Kamis, 07 Mei 2009

SEKOLAH GRATIS, PEPESAN KOSONG

SEKOLAH GRATIS, PEPESAN KOSONG

Oleh:Erinto Sumardi

Begitu mendengar kata gratis, rasa senang langsung menjalar, mata mengerjap berbinar sambil dibarengi sedikit keraguan. Benar gratis? Kata gratis banyak digunakan untuk memikat konsumen dalam iklan barang konsumsi dengan maksud pada kesempatan lain mereka akan teringat pada produk itu dan membelinya lagi.

Wacana sekolah gratis telah membola salju. Di beberapa daerah, seperti Pemerintah Kota Makassar mulai tahun ajaran 2007/2008 telah menggratiskan biaya sekolah SD dan SMP di semua sekolah di pulau-pulau di Makassar (Kompas, 28/3/2007). Bagaimana sekolah gratis diselenggarakan? Bagaimana proses pembelajarannya? Materi apa yang dipelajari? Bagaimana peserta didiknya belajar? Bagaimana kesejahteraan gurunya? Bagaimana hasil ujian nasionalnya? Hal-hal ini kurang diberitakan.

Entah sejak kapan mentalitas ”gratisan” ada dan mendarah daging dalam masyarakat kita. Naik kereta api tanpa membeli karcis, bondo nekad (bonek) menjadi ikon gratisan; mau baca koran tetapi tak mau membeli/langganan. Pemerintah, lembaga, dan orang yang memberi sesuatu dengan gratis merasa sebagai pihak lebih mampu, lebih kaya. Klop. Pemerintah senang membuat program penggratisan: sekolah gratis, kompor gratis, obat gratis.

Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. ”Saya harus berhasil karena orangtua saya telah membayar mahal.” Sebaliknya, jika tanpa membayar sepeser pun, mereka bisa seenaknya, bahkan ”mundur tanpa berita” (muntaber)—”toh tidak rugi”. Bagaimana mau menjadi pejuang tangguh kalau tak membiasakan diri belajar secara cerdas?

Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan. Mereka salah satu yang memungkinkan talenta anak berkembang atau malah mati sebelum berkembang. Guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.

Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pos pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.

Seorang rekan berseloroh, ”Kencing saja bayar Rp 1.000, sekolah kok gratis!” Masyarakat kita dengan senang hati membeli rokok Rp 7.500 per hari, membeli VCD bajakan Rp 5.000 per minggu, namun protes keras saat ditarik biaya Rp 300.000 untuk membeli buku pelajaran yang dipakai selama setahun pendidikan anaknya.

Masyarakat harus cerdas mencermati wacana sekolah gratis, menyikapi kampanye calon kepala daerah yang menjanjikan sekolah gratis. Banyak janji menggratiskan pendidikan di sana-sini. Jika dicermati, dalam janji-janji kampanye tetap ada syarat dan ketentuan, yaitu pendidikan murah, iuran sekolah, bantuan buku, dan warga kurang mampu. Tak semua gratis.

Masyarakat harus cerdas menghadapi fakta, anggaran Depdiknas dipangkas Rp 4,918 triliun untuk penghematan. Langkah ini mengganggu pemberantasan buta huruf, bantuan operasional sekolah, dan tunjangan guru. Masihkah pemerintah bicara sekolah gratis?

Program beasiswa lebih baik daripada sekolah gratis. Etos belajar siswa tinggi karena jika tak bisa mempertahankan prestasi, beasiswa dicabut. Perlu diperluas cakupan penerimanya.

Kita sering saksikan, seorang sukses dengan air mata bahagia menceritakan perjuangan orangtuanya membiayai pendidikannya. Orangtuanya bangga berhasil membiayai pendidikan anaknya hingga jadi ”orang”. Kebanggaan ini pantas ditonjolkan.

Tidak semua orang harus menjalani sekolah formal. Mereka perlu diarahkan memilih atau disalurkan ke pendidikan nonformal yang kontekstual. Pemerintah tinggal mendiversifikasi berbagai kursus.

Seyogianya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk.

Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya....

TROMPET KEMATIAN UNTUK PENDIDIKAN

TROMPET KEMATIAN UNTUK PENDIDIKAN

Oleh: Febri Diansyah

Berawal dari dalil telah dirugikan hak konstitusionalnya lantaran aturan yang meletakkan gaji pendidik di luar anggaran pendidikan, seorang guru dan dosen dari Sulawesi Selatan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan pada 20 Februari 2008, melalui putusan 24/PUU-V/2007, MK menyatakan Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sepanjang frase "gaji pendidik dan", bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak punya kekuatan mengikat.

Idenya sederhana, bagaimana mungkin tenaga pengajar, sebagai bagian penting dari sistem pendidikan, justru tidak menikmati alokasi 20 persen anggaran pendidikan. Seperti didalilkan pemohon, jika bangsa ini punya komitmen terhadap pendidikan, seharusnya kesejahteraan guru diperhatikan secara serius. Sehingga, gaji pendidik tidak boleh diatur di luar anggaran pendidikan. Sepintas argumentasi ini masuk akal.

Namun, jika diteliti lebih dalam, argumentasi pemohon yang kemudian dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus sesungguhnya telah berjalan mundur dan mendorong pendidikan Indonesia ke bibir jurang kehancuran.

Dari aspek hukum, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Pendidikan setidaknya mencatat dua persoalan mendasar yang terdapat pada putusan MK.

Pertama, putusan tersebut justru melawan konstitusi dan berdiri berhadap-hadapan dengan UUD 1945. Perhatikan, dalam ketentuan Pasal 28-C ayat 1 dan 28-I ayat 4 UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia. Dan pemenuhan atas hal tersebut merupakan kewajiban negara, khususnya pemerintah. Di titik inilah, sengaja atau tidak, MK telah menafikan jaminan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.

Dalam keadaan belum terpenuhinya kualitas hidup dan kesejahteraan manusia Indonesia yang terlihat pada rendahnya tingkat pemenuhan hak asasi pendidikan warga negara oleh negara, MK justru mengeluarkan putusan yang akan semakin mengeliminasi hak asasi warga negara atas pendidikan. Sebagai hakim yang bijak, MK seharusnya memperhatikan realitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Alokasi anggaran pendidikan Rp 48,2 triliun (11,2 persen dari APBN) di luar gaji guru bahkan masih belum mencukupi kebutuhan pemenuhan hak asasi pendidikan warga negara. Seperti catatan Departemen Pendidikan Nasional, negara ini butuh Rp 136 triliun untuk pendidikan pada 2008. Jika saja MK punya komitmen dan sensitivitas terhadap pendidikan Indonesia, MK akan menghitung dengan cermat 2,8 juta guru di Indonesia, jika rata-rata gaji mereka Rp 2 juta, akan membutuhkan anggaran Rp 56 triliun per tahun. Catatan ini masih mencoba mengesampingkan sejumlah besar gaji guru yang berada di atas Rp 2 juta, dan belum memasukkan tunjangan lainnya.

Dan, ketika memperhatikan ketentuan pada Pasal 1 angka 6 UU Sistem Pendidikan Nasional, bahkan yang dimaksud pendidik bukan hanya guru, tapi juga mencakup dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan lain-lain yang berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan.

Dengan kata lain, dibutuhkan anggaran yang sangat besar untuk menaati kerancuan berpikir para pengawal konstitusi itu. Jika kita taat dengan putusan MK, tidakkah anggaran untuk infrastruktur sekolah, buku, SPP, dan biaya pendidikan yang merupakan hak mendasar siswa akan terabaikan?

Persoalan yuridis kedua terletak pada kewenangan mengadili. MK dapat dikatakan telah mengadili di luar kewenangannya. Seperti dicantumkan dalam pertimbangan hakim, salah satu dasar pengambilan keputusan adalah adanya ketidakkonsistenan antara Pasal 49 ayat 1 dan Pasal 1 angka 3 serta angka 6 UU Sisdiknas. Kalaupun ini benar, seharusnya pengujian konsistensi berada di wilayah praktek, atau merupakan kewenangan pemerintah bersama DPR untuk melakukan executive review.

Selain itu, ketidakmampuan dan ketiadaan komitmen pemerintah memenuhi amanat konstitusi untuk menganggarkan biaya pendidikan 20 persen dari APBN tentu tidak berarti dapat dialihkan pada perampasan hak asasi pendidikan warga negara. Padahal, masyarakat sangat mafhum, tugas pemerintah tidak lain seharusnya adalah menyelenggarakan hak dan kepentingan warga negara, bukan sebaliknya.

Ide penting dari dua argumentasi yuridis di atas terletak pada satu konsep mendasar dalam hukum. Bahwa hukum haruslah hidup dalam masyarakat, dan masyarakatlah yang menjadikan hukum tersebut mempunyai eksistensi, tumbuh, dan ditaati. Substansi hukum adalah untuk kepentingan masyarakat. Salah seorang hakim MK di luar yang menyatakan pendapat berbeda pada putusan 24/2003 bahkan sering kali mendalilkan hal ini. Dan putusan ini adalah putusan kesekian kalinya yang mengingkari konsep mendasar dalam hukum.

Atas dasar itulah, pemerintah disarankan mengabaikan putusan MK. Dua alasan prinsipiil rekomendasi ini terletak pada, pertama, pertimbangan putusan tersebut dinilai berseberangan dan melawan konstitusi itu sendiri, serta MK mengadili di luar kewenangan. Kedua, pengaturan anggaran merupakan kewenangan penuh pemerintah bersama DPR. Khusus poin kedua ini, pertimbangan MK nomor 3.16.6 dalam putusan yang sama juga menegaskan kewenangan pemerintah untuk mengatur pembagian anggaran pada APBN.

Pengabaian dengan dua alasan yang sama tersebut juga pernah dilakukan Mahkamah Agung dalam hal putusan MK tentang unsur melawan hukum pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung saat itu menilai MK mempertimbangkan sesuatu di luar kewenangannya dan pertimbangan tersebut bermasalah secara hukum. Sementara itu, di sisi lain, kewenangan mengadili dan memutus perkara adalah kewenangan MA, sehingga MA dapat mengabaikan putusan MK ketika ia sedang menjalankan "kewenangan mengadili" tersebut.

Mencermati pertimbangan di atas, persoalan berikutnya terletak pada komitmen dan kemauan pemerintah memenuhi amanat konstitusi. Amanat yang tidak hanya soal 20 persen anggaran pendidikan, tapi juga amanat untuk menyelenggarakan dan menegakkan hak asasi manusia Indonesia. Jika komitmen itu ada, pemerintah akan mengabaikan putusan MK. Lagi pula tidak pernah ada larangan untuk itu, sehingga pemerintah tidak akan melanggar apa-apa jika tetap menganggarkan gaji guru di luar alokasi anggaran pendidikan. Jika tidak, maka benarlah bahwa putusan nomor 24 itu adalah terompet kematian untuk pendidikan Indonesia.

http://www.korantempo.com/korantempo/2008/03/04/Opini/krn,20080304,68.id.ht

Febri Diansyah

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Tim Perumus Eksaminasi Putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007



LIBERALISASI PENDIDIKAN

LIBERALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Erinto Sumardi

Dalam sistem ketatanegaraan, negara membuat undang-undang sebagai rambu-rambu terhadap tata kehidupan bermasyarakat. Pembuatannya merupakan wujud suatu tindakan mengatur (governing), yang merupakan kewajiban dan tugas pemerintah (government) untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan (governance). Begitulah halnya ketika negara Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya jelas, supaya penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air berada dalam rambu-rambu satu sistem, yang disebut pendidikan nasional.

Mari kita lihat, apakah penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air berjalan seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dalam satu sistem untuk membuat rakyatnya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab serta mempunyai kesadaran nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Benarkah bahwa di Republik Indonesia tidak ada sistem lain, yang bukan Sisdiknas, dan beroperasi dengan leluasa karena pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, tampaknya meliberalkan pendidikan di wilayah Tanah Air ini? Sebab, plural system telah terjadi di beberapa sekolah negeri dan swasta.

Sekolah Nasional Plus

Fenomena kebebasan dalam penyelenggaraan pendidikan dimulai oleh lembaga sekolah swasta. Tantangan globalisasi serta tuntutan modernisasi pendidikan pada era teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan, pada awal 1990-an, masyarakat penyelenggara sekolah swasta merintis pendidikan berciri internasional. Memakai bahasa pengantar bahasa Inggris, menyewa guru ekspatriat, serta mengedepankan aplikasi teknologi informasi. Dengan era reformasi, gejala pembukaan sekolah sejenis semakin menjamur. Mereka menamakan diri Sekolah Nasional Plus, membuat kombinasi kurikulum asing dengan kurikulum nasional, dan membentuk asosiasi dengan nama Association of National Plus School, disingkat ANPS. Istilah "plus" dipakai di situ untuk menunjukkan "kelebihan" dibanding sekolah biasa. Jumlah sekolah ini sudah mencapai ratusan di seluruh Indonesia. Mereka bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Singapura, India, bahkan Turki guna memperoleh akreditasi dan franchising. Selain bahasa Inggris, bahasa-bahasa asing lainnya juga diajarkan, seperti bahasa Cina-Mandarin, Jepang, dan Arab.

Salah kaprah

Karena merasa mempunyai kelebihan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan proses pembelajaran oleh guru-guru ekspatriat, sekolah-sekolah swasta semacam itu ada yang menyebut dirinya sekolah internasional. Kekacauan penggunaan istilah "internasional" ini dimulai dari Sekolah Asing Expatriate, yang diizinkan beroperasi di Indonesia. Sekolah internasional sebagai nomenklatur ini merujuk pada nationalities murid-muridnya, bukan sistem pendidikannya. Misalnya, Jakarta International School itu adalah sekolah Amerika, Nederlandse Internationale School adalah sekolah Belanda, Deutsche Internationale Schule adalah sekolah Jerman, dan lain-lainnya. Murid mereka terdiri atas berbagai kebangsaan. Jadi bukan sistem pendidikannya yang internasional.

Sistem yang betul-betul internasional adalah yang disebut International Baccalaureate Program, yang disingkat IB. Institusi ini dibentuk pada 1968 dan berpusat di Swiss. Beberapa negara maju, termasuk di dalamnya beberapa lembaga pendidikan, pada waktu itu bersepakat membentuk wadah pendidikan yang memungkinkan lulusannya dari mana pun memiliki akses ke perguruan tinggi di negara-negara maju tanpa harus mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi yang bersangkutan. Program IB inilah yang betul-betul internasional dan sudah dilaksanakan oleh lebih dari 100 negara di dunia.

Di Indonesia, program IB sudah dipakai oleh beberapa sekolah swasta. Program IB ini sangat berat persyaratannya. Hanya sekolah kaya yang mampu menyelenggarakan dengan biaya pendidikan sangat tinggi. Sekolah-sekolah penyelenggara program IB ini harus mendapat sertifikasi dari International Baccalaureate Organisation atau IBO dengan pengawasan berkala yang cukup ketat.

Pendidikan kewarganegaraan

Sekolah-sekolah yang menyebut diri sekolah nasional seharusnya berjalan menurut rambu-rambu UU Sistem Pendidikan Nasional. Bagi Sekolah Nasional Plus, yang bobot nasionalnya masih tebal, ketentuan-ketentuan dari Sisdiknas, dalam hal ini kurikulum nasional, masih diikuti dengan patuh, di samping kurikulum asing yang diberikan dalam bentuk "plus" tersebut. Murid-muridnya disiapkan untuk mengikuti ujian nasional sebagai ketentuan Sisdiknas.

Namun, seiring berjalannya waktu banyak, Sekolah Nasional Plus menipis nasionalismenya dengan mengurangi bahkan mengabaikan kurikulum nasional. Sebagian dari mereka bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah. Apakah hal ini bukan suatu bentuk liberalisasi pendidikan di Tanah Air, walaupun bukan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan itu? Siapa yang dapat menjamin pembentukan nation and character building setiap warga negara dapat terlaksana dengan baik apabila yang diajarkan sehari-hari dalam proses pendidikan adalah ideologi, materi, atau "isme" yang bukan isi kurikulum nasional yang berbasis Pancasila? Apakah laissur fair di bidang pendidikan itu dapat dibenarkan? Dengan dilaksanakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), liberalisasi pendidikan ini nyaris sempurna, karena KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah.

Perizinan sembarangan

Menurut undang-undang, setiap pembukaan lembaga pendidikan baik prasekolah, sekolah, maupun perguruan tinggi harus melalui perizinan, terlepas dari siapakah yang harus memberi izin, pemerintah pusat atau pemerintah daerah, karena desentralisasi kepemerintahan. Pembukaan suatu sekolah memerlukan berbagai pertimbangan, baik menyangkut masalah infrastruktur dan lingkungan sekolah, tenaga pendidik/pengajar, kurikulum, visi dan misi sekolah, potensi peserta didik, maupun pembiayaan dan lainnya.

Namun, berbagai pertimbangan itu banyak diabaikan sehingga banyak kita jumpai sekolah yang dibuka di ruko, rumah tinggal, atau lahan yang sempit, dan mengganggu lalu lintas serta membuat gaduh lingkungan, sehingga seolah-olah pendidikan/sekolah merupakan home industry belaka. Ada kemungkinan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mempunyai izin. Ini terjadi terutama di tingkat play group dan taman kanak-kanak, yang merupakan komoditas menguntungkan secara bisnis bagi penyelenggaranya.

Pembelajaran yang disertai bahasa Inggris atau dengan embel-embel tambahan latar belakang agama semacam ini sangat laris manis diserbu para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, dari prasekolah bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Suatu kebanggaan sosial bagi orang tua kalau anaknya sudah bisa bicara sedikit-sedikit bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, yang diajarkan di play group atau taman kanak-kanak. Gaya hidup metropolitan orang tua modern mendorong menjamurnya industri pendidikan semacam ini. Kalau gejala sosial di kota-kota besar di Indonesia seperti itu tidak segera ditata dan diarahkan secara konstruktif, dikhawatirkan liberalisasi pendidikan yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang ada akan berdampak jauh bagi hari depan bangsa Indonesia. Pendidikan bukan sekadar menjadikan siswa cerdas, tapi juga menjadikan mereka warga negara, artinya warga dari suatu negara dan bangsa yang memiliki jati diri bangsa, bukan warga dengan jati diri yang lain. Dalam bukunya Democracy and Education: an Introduction of the Philosophy of Education (1915), John Dewey (1859-1952), seorang filosof Amerika, telah mengingatkan bahwa kondisi kritis suatu masyarakat demokratis dan industrial itu memerlukan penanganan pendidikan yang baru. Dia mengatakan: "The agencies of democratic and industrial society demanded new educational techniques."

Mengambil contoh bagaimana leadership dari pemimpin-pemimpin Prusia telah membentuk warga negara Jerman yang tangguh nasionalismenya, John Dewey mengatakan: "Under the influence of German thought in particular, education became a civic function, and the civic function was identified with the realization of the ideal of the nation state... to form the citizen, not the ‘man’ became the aim of education." Tujuan pendidikan nasional tidak sekadar membentuk kepribadian manusia Indonesia yang baik, tapi juga menjadikannya seorang warga negara yang baik.

DISKRIMINASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN KITA

Oleh: Deni Andriana

Sudah beberapa kali Siti Maesaroh dipanggil oleh pihak sekolah, dibariskan di lapangan basket bersama siswa miskin lainnya, lalu diberi tahu bahwa mereka tidak bisa mengikuti ujian sekolah, karena mereka belum melunasi SPP, DSP, dan lain-lain. Setiap sesudah menerima peringatan yang menyakitkan itu, siswa kelas X sebuah SMA negeri di Cicalengka itu, pulang ke rumah sambil menangis, dan mengadukan rasa malu yang ditanggungnya kepada kedua orang tuanya ...

Kutipan berita yang diterbitkan HU Pikiran Rakyat 17 Juli 2008 itu adalah sebagian dari realitas kondisi pendidikan yang diselenggarakan di negara ini. Pendidikan yang merupakan sebuah komoditas yang tidak bebas nilai, pendidikan yang di dalamnya terdapat transaksi ekonomi di mana ada perilaku jual beli di dalamnya, dengan prinsip harga tergantung banyaknya permintaan. Pendidikan yang tidak lagi berorientasi pada upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang alih-alih memanusiawikan manusia menjadi sebuah ladang di mana tindakan tidak berperikemanusiaan tumbuh subur.

Meminjam pendapat Rohmat Sarman, S.E., M.Si. (pendiri Radio Komunitas NH FM Karawang), pendidikan seyogianya adalah proses memberi dan menerima yang didalamnya ada keiklasan dari si pemberi dan penerima, ikhlas untuk memberi dan ikhlas untuk menerima. "Pendidikan berwajah kapitalisme, cenderung tidak ikhlas dan rendah nilai perjuangannya! Jika seperti itu, maka transformasi nilai-nilai hakikat pendidikan menjadi tidak lancar, karena tersumbat oleh perasaan membeli dan dibeli!" ujar Rohmat yang tengah merintis lahirnya sekolah komunitas di karawang bersama komunitas radionya, seperti yang dilansir rakom.nh.web.id.

Dalam konstitusi, peraturan ataupun dasar negara sudah secara tegas dinyatakan bahwa negara menjadi penanggung jawab utama dalam proses mencerdaskan bangsa tanpa memandang predikat warga secara ekonomi. Kenyataan di mana praktik-praktik diskriminasi dalam pendidikan yang membedakan si kaya dan si miskin menjadi bukti terjadi pelanggaran yang dilakukan negara.

Jika ditarik pada dua kasus terdekat lainnya, praktik diskriminasi ini terjadi di antaranya, pertama pada praktik ujian negara (UN) yang menyamaratakan semua siswa dari berbagai daerah dengan tidak mempertimbangkan kualitas pendidikan yang selama ini mereka dapatkan. Perbedaan sekolah, fasilitas, pengajar, dan lainnya tidak menjadi pertimbangan. Di sini terlihat bahwa paham positivisme masih dianut seperti halnya di era Orde Baru, di mana A berlaku untuk semuanya, tidak perduli masih ada B, C, sampai Z.

Kedua, pada penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Pada saat dilangsungkannya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) kemarin jelas terlihat bahwa SNMPTN yang merupakan bentuk baru dari SPMB bukan lagi menjadi sarana bagi siswa-siswa berkualitas mendapatkan haknya untuk duduk di bangku kuliah universitas negeri, tetapi lebih kepada ajang bagi mereka yang ingin berjudi mengadu nasib memperebutkan jatah kursi yang tersisa, setelah dikebiri oleh jalur khusus ataupun ujian masuk yang diselenggarakan mandiri oleh tiap universitas negeri. Dihitung dari persentase, jatah kursi yang diperebutkan di SNMPTN tidaklah mencapai 50% dari keseluruhan kursi yang tersedia. Yang kaya silakan lewat jalur khusus, yang miskin silahkan berjudi lewat SNMPTN, itulah mungkin slogannya. Inilah wajah perguruan tinggi dengan badan hukum milik negara (BHMN) dan kemudian menjadi badan hukum pendidikan (BHP).

Dalam mengatasi absurdnya pendidikan yang diselenggarakan negara, pihak-pihak yang peduli akan terciptanya masyarakat yang cerdas melakukan usaha-usaha alternatif yang patut diapresiasi. Usaha yang lebih konkret dibandingkan dengan janji-janji partai politik dan para kandidat eksekutif dalam pemilu ataupun pilkada. Di antaranya adalah mendirikan sekolah-sekolah komunitas, sekolah alternatif, perpustakaan alternatif, home schooling, kelompok belajar, ataupun yang dahsyat seperti yang dilakukan Butet Manurung dengan Sokola Rimba-nya yang melakukan pendidikan dan pengajaran untuk anak-anak di lokasi pedalaman. Inilah bentuk oposisi sejati yang patut dicontoh, oleh mereka yang berkata oposisi tetapi tidak mau melakukan kerja tandingan, di mana kebanyakan mengimplemetasikan oposisi hanyalah kepada praktik kritik-mengkritik yang ujungnya menjadi ajang berebut kuasa.

Adanya diskriminasi pendidikan berjalan lurus dengan adanya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, lebih bijak untuk diselesaikan lebih dulu dibandingkan dengan menjebakkan diri pada persoalan-persoalan elite lainnya. Karena pendidikan sudah banyak yang menyepakatinya sebagai sebuah pondasi utama kemajuan sebuah bangsa, maka yang ingin dan berkoar-koar akan memajukan bangsa ini harus memberi kesempatan untuk semua lapisan masyarakat mendapatkan haknya untuk cerdas baik secara intelektual, emosional, juga secara spiritual. Sebagai catatan penting, adanya diskriminasi akan mengarah pada terciptanya emosi yang labil, maka anarkisme yang tercipta subur di masyarakat adalah hasil dari diskriminasi tersebut.***

REFLEKSI PENDIDIKAN BERSAMA PAULO FREIRE

REFLEKSI PENDIDIKAN BERSAMA PAULO FREIRE

Oleh: Erinto Sumardi

SECARA kebetulan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei bertepatan dengan meninggalnya filosof pendidikan terkemuka abad ke-20, Paulo Freire, pada 2 Mei 1997. Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan memperingati Hardiknas dengan mendiskusikan pemikiran Freire dan kemungkinan dikontekstualisasikan di Indonesia.

Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).

Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya. Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.

Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.

Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.

Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan. Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium

untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks
dan konteks, teks dan realitas.

ELAJARAN yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke
sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?

Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo? Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan:

Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal. Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?

Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah. Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buatmereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?

Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil. Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi. Saya pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas. Jarang sekali mereka disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita memperhatikan sungguh-sungguh masa depan kedua kelompok ini. Pendidikan kita sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat dominan.

PENDIDIKAN DAN PEMERDEKAAN II

Oleh :Erinto Sumardi

Ketika mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya hanya ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.

Ki Hadjar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usahayang manjur.

Upaya itu pula yang digaungkan kembali oleh Paulo Frerre, pendidik multikultural melalui karyanya Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, tahun 1984. Meski sudah diawali oleh Ki Hadjar DewanaWa 86 tahun lalu dan digaungkan? kembali oleh Freire lebih dari 25 tahun lalu, ternyata upaya penyadaran dan pemerdekaan melalui pendidikan justru kian jauh dari kenyataan.

Berbagai masalah yang melingkupi dunia pendidikan kita, alih-alih bisa memer dekakan peserta didik, yang terjadi justru membelenggu atau memenjarakan siswa. Selama pendidikan yang seharusnya bermakna luas itu hanya dipahami sebagai proses formal, se-kadar proses alih pengetahuan, selama itu pula berbagai hal yang seharusnya menjadi penyadaran akan terus terganggu pelaksanaannya.

Masalah sertifikasi guru, keinginan membalik rasio pendidikan kejuruan dan SMA, danmasalah buku yang bisa diunduh dari internet hanya sekadar contoh dari berbagai persoalan pendidikan Indonesia yang memang membelenggu. Belum lagi biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga

pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang se-kaJigus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan baik untuk sementara dipendam dulu.

Tidak hanya itu. Yang menyedihkan, cara mendidik dengan memberikan berbagai macam informasi membuat peserta didik tak lebih dari kantong besar yang harus diisi penuh, tak peduli apakah itu berguna atau tidak. Dalam istilah Freire, itulah "pendidikan berkonsep menabung". Peserta didik tak pernah diajak berpikir kritis, tak didorong untuk memecahkan masalah, dan tak dilatih untuk berani mengungkapkan pendapat secara wajar.

Harapan masyarakat

Meskipun belum menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya, masyarakat tetap menaruh harapan besar terhadap lembaga pendidikan. Banyak orangtua berpendapat, anak-anak harus bersekolah agar nasib mereka menjadi lebih baik daripada yang dialami orangtua mereka. Pendidikan lalu diyakini sebagai lembaga yang diharapkan mampu mengubah nasib.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak orangtua berupaya menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Apa pun yang dimiliki dipertaruhkan agaranak-anaknya bisa bersekolah. Banyak petard di pedesaan harus membanting tulang agar bisa menyekolahkan anaknya. Bahkan, dulu sering terjadi, petani terpaksa menggadaikan sawah gantungan hidup keluarga agar anak-anaknya bisa bersekolah. Tak hanya itu, di kawasan Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta) dulu pernah terjadi, petani terpaksa membawa sapi atau kerbaunya ke sekolah. Selama "sekolah", sapi atau kerbau itu istirahat dari tugas membajak sawah.

Di perkotaan, pegadaian merupakan dewa penolong. Untuk sementara, pegadaian menjadi "sekolah" bagi sertifikat rumah, perhiasan, motor, mobil, atau apa pun yang dimiliki keluarga agar anak-anak benar-benar bisa bersekolah. Pendidikan benar-benar dianggap sebagai tempat yang aman untuk memperbaiki nasib dan membangun masa depan. Namun, benarkah pendidikan memberikan apa yang diharapkan masyarakat?

Kita semua paham, harapan tinggal harapan. Kenyataannya, pendidikan belum mampu memenuhi harapan masyarakat, bahkan untuk hal-hal yang paling dasar sekalipun, seperti rasa aman. Kita sering mendengar, anak-anak justru mengalami kekerasan ketika berada di sekolah. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 kekerasan terhadap anak meningkat 300 persen dari tahun sebelumnya, dari 4.398.625 kasus menjadi 13.447.921 kasus tahun 2008 CSekolah Bukan Tempat Amanbagi Anak", Kompas, 23/7/2008).

Melihat kenyataan ini, kian sulit untuk mengatakan bahwa pendidikan telah melakukan tugasnya sebagai wahana penyadaran diri sekaligus tempat membangun masa depan yang aman.

Pendidikan dan masifikasi

Paulo Freire menyatakan, pembangunan ekonomi merupakan hal esensial guna menunjang demokrasi. Pembangunan sendiri harus bersifat otonom dan nasional. Para pendidik diharapkan ikut berpartisipasi dan andil dalam melahirkan pendidikan kritis. Dari pendidikan kritis ini diharapkan mampu membantu terbentuknya sikap-sikap kritis. Dari hal inilah diharapkan lahir manusia yang mampu mengembangkan kemampuannya untuk melihat aneka tantangan dari zamannya.

Oleh karena itu, situasi menuntut agar pendidikan mampu melahirkan manusia yang berani membicarakan berbagai masalah lingkungan ikut menangani lingkungannya

Pendidikan juga diharapkan mampu mengingatkan manusia dari bahaya zaman sekaligus memberi kekuatan untuk menghadapinya. Dengan demikian, pendidikan bukan lagi menjadi lembaga yang membuat akal kita menyerah dan patuh pada keputusan-keputusan orang lain. Bila ini dijalankan dengan baik, itu berarti pendidikan telah melakukan proses humanisasi Namun, sudahkah pendidikan membuat kita menjadi manusia merdeka?

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN


KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

Oleh: Erinto Sumardi

Bulan Juli lalu, saya sedang berada di Singapura ketika Olimpiade Fisika dimenangkan anak-anak Indonesia. Membanggakan sekali melihat di TV dan membaca di koran kemenangan anak-anak Indonesia.

Pada sore hari saya berkesempatan mengantarkan seorang teman membeli dompet. Ibu yang menjual dompet itu bercerita bahwa semua bahan bakunya dari Indonesia. Kulit sapi, gajah, ular, buaya dan berbagai kulit lainya, diimpor dari Indonesia, lalu oleh Singapura dibuat menjadi dompet yang indah dan berkualitas.

Saya tidak habis pikir, masak iya, bangsa yang menjadi juara Olimpiade Fisika tidak bisa membuat dompet? Itulah kenyataannya. Sudah menjadi rahasia umum, bangsa kita baru mampu mengonsumsi, belum mampu memproduksi. Mengapa? Sumber daya manusia kita belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Baru-baru ini, salah satu TV nasional menyiarkan acara Padamu Negeri, antara lain muncul asumsi bahwa bangsa kita masih didikte oleh bangsa lain terutama Amerika Serikat. Sudah lama diakui bahwa bangsa kita de jure sudah merdeka, tetapi de fakto masih terus terjajah. Mengapa kita bisa didikte? Mengapa kita secara ekonomi dan politik masih terus dijajah? Mengapa kekayaan kita lebih banyak memakmurkan bangsa lain? Semuanya bergantung pada pendidikan. Kemerdekaan yang tidak dibarengi oleh pengembangan sumber daya manusia akan menyebabkan kita terus terjajah, terlepas dari tudingan bahwa rakyat kita juga terus dijajah oleh elite yang berkuasa.

Prioritas Pendidikan

Kita sangat menghargai kebijakan pemerintah dan wakil-wakil rakyat mulai memprioritaskan pendidikan. Keputusan politik sejak tahun 2004 meningkatkan anggaran pendidikan memang melegakan, walaupun sebenarnya sangat terlambat karena kita sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi masih terus terjajah. Sudah lama sekali almarhum TB Simatupang mengingatkan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, melainkan bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.

Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Di zaman Orde Lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga mayoritas buta huruf. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto mencanangkan pengembangan pendidikan dasar dengan membuka SD Inpres di pelosok-pelosok. Di zaman Reformasi dimulai dengan kebijakan meningkatkan pendidikan dasar hingga SMP. Lalu lahirlah kebijakan meningkatkan anggaran pendidikan. Tujuannya tentu saja memajukan pendidikan di Indonesia.

Mencermati kebijakan di bidang pendidikan, UU Sistem Pendidikan Nasional sudah beberapa kali diperbarui antara lain untuk menghapuskan kesan bahwa di Departemen yang maha penting ini jangan lagi terjadi ganti menteri ganti kebijaksanaan. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa pendidikan di Indonesia sangat amburadul, karena itu sulit sekali pendidikan kita maju, sulit sekali mendidik anak-anak kita mampu bersaing dengan anak-anak bangsa lain. Nasib kita bukan terus menjadi bangsa koeli, buktinya anak-anak negeri ini bisa tampil prima, melalui Olimpiade Fisi- ka. Kalau begitu masalahnya apa? Jawaban saya ada dua.

Pertama, kita menyelenggarakan pendidikan yang tidak memerdekakan. Kebijakan pendidikan di Indonesia yang selalu menekankan keseragaman, tanpa disadari membuat pendidikan kita tidak menciptakan kemerdekaan dan kedewasaan, melainkan kebergantungan dan bahkan mentalitas budak.

Kedua, pendidikan modern di Indonesia kurang memperhatikan aspek moral. Walaupun secara teoritis isi pendidikan kita mengharuskan adanya keseimbangan tiga rana yang penting dalam suatu pendidikan yaitu rana kognitif, afektif dan psikhomotorik, namun teori itu tidak ditopang oleh disiplin dan keteladanan sistem maupun para penentu kebijakan pendidikan. Sebagai contoh, pernah ditengarai, Departemen Pendidikan adalah salah satu Departemen yang menjadi sarang korupsi.

Ketika para demonstran yang menolak kebijaksanaan tentang standarisasi baru Ujian Akhir Nasional (UAN) menyampaikan orasinya, salah satu keberatannya adalah misteri di balik ke- bijaksanaan itu yaitu "proyek ujian ulang" yang bernilai miliaran rupiah. Pendidikan memang proyek raksasa karena menyangkut nasib jutaan rakyat dan masa depan bangsa. Sayangnya, proyek-proyek raksasa seperti pembangunan rumah sekolah, pengadaan sarana sekolah dan lain sebagainya, sering menjadi ujian keserakahan para pelaksana proyek. Komersialisasi pendidikan di Indonesia adalah masalah moral yang paling serius.

Moralitas Pendidikan

Persoalan pokok pendidikan kita terletak pada masalah moralitas pendidikan. Moralitas adalah tata tertib tingkah laku yang dianggap baik dan luhur dalam kehidupan masyarakat. Moralitas pendidikan adalah tata tertib tingkah laku para pelaksana pendidikan yang baik dan luhur. Bagaimana mengukur kebaikan dan keluhuran para pelaksana pendidikan? Yaitu kalau memberikan prioritas pada pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri dengan berpatokan pada aturan-aturan main yang disepakati dalam masyarakat, khususnya yang diatur dalam kode etik pendidikan di Indonesia.

Para guru disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Itu suatu penghargaan karena integritas moral para pendidik yang tak bisa dinilai dengan materi. Tetapi ketika guru tidak memperhatikan muridnya dengan baik dan terpaksa harus mencari tambahan untuk kebutuhan hidupnya, kewibawaan mereka merosot.

Para guru disalahkan ketika mutu pendidikan menurun, ketika terjadi tawuran di sekolah. Para pakar mempersoalkan pendapatan para guru sebagai sumber merosotnya mutu pendidikan karena mereka kurang serius mengajar. Memang itu bisa terjadi, guru yang sering di luar dan menawarkan pelajaran tambahan pada murid memang bisa menyebabkan merosotnya mutu pendidikan. Namun mungkin itu hanya satu dua kasus yang suka digeneralisir.

Persoalan pokok ada pada kebijakan pendidikan secara nasional. Pernahkah kita mempersalahkan para petinggi pendidikan pengambil kebijaksanaan dan keputusan-keputusan yang mungkin dibaliknya hanya ada "proyek" komersialisasi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa komersialisasi pendidikan merupakan salah satu borok moralitas bangsa ini.

Baru-baru ini saya sendiri mengalami, di desa di mana kami mendirikan sebuah SMP untuk menolong anak-anak yang putus sekolah karena pemerintah belum mampu mendirikan sekolah negeri di sana. Ketika sekolah ini berjalan enam tahun, tanpa ada percakapan dengan masyarakat setempat, tiba-tiba pemerintah pusat bersama oknum-oknum tertentu membuka Sekolah Menengah Negeri yang langsung mematikan SMP Swasta yang sudah ada tersebut. Inilah contoh kebijakan pendidikan yang sarat dengan komersialisasi.

Perhatian pada dunia pendidikan dengan menaikkan jumlah nominal anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, di satu pihak memang menggembirakan kalau dipergunakan dengan baik. Tetapi di pihak lain, justru memprihatinkan kalau ternyata dana yang terus bertambah itu hanya menambah macam-macam proyek komersialisasi yang semakin menggemukkan oknum tertentu.

Rupanya pembenahan dunia pendidikan di Indonesia harus dimulai dari para pengambil kebijakan pendidikan, dari sekadar menambah anggaran pendidikan dalam APBN. Menambah anggaran pendidikan tanpa membenahi moralitas para penentu kebijakan pendidikan, hanya ibarat "memberi pupuk rumput" komersialisasi pendidikan di halaman Departemen Pendidikan Nasional. Pembenahan moralitas semua pengambil kebijakan pendidikan harus menjadi prioritas utama. Yang harus dilakukan adalah membabat praktek korupsi di dunia pendidikan, pendidik yang berpikiran korup diganti dengan mereka yang berpikiran ideal dan punya komitmen memajukan bangsa.

Menurut John Dewey, salah seorang bapak pendidikan Amerika Serikat, kebebasan atau kedewasaan adalah tujuan hidup manusia. Itu sebabnya ada pendidikan. Pendidikan tidak lain dari pada mengantarkan orang muda bebas dari kebergantungan sosial.

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

Oleh: Erinto Sumardi

Bulan Juli lalu, saya sedang berada di Singapura ketika Olimpiade Fisika dimenangkan anak-anak Indonesia. Membanggakan sekali melihat di TV dan membaca di koran kemenangan anak-anak Indonesia.

Pada sore hari saya berkesempatan mengantarkan seorang teman membeli dompet. Ibu yang menjual dompet itu bercerita bahwa semua bahan bakunya dari Indonesia. Kulit sapi, gajah, ular, buaya dan berbagai kulit lainya, diimpor dari Indonesia, lalu oleh Singapura dibuat menjadi dompet yang indah dan berkualitas.

Saya tidak habis pikir, masak iya, bangsa yang menjadi juara Olimpiade Fisika tidak bisa membuat dompet? Itulah kenyataannya. Sudah menjadi rahasia umum, bangsa kita baru mampu mengonsumsi, belum mampu memproduksi. Mengapa? Sumber daya manusia kita belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Baru-baru ini, salah satu TV nasional menyiarkan acara Padamu Negeri, antara lain muncul asumsi bahwa bangsa kita masih didikte oleh bangsa lain terutama Amerika Serikat. Sudah lama diakui bahwa bangsa kita de jure sudah merdeka, tetapi de fakto masih terus terjajah. Mengapa kita bisa didikte? Mengapa kita secara ekonomi dan politik masih terus dijajah? Mengapa kekayaan kita lebih banyak memakmurkan bangsa lain? Semuanya bergantung pada pendidikan. Kemerdekaan yang tidak dibarengi oleh pengembangan sumber daya manusia akan menyebabkan kita terus terjajah, terlepas dari tudingan bahwa rakyat kita juga terus dijajah oleh elite yang berkuasa.

Prioritas Pendidikan

Kita sangat menghargai kebijakan pemerintah dan wakil-wakil rakyat mulai memprioritaskan pendidikan. Keputusan politik sejak tahun 2004 meningkatkan anggaran pendidikan memang melegakan, walaupun sebenarnya sangat terlambat karena kita sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi masih terus terjajah. Sudah lama sekali almarhum TB Simatupang mengingatkan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, melainkan bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.

Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Di zaman Orde Lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga mayoritas buta huruf. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto mencanangkan pengembangan pendidikan dasar dengan membuka SD Inpres di pelosok-pelosok. Di zaman Reformasi dimulai dengan kebijakan meningkatkan pendidikan dasar hingga SMP. Lalu lahirlah kebijakan meningkatkan anggaran pendidikan. Tujuannya tentu saja memajukan pendidikan di Indonesia.

Mencermati kebijakan di bidang pendidikan, UU Sistem Pendidikan Nasional sudah beberapa kali diperbarui antara lain untuk menghapuskan kesan bahwa di Departemen yang maha penting ini jangan lagi terjadi ganti menteri ganti kebijaksanaan. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa pendidikan di Indonesia sangat amburadul, karena itu sulit sekali pendidikan kita maju, sulit sekali mendidik anak-anak kita mampu bersaing dengan anak-anak bangsa lain. Nasib kita bukan terus menjadi bangsa koeli, buktinya anak-anak negeri ini bisa tampil prima, melalui Olimpiade Fisi- ka. Kalau begitu masalahnya apa? Jawaban saya ada dua.

Pertama, kita menyelenggarakan pendidikan yang tidak memerdekakan. Kebijakan pendidikan di Indonesia yang selalu menekankan keseragaman, tanpa disadari membuat pendidikan kita tidak menciptakan kemerdekaan dan kedewasaan, melainkan kebergantungan dan bahkan mentalitas budak.

Kedua, pendidikan modern di Indonesia kurang memperhatikan aspek moral. Walaupun secara teoritis isi pendidikan kita mengharuskan adanya keseimbangan tiga rana yang penting dalam suatu pendidikan yaitu rana kognitif, afektif dan psikhomotorik, namun teori itu tidak ditopang oleh disiplin dan keteladanan sistem maupun para penentu kebijakan pendidikan. Sebagai contoh, pernah ditengarai, Departemen Pendidikan adalah salah satu Departemen yang menjadi sarang korupsi.

Ketika para demonstran yang menolak kebijaksanaan tentang standarisasi baru Ujian Akhir Nasional (UAN) menyampaikan orasinya, salah satu keberatannya adalah misteri di balik ke- bijaksanaan itu yaitu "proyek ujian ulang" yang bernilai miliaran rupiah. Pendidikan memang proyek raksasa karena menyangkut nasib jutaan rakyat dan masa depan bangsa. Sayangnya, proyek-proyek raksasa seperti pembangunan rumah sekolah, pengadaan sarana sekolah dan lain sebagainya, sering menjadi ujian keserakahan para pelaksana proyek. Komersialisasi pendidikan di Indonesia adalah masalah moral yang paling serius.

Moralitas Pendidikan

Persoalan pokok pendidikan kita terletak pada masalah moralitas pendidikan. Moralitas adalah tata tertib tingkah laku yang dianggap baik dan luhur dalam kehidupan masyarakat. Moralitas pendidikan adalah tata tertib tingkah laku para pelaksana pendidikan yang baik dan luhur. Bagaimana mengukur kebaikan dan keluhuran para pelaksana pendidikan? Yaitu kalau memberikan prioritas pada pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri dengan berpatokan pada aturan-aturan main yang disepakati dalam masyarakat, khususnya yang diatur dalam kode etik pendidikan di Indonesia.

Para guru disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Itu suatu penghargaan karena integritas moral para pendidik yang tak bisa dinilai dengan materi. Tetapi ketika guru tidak memperhatikan muridnya dengan baik dan terpaksa harus mencari tambahan untuk kebutuhan hidupnya, kewibawaan mereka merosot.

Para guru disalahkan ketika mutu pendidikan menurun, ketika terjadi tawuran di sekolah. Para pakar mempersoalkan pendapatan para guru sebagai sumber merosotnya mutu pendidikan karena mereka kurang serius mengajar. Memang itu bisa terjadi, guru yang sering di luar dan menawarkan pelajaran tambahan pada murid memang bisa menyebabkan merosotnya mutu pendidikan. Namun mungkin itu hanya satu dua kasus yang suka digeneralisir.

Persoalan pokok ada pada kebijakan pendidikan secara nasional. Pernahkah kita mempersalahkan para petinggi pendidikan pengambil kebijaksanaan dan keputusan-keputusan yang mungkin dibaliknya hanya ada "proyek" komersialisasi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa komersialisasi pendidikan merupakan salah satu borok moralitas bangsa ini.

Baru-baru ini saya sendiri mengalami, di desa di mana kami mendirikan sebuah SMP untuk menolong anak-anak yang putus sekolah karena pemerintah belum mampu mendirikan sekolah negeri di sana. Ketika sekolah ini berjalan enam tahun, tanpa ada percakapan dengan masyarakat setempat, tiba-tiba pemerintah pusat bersama oknum-oknum tertentu membuka Sekolah Menengah Negeri yang langsung mematikan SMP Swasta yang sudah ada tersebut. Inilah contoh kebijakan pendidikan yang sarat dengan komersialisasi.

Perhatian pada dunia pendidikan dengan menaikkan jumlah nominal anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, di satu pihak memang menggembirakan kalau dipergunakan dengan baik. Tetapi di pihak lain, justru memprihatinkan kalau ternyata dana yang terus bertambah itu hanya menambah macam-macam proyek komersialisasi yang semakin menggemukkan oknum tertentu.

Rupanya pembenahan dunia pendidikan di Indonesia harus dimulai dari para pengambil kebijakan pendidikan, dari sekadar menambah anggaran pendidikan dalam APBN. Menambah anggaran pendidikan tanpa membenahi moralitas para penentu kebijakan pendidikan, hanya ibarat "memberi pupuk rumput" komersialisasi pendidikan di halaman Departemen Pendidikan Nasional. Pembenahan moralitas semua pengambil kebijakan pendidikan harus menjadi prioritas utama. Yang harus dilakukan adalah membabat praktek korupsi di dunia pendidikan, pendidik yang berpikiran korup diganti dengan mereka yang berpikiran ideal dan punya komitmen memajukan bangsa.

Menurut John Dewey, salah seorang bapak pendidikan Amerika Serikat, kebebasan atau kedewasaan adalah tujuan hidup manusia. Itu sebabnya ada pendidikan. Pendidikan tidak lain dari pada mengantarkan orang muda bebas dari kebergantungan sosial.

Rabu, 06 Mei 2009

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

Oleh: Erinto Sumardi Membanggakan sekali melihat di TV dan membaca di koran kemenangan anak-anak Indonesia.

Pada sore hari saya berkesempatan mengantarkan seorang teman membeli dompet. Ibu yang menjual dompet itu bercerita bahwa semua bahan bakunya dari Indonesia. Kulit sapi, gajah, ular, buaya dan berbagai kulit lainya, diimpor dari Indonesia, lalu oleh Singapura dibuat menjadi dompet yang indah dan berkualitas.

Saya tidak habis pikir, masak iya, bangsa yang menjadi juara Olimpiade Fisika tidak bisa membuat dompet? Itulah kenyataannya. Sudah menjadi rahasia umum, bangsa kita baru mampu mengonsumsi, belum mampu memproduksi. Mengapa? Sumber daya manusia kita belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Baru-baru ini, salah satu TV nasional menyiarkan acara Padamu Negeri, antara lain muncul asumsi bahwa bangsa kita masih didikte oleh bangsa lain terutama Amerika Serikat. Sudah lama diakui bahwa bangsa kita de jure sudah merdeka, tetapi de fakto masih terus terjajah. Mengapa kita bisa didikte? Mengapa kita secara ekonomi dan politik masih terus dijajah? Mengapa kekayaan kita lebih banyak memakmurkan bangsa lain? Semuanya bergantung pada pendidikan. Kemerdekaan yang tidak dibarengi oleh pengembangan sumber daya manusia akan menyebabkan kita terus terjajah, terlepas dari tudingan bahwa rakyat kita juga terus dijajah oleh elite yang berkuasa.

Prioritas Pendidikan

Kita sangat menghargai kebijakan pemerintah dan wakil-wakil rakyat mulai memprioritaskan pendidikan. Keputusan politik sejak tahun 2004 meningkatkan anggaran pendidikan memang melegakan, walaupun sebenarnya sangat terlambat karena kita sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi masih terus terjajah. Sudah lama sekali almarhum TB Simatupang mengingatkan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, melainkan bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.

Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Di zaman Orde Lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga mayoritas buta huruf. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto mencanangkan pengembangan pendidikan dasar dengan membuka SD Inpres di pelosok-pelosok. Di zaman Reformasi dimulai dengan kebijakan meningkatkan pendidikan dasar hingga SMP. Lalu lahirlah kebijakan meningkatkan anggaran pendidikan. Tujuannya tentu saja memajukan pendidikan di Indonesia.

Mencermati kebijakan di bidang pendidikan, UU Sistem Pendidikan Nasional sudah beberapa kali diperbarui antara lain untuk menghapuskan kesan bahwa di Departemen yang maha penting ini jangan lagi terjadi ganti menteri ganti kebijaksanaan. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa pendidikan di Indonesia sangat amburadul, karena itu sulit sekali pendidikan kita maju, sulit sekali mendidik anak-anak kita mampu bersaing dengan anak-anak bangsa lain. Nasib kita bukan terus menjadi bangsa koeli, buktinya anak-anak negeri ini bisa tampil prima, melalui Olimpiade Fisi- ka. Kalau begitu masalahnya apa? Jawaban saya ada dua.

Pertama, kita menyelenggarakan pendidikan yang tidak memerdekakan. Kebijakan pendidikan di Indonesia yang selalu menekankan keseragaman, tanpa disadari membuat pendidikan kita tidak menciptakan kemerdekaan dan kedewasaan, melainkan kebergantungan dan bahkan mentalitas budak.

Kedua, pendidikan modern di Indonesia kurang memperhatikan aspek moral. Walaupun secara teoritis isi pendidikan kita mengharuskan adanya keseimbangan tiga rana yang penting dalam suatu pendidikan yaitu rana kognitif, afektif dan psikhomotorik, namun teori itu tidak ditopang oleh disiplin dan keteladanan sistem maupun para penentu kebijakan pendidikan. Sebagai contoh, pernah ditengarai, Departemen Pendidikan adalah salah satu Departemen yang menjadi sarang korupsi.

Ketika para demonstran yang menolak kebijaksanaan tentang standarisasi baru Ujian Akhir Nasional (UAN) menyampaikan orasinya, salah satu keberatannya adalah misteri di balik ke- bijaksanaan itu yaitu "proyek ujian ulang" yang bernilai miliaran rupiah. Pendidikan memang proyek raksasa karena menyangkut nasib jutaan rakyat dan masa depan bangsa. Sayangnya, proyek-proyek raksasa seperti pembangunan rumah sekolah, pengadaan sarana sekolah dan lain sebagainya, sering menjadi ujian keserakahan para pelaksana proyek. Komersialisasi pendidikan di Indonesia adalah masalah moral yang paling serius.

Moralitas Pendidikan

Persoalan pokok pendidikan kita terletak pada masalah moralitas pendidikan. Moralitas adalah tata tertib tingkah laku yang dianggap baik dan luhur dalam kehidupan masyarakat. Moralitas pendidikan adalah tata tertib tingkah laku para pelaksana pendidikan yang baik dan luhur. Bagaimana mengukur kebaikan dan keluhuran para pelaksana pendidikan? Yaitu kalau memberikan prioritas pada pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri dengan berpatokan pada aturan-aturan main yang disepakati dalam masyarakat, khususnya yang diatur dalam kode etik pendidikan di Indonesia.

Para guru disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Itu suatu penghargaan karena integritas moral para pendidik yang tak bisa dinilai dengan materi. Tetapi ketika guru tidak memperhatikan muridnya dengan baik dan terpaksa harus mencari tambahan untuk kebutuhan hidupnya, kewibawaan mereka merosot.

Para guru disalahkan ketika mutu pendidikan menurun, ketika terjadi tawuran di sekolah. Para pakar mempersoalkan pendapatan para guru sebagai sumber merosotnya mutu pendidikan karena mereka kurang serius mengajar. Memang itu bisa terjadi, guru yang sering di luar dan menawarkan pelajaran tambahan pada murid memang bisa menyebabkan merosotnya mutu pendidikan. Namun mungkin itu hanya satu dua kasus yang suka digeneralisir.

Persoalan pokok ada pada kebijakan pendidikan secara nasional. Pernahkah kita mempersalahkan para petinggi pendidikan pengambil kebijaksanaan dan keputusan-keputusan yang mungkin dibaliknya hanya ada "proyek" komersialisasi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa komersialisasi pendidikan merupakan salah satu borok moralitas bangsa ini.

Baru-baru ini saya sendiri mengalami, di desa di mana kami mendirikan sebuah SMP untuk menolong anak-anak yang putus sekolah karena pemerintah belum mampu mendirikan sekolah negeri di sana. Ketika sekolah ini berjalan enam tahun, tanpa ada percakapan dengan masyarakat setempat, tiba-tiba pemerintah pusat bersama oknum-oknum tertentu membuka Sekolah Menengah Negeri yang langsung mematikan SMP Swasta yang sudah ada tersebut. Inilah contoh kebijakan pendidikan yang sarat dengan komersialisasi.

Perhatian pada dunia pendidikan dengan menaikkan jumlah nominal anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, di satu pihak memang menggembirakan kalau dipergunakan dengan baik. Tetapi di pihak lain, justru memprihatinkan kalau ternyata dana yang terus bertambah itu hanya menambah macam-macam proyek komersialisasi yang semakin menggemukkan oknum tertentu.

Rupanya pembenahan dunia pendidikan di Indonesia harus dimulai dari para pengambil kebijakan pendidikan, dari sekadar menambah anggaran pendidikan dalam APBN. Menambah anggaran pendidikan tanpa membenahi moralitas para penentu kebijakan pendidikan, hanya ibarat "memberi pupuk rumput" komersialisasi pendidikan di halaman Departemen Pendidikan Nasional. Pembenahan moralitas semua pengambil kebijakan pendidikan harus menjadi prioritas utama. Yang harus dilakukan adalah membabat praktek korupsi di dunia pendidikan, pendidik yang berpikiran korup diganti dengan mereka yang berpikiran ideal dan punya komitmen memajukan bangsa.

Menurut John Dewey, salah seorang bapak pendidikan Amerika Serikat, kebebasan atau kedewasaan adalah tujuan hidup manusia. Itu sebabnya ada pendidikan. Pendidikan tidak lain dari pada mengantarkan orang muda bebas dari kebergantungan sosial.