGAT SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh: Erinto Suamrdi
DIAKUI atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah yang paling kentara, yang tampak jelas hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan agama di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Solusi Fundamental
Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih (shalih dan menshalihkan). Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik. Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; dan, (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.

Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya. Akibat berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.

Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas. Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqafah/wawasan Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam. Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Insya

MENJERNIHKAN PENDIDIKAN
Oleh :Erinto Sumardi

Mendekati pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu isu penting. Namun, debat visi dan misi capres kadang menimbulkan kegamangan. Falsafah pendidikan yang seharusnya menjadi ”harga mati” saat di tangan politisi ternyata diganti dengan pemahaman pragmatis (Kompas, 1/6). Bagaimana menjernihkannya? Tiga elemen

Para pakar sepakat, pendidikan harus diteropong dari tiga aspek. Ia harus memiliki rumusan konseptual baku written curriculum. Di dalamnya tertuang apa yang harus diketahui dan kompetensi yang harus dimiliki siswa pada tiap level pendidikan.

Häyrynen dan Hautamäki, J dalam Människans Bildbarhet och Utbildningspolitiken (1997) memperluas konsep ini. Baginya, sebuah fungsi pembelajaran bermakna bila tidak berhenti pada aspek pengetahuan (to know), dan keahlian (to be able), tetapi merambah daya eksplorasi (to study) dan harapan (to hope).

Selanjutnya dibutuhkan langkah metodologis-pedagogis atau taught curriculum untuk mentransformasikan konsep ke dalam aksi. Ia adalah proses vital. Ide yang baik perlu diterapkan oleh pendidik yang kompeten. Meski demikian, ia bukan akhir. Secara analogis, ia diumpamakan dengan jembatan yang menyatukan konsep dan perwujudan. Ia menginspirasi orang untuk terus berjalan, bukan berhenti di situ.

Bila proses ini dilalui dengan baik, barulah kita berbicara tentang ujian atau learned/assessed curriculum. Pada level paling mendasar, ia bertujuan mengetahui apakah proses pembelajaran sudah dilewati dengan baik atau tidak. Kegagalan atau kesuksesan menjadi takaran tentang kualitas proses itu sendiri.

Tanpa arah
Dalam kenyataan, pemahaman pendidikan sering rancu, demikian Hugo Ferreira Gonzales dalam Calidad Total en la Educación, 2002. Visi sebagai konsep baku yang seharusnya melandasi cara berpikir dan bertindak, kenyataannya mudah dikalahkan oleh pragmatisme dan pertimbangan sesaat. ”Gonta-ganti” kurikulum menjadi contohnya.

Kegelisahan juga terlihat dari minimnya suasana kegembiraan dalam proses belajar-mengajar. Siswa terlampau dijejali aneka beban belajar. Memang sekilas hal itu menyenangkan para pejabat yang melihat berkurangnya kenakalan remaja menjelang ujian. Tetapi, bila dikritisi, esensi pendidikan sedang dikorbankan. Yang dibuat sekadar menghafal, bukan belajar dalam arti sebenarnya. Bahkan, menurut Cole, M dalam Cultural Psychology. A Once and Future Discipline (1996), pendidikan sebagai bagian dari proses sosialisasi pun diingkari.
Akhirnya, derita dalam pendidikan menjadi lengkap oleh ujian. Yang diuji bukan lagi pemahaman komprehensif, tetapi sekadar uji daya memori dan keahlian menjatuhkan pilihan pada alternatif jawaban yang disediakan. Realitas kehidupan yang begitu kompleks disederhanakan untuk dapat diselesaikan dalam waktu amat terbatas. Kita lalu puas dengan meningginya grafik kelulusan. Padahal, kehidupan yang rumit membutuhkan daya kreasi dan eksplorasi yang hanya muncul dari pribadi yang telah melewati proses pendidikan dengan gembira.

Membangun harapan
Perubahan seharusnya dilakukan jika kita berkomitmen pada visi kebangsaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya kesejahteraan sosial.

Pertama, perlu dihidupkan daya eksploratif yang muncul sebagai konsekuensi pembelajaran atraktif dan menyenangkan. Siswa terdorong untuk belajar bukan karena tekanan ujian nasional, tetapi karena iklim rekreatif-pedagogis. Siswa yang gembira secara sosial akan berkolaborasi membangun negeri dan menjadikannya lebih disegani dalam kancah internasional.
Kedua, perlu kemauan (willingness) dan kesediaan (readiness) membenahi proses pendidikan, demikian Snow, R dalam New Approaches to Cognitive and Conative Assessment in Education (1990). Para politisi harus sadar bahwa perubahan ada dalam tangan mereka. Kemauan mereka untuk meluruskan kerancuan konseptual merupakan langkah bijak. Ia lalu diikuti kesediaan mengorbankan visi pendidikan yang egoistik-pragmatis kepada pemangkuan visi pendidikan yang lebih komprehensif dan tepat sasar.

Bila proses ini dilalui, harapan sebagai elemen konstitutif pendidikan akan hadir sebagai ganjarannya.

Selasa, 16 Juni 2009

SETELAH MODERNITAS DAN POSMODERNITAS


SETELAH MODERNITAS DAN POSMODERNITAS

Sebuah karya besar yang patut kita apresiasi dan menjadi bahan rujukan dalam cultural studies adalah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), terutama terbitan paling akhir oleh Jalasutra. Dalam pengantarnya, penerbit Jalasutra menyatakan bahwa, “…banyak pemikir kontemporer yang diulas cukup panjang dan ‘cair’ pemikirannya oleh Yasraf, ternyata nyaris ‘tak tersentuh’ dan ‘tak diulas detail’ oleh penulis kebudayaan lainnya” (2004: 34).

Dunia yang Dilipat berangkat dari realitas baru, yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan percepatan dunia. Betapa tidak, merunut pada logika Yasraf, berjilid-jilid buku yang dulu memenuhi satu lemari, sekarang dimampatkan dalam sebuah flash disk seukuran jari kelingking kita; mengirim surat dari Demak ke Denmark tak perlu menunggu berhari-hari, dalam hitungan detik lewat e-mail, surat kita sudah sampai; kita pun tak perlu berdesak-desakan mengantre tiket film di bioskop, karena film-film bermutu telah dimampatkan dalam bentuk home theatre (VCD, televisi). Dengan kata lain batas-batas kebudayaan itu kini seakan runtuh, dan kita sekarang hidup dalam dunia yang telah kehilangan batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulakrum, antara seni dan kitch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminin dan maskulin. Batas-batas tersebut telah didekonstruksi, dan meninggalkan sebuah dunia dengan segala hal yang berada di dalamnya tumpang tindih, campur aduk, bahkan seakan-akan kemampuan untuk membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004: 37).
Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (teka-teki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas, dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke masa lalu.
Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme, eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard, sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negara-negara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negara-negara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga, industrialisasi budaya, dan sebagainya.
Di titik inilah Yasraf bergerak melewati posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah; lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli, tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan, penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup.
Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim.
Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan media dan informasi seperti televisi dan internet yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer (bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx). Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan hiperealitas media dan informasi.
Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah, realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi. Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain, kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan. Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraan-citraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh alarm system modern dan pintu otomatis, ternyata tidak aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas, mengemas, dan merepdoduksi bencana alam, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan, kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan, ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara simultan membawa dan menghadirkannya di atas panggung tontonan rumah.
Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain, modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang bergantung pada produksi secara terus menerus yang dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan arah tujuan, dan semata menggantungkan serta menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana. Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga.
Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan.
Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah. Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi, teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan. Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan irasional, pada agama. []
* Edi Subkhan, penulis.
Masukan ini dipos pada N
http://pendidikankritis.wordpress.com/2008/11/21/setelah-modernitas-dan-posmodernitas/

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN HABITUS


PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN HABITUS
oleh Agus Suwignyo
Melalui artikel “Simpul Perubahan Habitus” (Kompas, 23/3/2007), Haryatmoko mengangankan praktik pendidikan yang mampu menciptakan “lingkungan budaya” guna mengubah habitus (kebiasaan) buruk, korup, mentalitas jalan pintas, dan politik uang.
“Perubahan habitus mengandaikan pendidikan yang membuat banyak anggota masyarakat mengadopsi kesadaran refleksif yang menempa kemampuan untuk membuka simpul-simpul pengikat praktik-praktik sosial lama,” tulisnya.
Gagasan itu memancarkan optimisme. Pertama, pengikisan kebiasaan, yang secara kolektif telah membudaya tetapi buruk menurut norma masyarakat demokrasi, dilakukan melalui penciptaan habitus baru yang bertumpu kesadaran refleksif individu.
Kedua, penciptaan sikap-mental baru itu hendak disandarkan pada proses pendidikan, yang dalam beberapa segi praktik formalnya di Indonesia saat ini justru masuk bagian habitus lama yang harus dirombak.
Pendekatan apa dalam praktik pendidikan yang dapat dijadikan pintu masuk penumbuhan kesadaran refleksif.

“Oxymoron”?
Di Indonesia hari ini, upaya membangun habitus yang bertumpu individualitas boleh jadi merupakan gagasan kontradiktif dalam dirinya, atau oxymoron.
Masyarakat kita cenderung memegang “kepatutan umum”, alih-alih refleksi kritis, sebagai pijakan perilaku. Aneka ungkapan “biasanya begitu”, “orang lain juga melakukan”, “nggak enak dengan tetangga” menggambarkan ketergantungan individu terhadap “nilai-nilai kepatutan umum” yang telah dipegang teguh sebagai dasar perilaku.
Tentang sinyalemen praktik korupsi di institusi kerjanya, misalnya, seorang pegawai muda kantor bea cukai berkata “you either join the club of corruptors and get rich, or you stay honest and spend your entire career as a clerk in the tax office’s library” (The Jakarta Post, 10/12/2004).
Orientasi pada kolektivitas memangkas kesadaran kritis individu atas konteks perilaku. Kebutuhan untuk “menjadi bagian kumpulan” dianggap bentuk solidaritas, pemberi rasa aman dan kenyamanan. Sementara sikap kritis individu sering menyebabkan keterkucilan.
Dengan habitus baru, kesadaran individu dikedepankan. Sikap dan perilaku individu diharapkan diresapi norma, nilai, dan kaidah hidup bersama demi terwujudnya kebaikan masyarakat (Haryatmoko, “Habitus Baru Melawan Korupsi”, Kompas, 13/1/2005).
Konsep perubahan habitus dilandasi asumsi, masyarakat kita beranggotakan “individu-individu otonom” (Doed Joesoef, Kompas, 24/8/2004) yang mandiri dan menafsirkan kerangka perilakunya sendiri tanpa intervensi kolektif masyarakat.
Selain itu, “aktor-aktor penjaga struktur” (pimpinan pemerintahan, komunitas adat, lembaga keagamaan, kelompok sosial) diandaikan bersikap netral terhadap individu yang memilih tidak mengadopsi kerangka perilaku yang digariskan pimpinan.
Konsep oxymoron karena, pertama, mengabaikan pemahaman dan kesadaran lokal masyarakat atas norma, kerangka sikap, dan perilaku sendiri. Ambil contoh, perilaku yang kini dikategorikan “korupsi” telah lama dipraktikkan masyarakat sebagai bentuk komunikasi sosial.
Merujuk pakar demokrasi pedesaan Prof Suhartono Wirjopranoto, pemberian upeti kepada penguasa yang kini dianggap tindakan suap telah dihidupi sebagai wujud kepasrahan rakyat yang justru dimaknai positif.
Di Jawa, pemakaian akronim bernuansa canda “spanyol” (separo nyolong alias sebagian mencuri) untuk menunjuk penyelundupan-sebagian kayu jati (Siswono Yudo Husodo, Kompas, 18/9/2004), menginsinuasikan minimnya penolakan masyarakat atas praktik tindakan itu.
Kedua, bukan rahasia, budaya panutan berakar kuat dalam tata sosial masyarakat Indonesia. Ucapan dan tindakan pemimpin dijadikan patokan berpikir dan berperilaku individu terpimpin. Perilaku individu terpimpin dianggap benar atau salah tergantung “koridor kebenaran” yang digariskan pemimpin.
Pintu masuk
Misi praktik pendidikan sebagai pintu masuk pembaruan habitus adalah mengangkat “simpul-simpul” kultural perilaku masyarakat dan menyodorkan kembali secara kritis. Seorang mahasiswa yang diingatkan karena memberitahukan jawaban soal ujian kepada rekannya berkata, “Menolong sesama adalah amal ibadah.” Mahasiswa itu jelas sedang tidak bercanda.
Agaknya masyarakat punya pemahaman variatif atas perwujudan nilai-nilai sosial. Dalam sejumlah kasus, konsep “praktik korupsi”, pemahaman itu berbenturan dengan kemauan negara.
Pengangkatan secara kritis “simpul-simpul” kultural mau menegaskan, praktik pendidikan harus mendorong masyarakat mencari kembali makna dan konteks perwujudan nilai-nilai itu dalam tatanan masyarakat baru.
Jika perubahan disposisi moral dan sikap hendak ditekankan, pertama-tama tertuju pada pemimpin, yang dirujuk orang lain sebagai tolok ukur sikap dan perilaku. Di sini diadopsi prinsip pedagogi Freirian. Pemimpin akan mencerahi terpimpin dengan mentalitas baru yang dikehendaki jika sang pemimpin meresapkan mentalitas itu dalam pengalaman hidupnya sendiri.
Agus Suwignyo Alumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige Wetenschappen, Universitas Amsterdam
Dimuat Kompas, 3 April 2007 Pendidikan, “Jalan Baru” Kepemimpinan
Agus Suwignyo
Sebagai “jalan baru” kebangkitan bangsa, wacana kepemimpinan kaum muda perlu disambut untuk meneropong arah pendidikan di Indonesia.
Dalam 40 tahun terakhir, sistem pendidikan kita adalah produk kebijakan opresif Orde Baru (Orba). Sejauh mana sistem pendidikan opresif melahirkan kepemimpinan transformatif?

Politik kekuasaan sering digambarkan mendominasi arah pendidikan nasional melalui aneka kebijakan strategis, seperti kurikulum dan ujian nasional. Namun, sejarah Indonesia menunjukkan, para pendiri dan pemimpin awal bangsa lahir dan dibesarkan dalam alam pendidikan kolonial yang diskriminatif.
Artinya, dampak politik kekuasaan tidak selalu negatif terhadap hasil pendidikan. Meski demikian, dari sistem pendidikan Orba belum terlihat satu generasi pemimpin yang teruji ketangguhan dan integritasnya sebagai agen pembaruan bangsa.
Oleh karena itu, kemunculan pemimpin muda saat ini harus didorong bukan sebagai peralihan kekuasaan antargenerasi per se, tetapi cermin rekonsepsi arah pendidikan sekarang.
Perubahan masyarakat
Pandangan klasik melihat pendidikan sebagai alat reproduksi kelas sosial-ekonomi masyarakat (London, 2002; Fernandes, 1988; Labaree, 1986).
Seseorang memasuki jenis sekolah sesuai derajat sosial-ekonomi orangtua untuk memegang posisi tertentu dalam struktur kelas masyarakat tempat asalnya.
Pendidikan sebagai alat reproduksi kelas membuka peluang mobilitas sosial vertikal. Namun, sistem demikian tidak mendobrak struktur sosial yang menjadi akar penyebab timbulnya kelas-kelas masyarakat.
Pemikiran postmodern merombak pandangan itu. Melalui kajian radikal tentang aspek-aspek hubungan kekuasaan dalam pendidikan, para pedagog dan filsuf pendidikan kontemporer, seperti Caughlan (2005), Schutz (2004), Giroux (2000, 1981, 1980), dan Mangunwijaya (1999), menegaskan pentingnya pedagogi kritis dan transformatif.
Pendidikan ditantang melahirkan insan-insan unggul yang mampu membarui struktur sosial masyarakat agar lebih adil, terbuka, dan partisipatif.
Dalam konteks ini, k(p)emunculan pemimpin baru tidak memerlukan wacana karena pada dasarnya insan-insan hasil pendidikan kritis-transformatif memiliki kualitas kepemimpinan. Pemimpin menjadi sosok utama kumpulan insan unggul yang sama-sama bervisi menciptakan struktur sosial baru.
Pertanyaannya, adakah insan-insan unggul dengan karakter kepemimpinan kritis-transformatif terbentuk selama tiga dekade pemerintahan Orba?
Sama dan berbeda
Dalam hal intervensi terhadap pendidikan, kebijakan Orba mirip kebijakan kolonial. Praktik pendidikan disterilkan dari politik praktis. Kurikulum dan buku pelajaran tertentu disusun menurut versi politik pemerintah.
Seperti kolonial, gaya pemerintahan Orba menimbulkan resistensi kelompok-kelompok kritis terhadap dominasi kekuasaan. Kejatuhan Soeharto oleh aksi mahasiswa 1998 boleh disebut puncak perjuangan panjang aneka kelompok mahasiswa sejak Peristiwa Malari 1974.
Meski demikian, the aftermath perjuangan generasi muda yang dilahirkan sistem pendidikan kolonial dan Orba tampaknya berbeda sama sekali. Setidaknya selama dekade pertama pasca-Proklamasi 1945, Soekarno dan para “aktivis” kemerdekaan Indonesia relatif konsisten, committed, dan “kompak” menjalankan cita-cita kebangsaan. Perbedaan pandangan politik tidak menggoyahkan arah dasar perjuangan apalagi membuat mereka saling menjatuhkan demi kekuasaan.
Sementara itu, para aktivis 1998 (dan Malari) yang kini tersebar di partai politik, LSM, dan ranah publik tidak lagi menunjukkan komitmen perjuangan yang sama (Kompas, 6/11/2007). Cita-cita perubahan sosial, jika pernah mereka miliki, tampaknya melebur ke dalam kepentingan politik kekuasaan kelompok, tempat mereka bergabung.
Merujuk Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 6/11/2007), pemimpin yang muncul dikhawatirkan hanya sosok muda usia, bukan muda politis yang membawa kesegaran gagasan perubahan.
Pendidikan kepemimpinan
Perbandingan itu menegaskan, terbentuknya pemimpin tidak dapat diharapkan secara sambil lalu dari gelombang resistensi terhadap kekuasaan.
Alam kolonial dan Orba sama-sama hegemonik melahirkan dua generasi aktivis dengan ketangguhan komitmen pembaruan yang berbeda. Lebih dari itu, kita tidak mengharapkan hadirnya kekuasaan opresif untuk melahirkan pemimpin baru. Oleh karena itu, pemimpin dan kepemimpinan harus dibentuk dan disiapkan. Di sinilah proses pendidikan seharusnya berperan.
Sudah saatnya praktik pendidikan kita meninggalkan misi reproduksi kelas sosial. Pendidikan harus diarahkan untuk membuka pemahaman kritis dan pencarian alternatif atas keterbatasan struktur sosial dalam menciptakan masyarakat adil, terbuka, dan partisipatif.
Tanpa pendidikan yang memberi arah transformasi sosial masyarakat, 40 tahun ke depan kita akan dihadapkan pada problem yang sama tentang regenerasi kepemimpinan. Saat itu mungkin masih akan terdengar pernyataan naif, pendidikan kolonial lebih berkualitas daripada era Orba dan Reformasi. Atau, Soekarno dan Soeharto muncul sebagai pemimpin bangsa hanya karena wangsit dan keberuntungan.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam; Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru
(Kompas, 20 Nopember 2007)

SDM, PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN DAN KITA


SDM, PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN DAN KITA

Sumber Daya Manusia, istilah ini menjadi populer dalam dunia pendidikan diawali sejak Wardiman Djojonegero menjadi menteri pendidikan di zaman Orba, padahal sebelumnya istilah ini lebih banyak dipakai dalam dunia Ekonomi saja, dan menteri-menteri sebelumnya tidak pernah menggunakannya dalam dunia pendidikan. Selanjutnya, setelah KTT APEC (1994) SDM diiringi kata lain seperti: Unggul, Nilai, Kompetensi, Kompetisi, Daya Saing dan Pasar.
Dari peralihan inilah, terjadi adanya reduksi besar-besaran dari konsepsi pendidikan yang diusung oleh Kihajar Dewantara bahwa pendidikan adalah sebagai upaya memerdekakan manusia. Konsepsi manusia yang ada dalam istilah SDM pun jauh berbeda dari apa yang diungkap oleh Paulo Freire, bahwa manusia adalah incomplete dan unfinished beings, artinya ada kemampuan manusia untuk merubah nasibnya dan makna yang tidak akan pernah berhenti terhadap batasan akan hakikat manusia seutuhnya. Atau dalam kata lain, adanya penekanan bahwa pendidikan adalah proses dan selalu melakukan dekonstruksi, sehingga tidak terjajah terus-menerus dan terlena oleh alur realitas.
Apa yang diusung oleh Paulo Freire maupun Kihajar Diwantara memang tidak lain adalah “Pendidikan Yang Membebaskan”, sebuah idealitas pendidikan yang mendambakan penghargaan akan keutuhan manusia, saat dimana manusia memang benar-benar dimanusiakan. Hal ini berbeda dengan yang Indonesia jalani sekarang, konsepsi SDM yang melakukan penyeragaman terhadap bentuk-bentuk manusia, pembatasan manusia yang tercipta seolah-olah hanya untuk menjalankan sistem yang sudah ada, pabrik-pabrik yang disediakan, jabatan-jabatan yang sudah dibuat, bahkan hingga menjadi PNS-pun menjadi mainstream tujuan menempuh dunia pendidikan.
Mari melihat realitas terdekat, kampus. Apa yang sebenarnya kampus inginkan terhadap proses pendidikan yang dijalaninya? Terdapat beberapa hal dalam dunia kampus yang belum mencerminkan pendidikan yang memanusiakan manusia, kampus kemudian menjadi sebuah tempat penataran bukan pembangunan daya pikir dan tindak yang kritis. Kita tengok saja FISIP, sebagai fakultas yang notabene identik dengan mahasiswa kritisnya, ternyata masih ada dosen yang anti kritik.
Dan alangkah lebih baiknya jika mahasiswa tidak mengikuti gaya diatas. Semisal dengan adanya sikap yang inklusif dan tidak membatasi literature yang ditekuni. Bayangkan jika UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), seperti lembaga dakwah kampus dan lainnya membatasi kajian terhadap literature lain dan membatasi perkaderan dengan merekrut orang-orang yang sefaham saja, tentulah hal ini tidak jauh beda dengan yang namanya penataran, bagaimana mungkin akan terjadi proses dekonstruksi jika public sphere tidak tercipta, tidak adanya proses dialektika pada setiap perbedaan yang ada. Paling yang ada hanyalah penataran pemahaman yang ada ke generasi selanjutnya. Tentulah ini tidak jauh berbeda dengan konsep sempit manusia yang diterjemahkan SDM, mereproduksi ulang yang ada, mencipta manusia demi menjalankan sistem yang sudah disediakan sebelumnya.
Secara radiks, konsepsi SDM dalam pendidikan berarti merampungkan konsepsi manusia secara teleologis, artinya pengkajian manusia selesai pada peran-peran yang telah dirijitkan oleh sistem pendidikan. Oleh karena itu janganlah kemudian kita alpa untuk menyikapi ini secara radikal, jangan terlalai seakan-akan konsepsi SDM hanya pada saat pendidikan yang berorientasi pada pasar ekonomi saja, namun perlu diperhatikan secara menyeluruh dalam tiap-tiap sendi pembelajaran. Jangan-jangan model belajar dan mendidik kita diberbagai segi kehidupan kampus secara tidak sadar melakukan seperti dalam konsepsi SDM, menyempitkan makna manusia, mereproduksi ulang yang ada dan sembari melakukan penyeragaman
http://eljudge.co.cc/sdm-pendidikan-yang-membebaskan-dan-kita.html

Senin, 15 Juni 2009

Naskah RUU BHP 17-12-2008

Naskah RUU BHP 17-12-2008
‘Baca dulu, baru kritik,’ demikian kata Mendiknas menanggapi kritik dan tanggapan berbagai kalangan tentang Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang naskah finalnya telah disetujui DPR tanggal 17 Desember 2008.
Bagaimana masyarakat bisa membaca naskah final RUU BHP jika naskah tersebut tidak disosialisasikan seluas-luasnya lewat berbagai wahana dan cara?
Seperti apa sebenarnya naskah RUU BHP versi terakhir itu?
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN 2008
TENTANG
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi;
b. bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan, jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional;
c. bahwa agar badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf b, menjadi landasan hukum bagi penyelenggara atau satuan pendidikan dalam mengelola pendidikan formal, maka badan hukum pendidikan tersebut perlu diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu membentuk Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.
2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah.
3. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BHPPD adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah.
4. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat.
5. Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan.
6. Pendiri adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang mendirikan badan hukum pendidikan.
7. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
8. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal.
9. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
10. Organ badan hukum pendidikan adalah unit organisasi yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan tujuan badan hukum pendidikan.
11. Pemimpin organ pengelola pendidikan adalah pejabat yang memimpin pengelolaan pendidikan dengan sebutan kepala sekolah/madrasah atau sebutan lain pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, atau rektor untuk universitas/institut, ketua untuk sekolah tinggi, atau direktur untuk politeknik/akademi pada pendidikan tinggi.
12. Pimpinan organ pengelola pendidikan adalah pemimpin organ pengelola pendidikan dan semua pejabat di bawahnya yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh pemimpin organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain sesuai anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan.
13. Pendanaan pendidikan yang selanjutnya disebut pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan formal.
14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
15. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
16. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan nasional.
BAB II
FUNGSI, TUJUAN, DAN PRINSIP
Pasal 2
Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik.
Pasal 3
Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
Pasal 4
(1) Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
(2) Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik,
b. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
c. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan,
d. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan,
e. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik,
f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya,
g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya,
h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan, dan
i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.
BAB III
JENIS, BENTUK, PENDIRIAN, DAN PENGESAHAN
Pasal 5
(1) Jenis badan hukum pendidikan terdiri atas BHP Penyelenggara dan badan hukum pendidikan satuan pendidikan.
(2) BHP Penyelenggara merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal.
(3) Badan hukum pendidikan satuan pendidikan merupakan jenis badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan formal.
Pasal 6
(1) Bentuk badan hukum pendidikan satuan pendidikan terdiri atas BHPP, BHPPD, dan BHPM.
(2) BHPP, BHPPD, dan BHPM hanya mengelola satu satuan pendidikan formal.
Pasal 7
(1) BHPP didirikan oleh Pemerintah dengan peraturan pemerintah atas usul Menteri.
(2) BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota.
(3) BHPM didirikan oleh masyarakat dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri.
Pasal 8
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah didirikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Satuan pendidikan tinggi yang telah didirikan oleh Pemerintah berbentuk badan hukum pendidikan.
(3) Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara.
Pasal 9
(1) BHP Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan.
(2) BHP Penyelenggara dapat mengubah bentuk satuan pendidikannya menjadi BHPM.
Pasal 10
Satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan.
Pasal 11
(1) Pendirian badan hukum pendidikan harus memenuhi persyaratan bahwa badan hukum pendidikan yang akan didirikan tersebut mempunyai:
a. pendiri,
b. tujuan di bidang pendidikan formal,
c. struktur organisasi, dan
d. kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.
(2) Jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus memadai untuk biaya investasi dan mencukupi untuk biaya operasional badan hukum pendidikan dan ditetapkan dalam anggaran dasar.
(3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah BHP Satuan Pendidikan berdiri, pendiri harus membentuk organ-organ lainnya sesuai ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 12
(1) Peraturan Pemerintah, peraturan gubernur atau bupati/walikota, atau akta notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) memuat anggaran dasar BHPP, BHPPD, atau BHPM dan keterangan lain yang dianggap perlu.
(2) Penyusunan anggaran dasar BHPP, BHPPD, atau BHPM dilakukan oleh pendiri BHPP, BHPPD, atau BHPM.
(3) Pengaturan tentang perubahan anggaran dasar BHPP, BHPPD, dan BHPM ditetapkan dalam anggaran dasar.
(4) Anggaran dasar BHPP, BHPPD, atau BHPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama dan tempat kedudukan,
b. tujuan,
c. ciri khas dan ruang lingkup kegiatan,
d. jangka waktu berdiri,
e. struktur organisasi serta nama dan fungsi setiap organ,
f. susunan, tata cara pembentukan, kriteria dan persyaratan, pengangkatan serta pemberhentian anggota, serta pembatasan masa keanggotaan organ,
g. tata cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan serta masa jabatan pimpinan organ,
h. susunan, tata cara pembentukan, kriteria dan persyaratan, pengangkatan serta pemberhentian, serta pembatasan masa jabatan pimpinan organ,
i. jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan awal,
j. sumber daya,
k. tata cara penggabungan atau pembubaran,
l. perlindungan terhadap pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik,
m. ketentuan untuk mencegah terjadinya kepailitan,
n. tata cara pengubahan anggaran dasar, dan
o. tata cara penyusunan dan pengubahan anggaran rumah tangga.
Pasal 13
(1) Status sebagai BHPP berlaku mulai tanggal Peraturan Pemerintah tentang pendirian BHPP ditetapkan oleh Presiden.
(2) Status sebagai BHPPD berlaku mulai tanggal peraturan gubernur/ bupati/walikota tentang pendirian BHPPD ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) Status sebagai BHPM berlaku mulai tanggal akta notaris tentang pendirian BHPM disahkan oleh Menteri.
(4) Perubahan anggaran dasar BHPP, BHPPD, atau BHPM mengenai hal yang diatur dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m disahkan Menteri.
(5) Perubahan anggaran dasar BHPP, BHPPD, atau BHPM yang tidak menyangkut hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberitahukan kepada Menteri.
BAB IV
TATA KELOLA
Pasal 14
(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah memiliki paling sedikit 2 (dua) fungsi pokok, yaitu:
a. fungsi penentuan kebijakan umum, dan
b. fungsi pengelolaan pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi memiliki paling sedikit 4 (empat) fungsi pokok, yaitu:
a. fungsi penentuan kebijakan umum,
b. fungsi pengawasan akademik,
c. fungsi audit bidang non-akademik, dan
d. fungsi kebijakan dan pengelolaan pendidikan.
(3) Anggaran dasar badan hukum pendidikan dapat menambahkan fungsi tambahan selain fungsi pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 15
(1) Organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terdiri atas:
a. organ representasi pemangku kepentingan, dan
b. organ pengelola pendidikan.
(2) Organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) terdiri atas:
a. organ representasi pemangku kepentingan,
b. organ pengelola pendidikan,
c. organ audit bidang non-akademik, dan
d. organ representasi pendidik.
(3) Organ representasi pemangku kepentingan badan hukum pendidikan menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum.
(4) Organ pengelola pendidikan menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan.
(5) Organ audit bidang non-akademik menjalankan fungsi audit non-akademik.
(6) Organ representasi pendidik menjalankan fungsi pengawasan kebijakan akademik.
Pasal 16
Penamaan setiap organ badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam anggaran dasar.
Pasal 17
(1) BHP Penyelenggara yang menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan dasar dan/atau menengah memiliki 1 (satu) atau lebih organ representasi pemangku kepentingan dan organ pengelola pendidikan sesuai dengan jumlah satuan pendidikan yang diselenggarakan.
(2) BHP Penyelenggara yang menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan tinggi memiliki 1 (satu) atau lebih organ representasi pemangku kepentingan dan organ audit bidang non-akademik, serta organ representasi pendidik dan organ pengelola pendidikan sesuai dengan jumlah satuan pendidikan yang diselenggarakan.
(3) BHP Penyelenggara yang menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi dapat memiliki satu atau lebih organ representasi pemangku kepentingan serta organ lainnya disesuaikan dengan kebutuhan dengan mengacu pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam anggaran dasar.
Pasal 18
(1) Anggota organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah, paling sedikit terdiri atas:
a. pendiri atau wakil pendiri,
b. pemimpin organ pengelola pendidikan,
c. wakil pendidik,
d. wakil tenaga kependidikan, dan
e. wakil komite sekolah/madrasah.
(2) Anggota organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, paling sedikit terdiri atas:
a. pendiri atau wakil pendiri,
b. wakil organ representasi pendidik,
c. pemimpin organ pengelola pendidikan,
d. wakil tenaga kependidikan, dan
e. wakil unsur masyarakat
(3) Anggaran dasar dapat menetapkan unsur lain sebagai anggota organ representasi pemangku kepentingan, selain anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Jumlah anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari pendiri atau wakil pendiri dapat lebih dari 1 (satu) orang.
(5) Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan.
Pasal 19
(1) Jumlah dan komposisi pemimpin organ pengelola pendidikan yang menjadi anggota organ representasi pemangku kepentingan pada BHP Penyelenggara yang menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan ditetapkan dalam anggaran dasar.
(2) Anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari pemimpin organ pengelola pendidikan, wakil pendidik, dan wakil tenaga kependidikan pada badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, berjumlah paling banyak sepertiga dari jumlah anggota organ tersebut.
(3) Anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari pemimpin organ pengelola pendidikan, wakil organ representasi pendidik, dan wakil tenaga kependidikan pada badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, berjumlah paling banyak sepertiga dari jumlah anggota organ tersebut.
(4) Jumlah anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari komite sekolah/madrasah atau wakil unsur masyarakat ditetapkan dalam anggaran dasar.
Pasal 20
(1) Ketentuan pengangkatan dan pemberhentian anggota organ representasi pemangku kepentingan ditetapkan dalam anggaran dasar.
(2) Organ representasi pemangku kepentingan dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih dari dan oleh anggota.
(3) Anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari pemimpin organ pengelola pendidikan, wakil organ representasi pendidik, wakil tenaga pendidik atau tenaga kependidikan, tidak dapat dipilih sebagai ketua.
(4) Ketua dan sekretaris organ representasi pemangku kepentingan harus berkewarganegaraan Indonesia.
(5) Masa jabatan ketua dan anggota organ representasi pemangku kepentingan adalah 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali.
Pasal 21
(1) Dalam BHPPD, gubernur, bupati/walikota, atau yang mewakilinya sesuai kewenangan masing-masing berkedudukan sebagai wakil pendiri dalam organ representasi pemangku kepentingan.
(2) Dalam BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, Menteri atau yang mewakilinya berkedudukan sebagai wakil pendiri dalam organ representasi pemangku kepentingan.
(3) Dalam BHPM, kedudukan dan kewenangan pendiri atau wakil pendiri dalam organ representasi pemangku kepentingan ditetapkan dalam anggaran dasar.
(4) Dalam BHP Penyelenggara, kedudukan dan kewenangan pendiri atau wakil pendiri dalam organ representasi pemangku kepentingan dijalankan oleh pembina atau sebutan lain sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 22
Tugas dan wewenang organ representasi pemangku kepentingan pada badan hukum pendidikan adalah:
a. menyusun dan menetapkan perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta perubahannya,
b. menyusun dan menetapkan kebijakan umum,
c. menetapkan rencana pengembangan jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan anggaran tahunan,
d. mengesahkan pimpinan dan keanggotaan organ representasi pendidik,
e. mengangkat dan memberhentikan ketua serta anggota organ audit bidang non-akademik,
f. mengangkat dan memberhentikan pemimpin organ pengelola pendidikan,
g. melakukan pengawasan umum atas pengelolaan badan hukum pendidikan,
h. melakukan evaluasi tahunan atas kinerja badan hukum pendidikan,
i. melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan pemimpin organ pengelola pendidikan, organ audit bidang non-akademik, dan organ representasi pendidik.
j. mengusahakan pemenuhan kebutuhan pembiayaan badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
k. menyelesaikan persoalan badan hukum pendidikan, termasuk masalah keuangan, yang tidak dapat diselesaikan oleh organ badan hukum pendidikan lain sesuai kewenangan masing-masing.
Pasal 23
(1) Pengambilan keputusan dalam organ representasi pemangku kepentingan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, kecuali ditetapkan lain dalam anggaran dasar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak suara dan tata cara pengambilan keputusan melalui pemungutan suara dalam organ representasi pemangku kepentingan, ditetapkan dalam anggaran dasar.
Pasal 24
(1) Fungsi pengawasan akademik di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dijalankan oleh organ representasi pendidik dan diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar.
(2) Anggota organ representasi pendidik paling sedikit terdiri atas:
a. wakil profesor, dan
b. wakil pendidik.
(3) Anggaran dasar badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, dapat menetapkan wakil unsur lain sebagai anggota organ representasi pendidik selain anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Perimbangan jumlah wakil profesor dan wakil pendidik antarprogram studi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) proporsional dengan jumlah pendidik yang diwakilinya dan diatur dalam anggaran rumah tangga.
Pasal 25
(1) Anggota organ representasi pendidik yang berasal dari wakil pendidik dipilih dari unit kerjanya.
(2) Organ representasi pendidik dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih dari dan oleh para anggotanya.
Pasal 26
(1) Ketua dan anggota organ representasi pendidik disahkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
(2) Ketua dan anggota organ representasi pendidik pada badan hukum pendidikan yang baru didirikan untuk pertama kali ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
(3) Masa jabatan ketua dan anggota organ representasi pendidik adalah 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 27
Tugas dan wewenang organ representasi pendidik pada badan hukum pendidikan adalah:
a. mengawasi kebijakan dan pelaksanaan akademik organ pengelola pendidikan,
b. menetapkan dan mengawasi penerapan norma dan ketentuan akademik,
c. mengawasi kebijakan dan pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan,
d. mengawasi kebijakan kurikulum dan proses pembelajaran dengan mengacu pada tolok ukur keberhasilan pencapaian target pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang ditetapkan dalam rencana strategis badan hukum pendidikan, serta dapat menyarankan perbaikan kepada organ pengelola pendidikan,
e. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika,
f. mengawasi penerapan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan,
g. memutuskan pemberian atau pencabutan gelar dan penghargaan akademik,
h. mengawasi pelaksanaan kebijakan tata tertib akademik,
i. mengawasi pelaksanaan kebijakan penilaian kinerja pendidik dan tenaga kependidikan,
j. memberikan pertimbangan kepada organ pengelola pendidikan dalam pengusulan profesor,
k. merekomendasikan sanksi terhadap pelanggaran norma, etika, dan peraturan akademik oleh sivitas akademika perguruan tinggi kepada organ pengelola pendidikan,
l. memberi pertimbangan kepada organ representasi pemangku kepentingan tentang rencana strategis, serta rencana kerja dan anggaran tahunan yang telah disusun oleh organ pengelola pendidikan, dan
m. memberi pertimbangan kepada organ representasi pemangku kepentingan tentang kinerja bidang akademik organ pengelola pendidikan.
Pasal 28
(1) Pengambilan keputusan dalam organ representasi pendidik dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, kecuali ditetapkan lain oleh organ representasi pendidik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak suara dan tata cara pengambilan keputusan melalui pemungutan suara dalam organ representasi pendidik ditetapkan oleh organ representasi pendidik.
Pasal 29
(1) Organ audit bidang non-akademik merupakan organ badan hukum pendidikan yang melakukan evaluasi non-akademik atas penyelenggaraan badan hukum pendidikan.
(2) Susunan, jumlah, dan kedudukan ketua dan anggota organ audit bidang non-akademik ditetapkan dalam anggaran rumah tangga.
(3) Masa jabatan ketua dan anggota organ audit bidang non-akademik adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 30
Tugas dan wewenang organ audit bidang non-akademik pada badan hukum pendidikan adalah:
a. menetapkan kebijakan audit internal dan eksternal badan hukum pendidikan dalam bidang non-akademik,
b. mengevaluasi hasil audit internal dan eksternal badan hukum pendidikan,
c. mengambil kesimpulan atas hasil audit internal dan eksternal badan hukum pendidikan, dan
d. mengajukan saran dan/atau pertimbangan mengenai perbaikan pengelolaan kegiatan non-akademik pada organ representasi pemangku kepentingan dan/atau organ pengelola pendidikan atas dasar hasil audit internal dan/atau eksternal.
Pasal 31
(1) Organ pengelola pendidikan merupakan organ badan hukum pendidikan yang mengelola pendidikan.
(2) Organ pengelola pendidikan memiliki otonomi dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Organ pengelola pendidikan dipimpin oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.
(2) Pemimpin organ pengelola pendidikan bertindak ke luar untuk dan atas nama badan hukum pendidikan sesuai ketentuan dalam anggaran dasar.
(3) Dalam hal 1 (satu) BHP Penyelenggara memiliki lebih dari 1 (satu) pemimpin organ pengelola pendidikan, kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam anggaran dasar.
(4) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian pemimpin organ pengelola pendidikan ditetapkan dalam anggaran dasar.
(5) Pemimpin organ pengelola pendidikan dapat dibantu oleh seorang atau lebih wakil yang diangkat dan diberhentikan oleh pemimpin organ pengelola pendidikan berdasarkan anggaran dasar.
(6) Masa jabatan pemimpin organ pengelola pendidikan adalah 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 33
(1) Tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan dasar dan menengah pada badan hukum pendidikan adalah:
a. menyusun rencana strategis badan hukum pendidikan berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan organ repesentasi pemangku kepentingan, untuk ditetapkan oleh organ repesentasi pemangku kepentingan,
b. menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan badan hukum pendidikan berdasarkan rencana strategis badan hukum pendidikan, untuk ditetapkan oleh organ repesentasi pemangku kepentingan,
c. mengelola pendidikan sesuai rencana kerja dan anggaran tahunan badan hukum pendidikan yang telah ditetapkan,
d. mengangkat dan memberhentikan pejabat di bawah pemimpin organ pengelola pendidikan serta tenaga badan hukum pendidikan berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan, serta peraturan perundang-undangan,
e. melaksanakan fungsi-fungsi manajemen pengelolaan pendidikan, dan
f. membina dan mengembangkan hubungan baik badan hukum pendidikan dengan lingkungan dan masyarakat pada umumnya.
(2) Tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi pada badan hukum pendidikan adalah:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan akademik,
b. menyusun rencana strategis badan hukum pendidikan berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan organ repesentasi pemangku kepentingan, untuk ditetapkan oleh organ repesentasi pemangku kepentingan,
c. menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan badan hukum pendidikan berdasarkan rencana strategis badan hukum pendidikan, untuk ditetapkan oleh organ repesentasi pemangku kepentingan,
d. mengelola pendidikan sesuai rencana kerja dan anggaran tahunan badan hukum pendidikan yang telah ditetapkan,
e. mengelola penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan rencana kerja dan anggaran tahunan badan hukum pendidikan yang telah ditetapkan,
f. mengangkat dan/atau memberhentikan pimpinan organ pengelola pendidikan dan tenaga badan hukum pendidikan berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta peraturan perundang-undangan,
g. menjatuhkan sanksi kepada sivitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan/atau peraturan akademik berdasarkan rekomendasi organ representasi pendidik,
h. menjatuhkan sanksi kepada pendidik dan tenaga kependidikan yang melakukan pelanggaran, selain sebagaimana dimaksud pada huruf g, sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta peraturan perundang-undangan,
i. bertindak ke luar untuk dan atas nama badan hukum pendidikan sesuai ketentuan dalam anggaran dasar,
j. melaksanakan fungsi lain yang secara khusus diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan
k. membina dan mengembangkan hubungan baik badan hukum pendidikan dengan lingkungan dan masyarakat pada umumnya.
(3) Pemimpin organ pengelola pendidikan yang mengelola pendidikan tinggi, tidak berwenang mewakili badan hukum pendidikan apabila:
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara badan hukum pendidikan dengan pemimpin organ pengelola pendidikan, atau
b. pemimpin organ pengelola pendidikan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan badan hukum pendidikan.
(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), organ representasi pemangku kepentingan menunjuk seseorang untuk mewakili kepentingan badan hukum pendidikan.
Pasal 34
Dalam 1 (satu) badan hukum pendidikan dilarang merangkap jabatan antar pemimpin organ.
Pasal 35
Pemimpin organ pengelola pendidikan dan wakilnya dilarang merangkap:
a. jabatan pada badan hukum pendidikan lain,
b. jabatan pada lembaga pemerintah pusat atau daerah, atau
c. jabatan yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan badan hukum pendidikan.
Pasal 36
(1) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan organ pengelola pendidikan diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
(2) Masa jabatan pimpinan pengelola pendidikan diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
BAB V
KEKAYAAN
Pasal 37
(1) Kekayaan awal BHPP, BHPPD, atau BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan.
(2) Kekayaan BHP Penyelenggara sama dengan kekayaan yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis sebelum diakui sebagai badan hukum pendidikan.
(3) Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang sebelum diakui sebagai badan hukum pendidikan tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan, wajib menetapkan bagian kekayaan yang diperuntukkan bagi BHP Penyelenggara.
(4) Kekayaan dan pendapatan BHPP, BHPPD, atau BHPM dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel oleh pimpinan organ pengelola pendidikan.
(5) Kekayaan dan pendapatan BHP Penyelenggara dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel.
(6) Kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk:
a. kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran,
b. pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi,
c. peningkatan pelayanan pendidikan, dan
d. penggunaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Pasal 38
(1) Semua bentuk pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP dan BHPPD yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP dan BHPPD, tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak.
(2) Semua bentuk pendapatan BHPP dan BHPPD yang diperoleh dari penggunaan tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya kepada BHPP dan BHPPD, tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak.
(3) Sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan, dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam waktu 4 (empat) tahun.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan.
Pasal 39
Kekayaan berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang milik badan hukum pendidikan, dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak langsung kepada siapa pun, kecuali untuk memenuhi kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 40
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2) Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk:
a. beasiswa,
b. bantuan biaya pendidikan,
c. kredit mahasiswa, dan/atau,
d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(5) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(5) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(6) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit ½ (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
(8) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
(9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
(10) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (6) huruf d.
(3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan investasi tambahan setiap tahunnya tidak melampaui 10 (sepuluh) persen dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan.
(4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang ditanggung badan hukum pendidikan.
(5) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organ pengelola pendidikan, terpisah dari pengelolaan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(6) Seluruh keuntungan dari investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).
(7) Perusahaan yang dikuasai badan hukum pendidikan melalui investasi portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk sarana pembelajaran peserta didik.
Pasal 43
(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (3) dan investasi tambahan setiap tahunnya paling banyak 10% (sepuluh persen) dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional oleh dewan komisaris, dewan direksi, beserta seluruh jajaran karyawan badan usaha yang tidak berasal dari badan hukum pendidikan.
(4) Seluruh deviden yang diperoleh dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan yang bersangkutan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).
(5) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk sarana pembelajaran peserta didik.
Pasal 44
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP Penyelenggara, dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan dana pendidikan pada BHPM dan BHP Penyelenggara.
(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
(1) Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada badan hukum pendidikan yang tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, untuk biaya investasi, biaya operasional, dan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.
(2) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan kemudahan atau insentif perpajakan kepada masyarakat yang memberikan dana pendidikan pada badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 46
(1) Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.
(2) Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik.
(3) Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar sesuai dengan kemampuannya, memperoleh beasiswa, atau mendapat bantuan biaya pendidikan.
(4) Beasiswa atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditanggung oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa dan bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN
Pasal 47
(1) Akuntabilitas publik badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah diatur dalam anggaran dasar.
(2) Akuntabilitas publik badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik.
(3) Akuntabilitas publik badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi wajib diwujudkan dengan jumlah maksimum peserta didik dalam setiap badan hukum pendidikan disesuaikan dengan kapasitas sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah maksimum peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 48
(1) Pengawasan badan hukum pendidikan dilakukan melalui sistem laporan tahunan.
(2) Pengawasan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Laporan badan hukum pendidikan meliputi laporan bidang akademik dan laporan bidang non-akademik.
(4) Laporan bidang akademik meliputi laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(5) Laporan bidang non-akademik meliputi laporan manajemen dan laporan keuangan.
(6) Sistem pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Pemimpin organ pengelola pendidikan menyusun dan menyampaikan laporan tahunan badan hukum pendidikan secara tertulis kepada organ representasi pemangku kepentingan.
(2) Pemimpin organ pengelola pendidikan dibebaskan dari tanggung jawab, setelah laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui dan disahkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
(3) Apabila setelah pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat hal baru yang membuktikan sebaliknya, pengesahan tersebut dapat dibatalkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
Pasal 50
(1) Organ representasi pemangku kepentingan membuat laporan tahunan badan hukum pendidikan secara tertulis, berdasarkan laporan tahunan organ pengelola pendidikan untuk dilaporkan dalam rapat pleno organ representasi pemangku kepentingan.
(2) Laporan tahunan badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi oleh organ representasi pemangku kepentingan dalam rapat pleno.
(3) Laporan tahunan badan hukum pendidikan disertai hasil evaluasi rapat pleno secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan oleh organ representasi pemangku kepentingan kepada:
a. menteri bagi BHPP, atau
b. gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing bagi BHPPD.
Pasal 51
(1) Laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan badan hukum pendidikan dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi.
(2) Dalam hal BHP Penyelenggara mengelola lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, laporan keuangan tahunannya merupakan laporan keuangan tahunan konsolidasi.
(3) Laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, harus diumumkan kepada publik melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan papan pengumuman.
(4) Apabila badan hukum pendidikan menerima dan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, badan hukum pendidikan harus membuat laporan penerimaan dan penggunaan dana tersebut dan melaporkan kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Apabila badan hukum pendidikan menerima dan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, badan hukum pendidikan harus membuat laporan penerimaan dan penggunaan dana tersebut dan melaporkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
(1) Laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh akuntan publik atau tim audit yang ditunjuk oleh badan hukum pendidikan.
(2) Laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, diaudit oleh akuntan publik.
(3) Dalam hal badan hukum pendidikan memperoleh hibah dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Inspektorat Jenderal Departemen terkait, atau badan pengawasan daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan audit terhadap laporan keuangan tahunan, terbatas pada bagian penerimaan dan penggunaan hibah tersebut.
Pasal 53
(1) Administrasi dan laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan merupakan tanggung jawab pemimpin organ pengelola pendidikan.
(2) Apabila BHP Penyelenggara mengelola lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, pihak yang bertanggung jawab membuat laporan keuangan konsolidasi tahunan ditetapkan dalam anggaran dasar.
Pasal 54
Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas dan pengawasan badan hukum pendidikan ditetapkan dalam anggaran dasar.
BAB VIII
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 55
(1) Sumber daya manusia badan hukum pendidikan terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan.
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan.
(3) Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
(4) Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh remunerasi dari:
a. Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan, dan
b. badan hukum pendidikan sesuai ketentuan dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan dengan status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serta peraturan perundang-undangan.
(6) Penyelesaian perselisihan yang timbul antara pendidik atau tenaga kependidikan dan pimpinan organ pengelola pendidikan diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
(7) Apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak berhasil, penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
BAB IX
PENGGABUNGAN
Pasal 56
(1) Penggabungan badan hukum pendidikan dapat dilakukan melalui:
a. dua atau lebih badan hukum pendidikan bergabung menjadi satu badan hukum pendidikan baru, atau
b. satu atau lebih badan hukum pendidikan bergabung dengan badan hukum pendidikan lain.
(2) Dengan penggabungan badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaan badan hukum pendidikan yang bergabung berakhir karena hukum.
(3) Aset dan utang badan hukum pendidikan yang bergabung beralih karena hukum ke badan hukum pendidikan baru atau badan hukum pendidikan yang menerima penggabungan.
(4) Aset dan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibukukan dan dilaporkan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dan harus dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggabungan badan hukum pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMBUBARAN
Pasal 57
Badan hukum pendidikan bubar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
a. melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan,
b. dinyatakan pailit, dan/atau
c. asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut.
Pasal 58
(1) Pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib diikuti dengan likuidasi.
(2) Badan hukum pendidikan yang dibubarkan tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk pemberesan semua urusan dalam rangka likuidasi.
(3) Apabila badan hukum pendidikan bubar karena putusan pengadilan, pengadilan menunjuk likuidator untuk menyelesaikan penanganan kekayaan badan hukum pendidikan.
(4) Apabila badan hukum pendidikan bubar karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan.
Pasal 59
(1) Apabila terjadi pembubaran, badan hukum pendidikan tetap bertanggung jawab untuk menjamin penyelesaian masalah pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik.
(2) Penyelesaian masalah pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penyelesaian semua urusan badan hukum pendidikan dalam rangka likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2).
(3) Penyelesaian masalah pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pengembalian pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan ke instansi induk,
b. Pemenuhan hak-hak pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai badan hukum pendidikan berdasarkan perjanjian kerja,
c. Pemindahan peserta didik ke badan hukum pendidikan lain dengan difasilitasi oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian masalah pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 60
(1) Apabila keputusan yang diambil organ badan hukum pendidikan melanggar anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan perundang-undangan, Menteri dapat membatalkan keputusan tersebut atau mencabut izin satuan pendidikan.
(2) Pencabutan izin satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional.
Pasal 61
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 34 dan Pasal 35 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 62
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (3), Pasal 41 ayat (7), ayat (8) , dan ayat (9) Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 67 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian pelayanan dari Pemerintah atau pemerintah daerah, penghentian hibah, hingga pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XII
SANKSI PIDANA
Pasal 63
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, izin satuan pendidikan formal yang sudah dikeluarkan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhir masa berlakunya atau sampai dicabut sebelum masa berlakunya berakhir.
Pasal 65
(1) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui keberadaannya dan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan formal.
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP dan BHPPD menurut Undang-Undang ini, paling lambat 4 (empat) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperoleh alokasi dana pendidikan dengan mekanisme pendanaan yang tetap paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5).
(4) Perubahan bentuk dan penyesuaian tata kelola satuan pendidikan sebagai BHPP atau BHPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah.
Pasal 66
(1) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah menyelenggarakan pendidikan formal sebelum Undang-Undang ini berlaku, diakui keberadaannya sebagai badan hukum pendidikan dan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan formal.
(2) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP menurut Undang-Undang ini, paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) tetap memperoleh alokasi dana dengan mekanisme yang tetap paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5).
(4) Perubahan bentuk dan penyesuaian tatakelola sebagai BHPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam Peraturan Pemerintah yang menetapkan anggaran dasar.
Pasal 67
(1) Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan belum menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tetap dapat menyelenggarakan pendidikan.
(2) Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, paling lambat 6 (enam) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperoleh bantuan dana pendidikan dengan mekanisme yang tetap paling lama 6 (enam) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, dan selanjutnya memperoleh bantuan dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5).
(4) Penyesuaian tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengubah akta pendiriannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan bantuan untuk biaya perubahan akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 69
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …NOMOR …
PENJELASAN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN 2008
TENTANG
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
I. UMUM
Semangat reformasi di bidang pendidikan yang terkandung dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Visi pendidikan dalam UU Sisdiknas adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Undang-Undang tersebut juga menyatakan bahwa reformasi pendidikan menetapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan, antara lain:
a. pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan
b. pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Berdasarkan prinsip tersebut, UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada perguruan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapkan dana pendidikan.
Penyelenggara pendidikan formal yang berbentuk yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah ada sebelum pemberlakuan Undang-Undang ini tetap diakui dan dilindungi untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pengembangan pendidikan nasional. Namun, tata kelola penyelenggaraan pendidikan itu selanjutnya harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan tentang badan hukum pendidikan dalam bentuk undang-undang, sesuai dengan amanat Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “manajemen berbasis sekolah/madrasah” adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Yang dimaksud dengan “otonomi perguruan tinggi” adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “satu atau lebih satuan pendidikan formal” dapat meliputi semua jenjang dan jenis pendidikan formal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis, yang diakui sebagai badan hukum pendidikan tidak perlu mengubah bentuknya untuk jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam akta pendirian yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis tersebut.
Badan hukum lain yang sejenis antara lain adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 9
Ayat (1)
Penambahan satuan pendidikan oleh BHP Penyelenggara harus berbentuk BHPM.
Ayat (2)
Pengubahan bentuk satuan pendidikan yang telah diselenggarakan oleh yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dilakukan oleh BHP Penyelenggara.
Pasal 10
Setelah Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang akan menyelenggarakan pendidikan formal tidak perlu lagi mendirikan BHMN, yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis, tetapi langsung mendirikan BHPP, BHPPD, atau BHPM.
Pasal 11
Ayat (1)
Pendiri dapat berupa orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum seperti yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis.
Ayat (2)
Kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri menjadi kekayaan badan hukum pendidikan akan dimanfaatkan untuk biaya operasional badan hukum pendidikan yang baru.
Lahan dan/atau bangunan dapat tidak dimasukkan sebagai kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan badan hukum pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Keterangan lain paling sedikit memuat nama, tanggal pendirian, alamat, dan pekerjaan pendiri, atau nama, tempat kedudukan, alamat, dan bukti badan hukum yang mendirikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila para pendiri BHPM melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan BHPM sebelum akta notaris tentang pendirian BHPM disahkan oleh Menteri, maka tanggung jawab atas perbuatan hukum tersebut merupakan tanggung jawab pribadi para pendiri tersebut.
Pengesahan akta notaris tentang pendirian BHPM oleh Menteri tidak dipungut biaya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Penggunaan istilah “paling sedikit” menunjukkan bahwa untuk mengakomodasi kekhasan tata kelola pendidikan yang telah ada, Undang-Undang ini hanya mengatur 2 (dua) fungsi pokok minimal berdasarkan manajemen berbasis sekolah. Keberadaan fungsi pokok lain, yang dibutuhkan oleh suatu badan hukum pendidikan karena kekhasannya, dapat ditetapkan di dalam anggaran dasar.
Ayat (2)
Penggunaan istilah “paling sedikit” menunjukkan bahwa untuk mengakomodasi kekhasan tata kelola pendidikan yang telah ada, Undang-Undang ini hanya mengatur 4 (empat) fungsi pokok minimal berdasarkan otonomi perguruan tinggi. Keberadaan fungsi pokok lain, yang dibutuhkan oleh suatu badan hukum pendidikan karena kekhasannya, dapat ditetapkan di dalam anggaran dasar.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “fungsi pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi” meliputi pengelolaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ayat (3)
Badan hukum pendidikan dapat menetapkan fungsi lain untuk melaksanakan kegiatan yang relevan dengan pendidikan, misalnya badan hukum pendidikan dapat menetapkan keberadaan fungsi perumusan etika akademik dan keikutsertaan dalam menjaga kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, dengan membentuk majelis/dewan profesor sebagai organ badan hukum pendidikan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Badan Hukum Milik Negara yang sekarang telah ada dapat tetap menggunakan nama Majelis Wali Amanat sebagai organ yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum, Senat Akademik sebagai organ yang menjalankan fungsi pengawasan akademik, Dewan Audit sebagai organ yang menjalankan fungsi audit bidang non-akademik, dan universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, atau politeknik sebagai organ yang menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan.
Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat tetap menggunakan nama organ Pembina dan Pengurus sebagai organ BHP Penyelenggara yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum, organ Pengawas sebagai organ yang menjalankan fungsi audit bidang non-akademik, dan universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, atau politeknik sebagai organ yang menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan, dengan menambahkan satu organ baru yang menjalankan fungsi pengawasan akademik.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam satu satuan pendidikan terdapat satu organ pengelola pendidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendiri” adalah pendiri badan hukum pendidikan, dan wakil pendiri adalah orang yang bertindak untuk dan atas nama pendiri.
Pada yayasan yang diakui sebagai badan hukum pendidikan, pembina menjalankan fungsi pendiri dalam Undang-Undang ini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Komite sekolah/madrasah merupakan lembaga mandiri yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan, dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendiri” adalah pendiri badan hukum pendidikan, dan wakil pendiri adalah orang yang bertindak untuk dan atas nama pendiri.
Pada yayasan yang diakui sebagai badan hukum pendidikan, pembina menjalankan fungsi pendiri dalam Undang-Undang ini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Wakil unsur masyarakat dipilih sesuai dengan kompetensinya di bidang pendidikan, yang diatur dalam anggaran dasar dan/atau rumah tangga.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “wakil dari unsur lain”, misalnya unsur orang tua/wali peserta didik, unsur alumni dan unsur mahasiswa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pengambilan keputusan” adalah pengam-bilan keputusan melalui pemungutan suara.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar terwujud akuntabilitas dan transparansi di dalam organ representasi pemangku kepentingan.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar terwujud akuntabilitas dan transparansi di dalam organ representasi pemangku kepentingan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Penyusunan dan penetapan anggaran dasar untuk pertama kali dilakukan oleh pendiri atau sebutan lain yang menjalankan fungsi pendiri.
Penyusunan dan penetapan anggaran rumah tangga untuk pertama kali dilakukan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Organ ini hanya ada pada badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Huruf e
Organ ini hanya ada pada badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Organ representasi pemangku kepentingan dapat menetapkan pendirian berbagai badan usaha untuk pengembangan pendidikan.
Huruf k
Jenjang dan tahap penyelesaian masalah badan hukum pendidikan, termasuk masalah keuangan, ditetapkan dalam anggaran dasar.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Organ representasi para pendidik dapat menggunakan nama senat akademik.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “wakil profesor” adalah profesor yang tidak menjabat sebagai pimpinan pengelola pendidikan.
Profesor hanya ada di perguruan tinggi berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik, sedangkan di perguruan tinggi berbentuk akademi dan politeknik yang menyelenggarakan pendidikan vokasional keberadaan profesor bukan merupakan keharusan. Di dalam organ representasi pendidik di lingkungan akademi dan politeknik tidak harus ada wakil profesor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “wakil pendidik” adalah wakil pendidik bukan profesor yang tidak menjabat sebagai pimpinan pengelola pendidikan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “unsur lain” adalah pemimpin unit kerja yang tugas dan wewenangnya mempunyai relevansi tinggi dengan perumusan norma dan ketentuan akademik dan dimaksudkan untuk mengakomodasi kekhasan badan hukum pendidikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pemilihan wakil pendidik dapat dilakukan secara aklamasi atau pemungutan suara yang diatur dalam anggaran rumah tangga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Kebijakan akademik antara lain kebijakan tentang kurikulum dan proses pembelajaran.
Huruf b
Norma dan ketentuan akademik meliputi bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Huruf c
Penerapan sistem penjaminan mutu (quality assurance system) pendidikan pada semua jenjang pendidikan merupakan syarat mutlak agar satuan pendidikan mampu mengembangkan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous quality improvement).
Sistem penjaminan mutu pendidikan terdiri atas penjaminan mutu internal yang dilakukan oleh satuan pendidikan sendiri secara mandiri atau dengan bantuan Pemerintah atau pemerintah daerah, dan penjaminan mutu eksternal yang dilakukan oleh badan akreditasi atau sertifikasi di luar satuan pendidikan, baik tingkat nasional maupun tingkat internasional yang diakui oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Apabila hal itu dilaksanakan secara konsisten, maka akan terdapat keselarasan antara biaya pendidikan yang dikeluarkan dengan mutu pendidikan yang diperoleh peserta didik.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Keberadaan organ audit bidang non-akademik di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan pendidikan menengah bukan keharusan.
Dalam hal badan hukum pendidikan menyelenggarakan lebih dari satu jenjang dan jenis pendidikan, harus ada organ audit bidang non-akademik.
Ayat (2)
Bidang non-akademik meliputi, bidang keuangan, bidang sumber daya manusia, bidang sarana dan prasarana, serta bidang lain yang dianggap relevan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Huruf a
Audit dalam bidang non-akademik dapat meliputi audit keuangan, audit kinerja non-akademik, audit ketaatan, audit investigatif, dan audit lain yang dipandang perlu. Audit non-akademik dilaksanakan secara independen dan obyektif sesuai standar audit yang berlaku. Fungsi audit non-akademik pada BHP Penyelenggara dijalankan oleh pengawas atau sebutan lain.
Organ audit bidang non-akademik dapat menugaskan pengaudit independen untuk melaksanakan audit internal dan/atau audit eksternal atas beban pembiayaan badan hukum pendidikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Seseorang tidak boleh menjabat pemimpin satuan pendidikan lebih dari dua kali masa jabatan, baik secara berurutan atau bersela, termasuk jabatan pemimpin satuan pendidikan yang pernah didudukinya sebelum dibentuk badan hukum pendidikan.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Inti rencana strategis badan hukum pendidikan adalah kebijakan umum yang ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan untuk perencanaan program pendidikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kebijakan akademik antara lain kebijakan tentang kurikulum dan proses pembelajaran.
Huruf b
Inti rencana strategis badan hukum pendidikan adalah kebijakan umum yang ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan untuk perencanaan program dalam bidang akademik dan non-akademik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kriteria dan batasan mengenai pertentangan kepentingan ditentukan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Larangan perangkapan jabatan selain antar pemimpin organ badan hukum pendidikan dalam satu badan hukum pendidikan diatur dalam anggaran dasar.
Pasal 35
Larangan perangkapan jabatan di luar badan hukum pendidikan oleh pimpinan organ pengelola pendidikan selain pemimpin dan wakil pemimpin organ pengelola pendidikan diatur dalam anggaran dasar.
Kriteria dan batasan mengenai pertentangan kepentingan ditentukan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemisahan kekayaan” adalah peralihan hak milik atas kekayaan pendiri kepada BHPP, BHPPD, atau BHPM.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Luas lingkup wewenang pimpinan organ pengelola pendidikan dalam mengelola kekayaan dan penerimaan harus diatur di dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Semua penerimaan dan sisa hasil kegiatan badan hukum pendidikan tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban penanaman kembali ke dalam badan hukum pendidikan dimaksudkan untuk mencegah agar badan hukum pendidikan tidak melakukan kegiatan yang komersial.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 39
Bentuk lain misalnya hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan serta sistem manajemen dan prosedur administratif satuan pendidikan milik badan hukum pendidikan.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mahasiswa” adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “biaya operasional” adalah biaya yang digunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “biaya operasional” adalah biaya yang digunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (7)
Kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya pada badan hukum pendidikan ditetapkan dengan cara menghitung penghasilan tetap (gaji dan tunjangan lainnya), taksasi dan musyawarah dengan tujuan menerapkan subsidi dari yang mampu kepada yang tidak mampu, sehingga meringankan beban peserta didik yang tidak mampu membiayai pendidikannya.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “portopolio” adalah penempatan investasi
diberbagai bidang industri/bisnis.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “portopolio” adalah penempatan investasi
diberbagai bidang industria/bisnis.
Pasal 43
Ayat (1)
Badan usaha berbadan hukum dapat berupa perseroan terbatas, kerja sama dengan perusahaan daerah, dan koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bantuan dana pendidikan dapat berbentuk biaya investasi atau biaya operasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas publik” adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat atas penyelenggaraan pendidikan.
Ayat (2)
Akuntabilitas antara lain dapat diukur dari rasio antara pendidik dan peserta didik, rasio antara ruang pembelajaran dengan peserta didik, alat bantu pembelajaran dengan peserta didik, komposisi peserta didik asing dengan peserta didik warga negara, dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud “laporan manajemen” adalah laporan yang berisi capaian kinerja perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian badan hukum pendidikan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemimpin Pengelola Organ Pendidikan dibebaskan dari tanggung jawab karena laporan tahunan badan hukum pendidikan tidak mengandung kekurangan, kekeliruan, atau kekhilafan yang bersifat material.
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan “hal baru” adalah bukti baru atau novum.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menteri” adalah menteri yang memiliki kewenangan yang berkaitan dengan BHPP yang bersangkutan.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini hanya berlaku untuk badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Berhubung dana hibah berasal Angaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka otoritas pengawasan negara berhak untuk melakukan audit keuangan berlaku hanya pada bagian keuangan badan hukum pendidikan yang berasal dari hibah.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pegawai negeri sipil yang pada saat Undang-Undang ini berlaku sudah bekerja di suatu satuan pendidikan menjadi pegawai negeri sipil yang dipekerjakan pada badan hukum pendidikan.
Ayat (3)
Tenaga badan hukum pendidikan yang berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan tetap harus membuat perjanjian dengan pemimpin organ pengelola pendidikan, karena sekalipun tenaga tersebut telah diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, yang bersangkutan belum diangkat oleh badan hukum pendidikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Yang dimaksud dengan “tujuan badan hukum pendidikan sudah tercapai” antara lain apabila badan hukum pendidikan didirikan dengan tujuan khusus untuk menghasilkan sejumlah lulusan, sehingga setelah jumlah tersebut terpenuhi maka badan hukum pendidikan bubar.
Huruf c.
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…

di Chofy dari:http://agussuwignyo.blogsome.com/2007/05/10/pendidikan-dan-perubahan-habitus/