Kamis, 07 Mei 2009

DISKRIMINASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN KITA

Oleh: Deni Andriana

Sudah beberapa kali Siti Maesaroh dipanggil oleh pihak sekolah, dibariskan di lapangan basket bersama siswa miskin lainnya, lalu diberi tahu bahwa mereka tidak bisa mengikuti ujian sekolah, karena mereka belum melunasi SPP, DSP, dan lain-lain. Setiap sesudah menerima peringatan yang menyakitkan itu, siswa kelas X sebuah SMA negeri di Cicalengka itu, pulang ke rumah sambil menangis, dan mengadukan rasa malu yang ditanggungnya kepada kedua orang tuanya ...

Kutipan berita yang diterbitkan HU Pikiran Rakyat 17 Juli 2008 itu adalah sebagian dari realitas kondisi pendidikan yang diselenggarakan di negara ini. Pendidikan yang merupakan sebuah komoditas yang tidak bebas nilai, pendidikan yang di dalamnya terdapat transaksi ekonomi di mana ada perilaku jual beli di dalamnya, dengan prinsip harga tergantung banyaknya permintaan. Pendidikan yang tidak lagi berorientasi pada upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang alih-alih memanusiawikan manusia menjadi sebuah ladang di mana tindakan tidak berperikemanusiaan tumbuh subur.

Meminjam pendapat Rohmat Sarman, S.E., M.Si. (pendiri Radio Komunitas NH FM Karawang), pendidikan seyogianya adalah proses memberi dan menerima yang didalamnya ada keiklasan dari si pemberi dan penerima, ikhlas untuk memberi dan ikhlas untuk menerima. "Pendidikan berwajah kapitalisme, cenderung tidak ikhlas dan rendah nilai perjuangannya! Jika seperti itu, maka transformasi nilai-nilai hakikat pendidikan menjadi tidak lancar, karena tersumbat oleh perasaan membeli dan dibeli!" ujar Rohmat yang tengah merintis lahirnya sekolah komunitas di karawang bersama komunitas radionya, seperti yang dilansir rakom.nh.web.id.

Dalam konstitusi, peraturan ataupun dasar negara sudah secara tegas dinyatakan bahwa negara menjadi penanggung jawab utama dalam proses mencerdaskan bangsa tanpa memandang predikat warga secara ekonomi. Kenyataan di mana praktik-praktik diskriminasi dalam pendidikan yang membedakan si kaya dan si miskin menjadi bukti terjadi pelanggaran yang dilakukan negara.

Jika ditarik pada dua kasus terdekat lainnya, praktik diskriminasi ini terjadi di antaranya, pertama pada praktik ujian negara (UN) yang menyamaratakan semua siswa dari berbagai daerah dengan tidak mempertimbangkan kualitas pendidikan yang selama ini mereka dapatkan. Perbedaan sekolah, fasilitas, pengajar, dan lainnya tidak menjadi pertimbangan. Di sini terlihat bahwa paham positivisme masih dianut seperti halnya di era Orde Baru, di mana A berlaku untuk semuanya, tidak perduli masih ada B, C, sampai Z.

Kedua, pada penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Pada saat dilangsungkannya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) kemarin jelas terlihat bahwa SNMPTN yang merupakan bentuk baru dari SPMB bukan lagi menjadi sarana bagi siswa-siswa berkualitas mendapatkan haknya untuk duduk di bangku kuliah universitas negeri, tetapi lebih kepada ajang bagi mereka yang ingin berjudi mengadu nasib memperebutkan jatah kursi yang tersisa, setelah dikebiri oleh jalur khusus ataupun ujian masuk yang diselenggarakan mandiri oleh tiap universitas negeri. Dihitung dari persentase, jatah kursi yang diperebutkan di SNMPTN tidaklah mencapai 50% dari keseluruhan kursi yang tersedia. Yang kaya silakan lewat jalur khusus, yang miskin silahkan berjudi lewat SNMPTN, itulah mungkin slogannya. Inilah wajah perguruan tinggi dengan badan hukum milik negara (BHMN) dan kemudian menjadi badan hukum pendidikan (BHP).

Dalam mengatasi absurdnya pendidikan yang diselenggarakan negara, pihak-pihak yang peduli akan terciptanya masyarakat yang cerdas melakukan usaha-usaha alternatif yang patut diapresiasi. Usaha yang lebih konkret dibandingkan dengan janji-janji partai politik dan para kandidat eksekutif dalam pemilu ataupun pilkada. Di antaranya adalah mendirikan sekolah-sekolah komunitas, sekolah alternatif, perpustakaan alternatif, home schooling, kelompok belajar, ataupun yang dahsyat seperti yang dilakukan Butet Manurung dengan Sokola Rimba-nya yang melakukan pendidikan dan pengajaran untuk anak-anak di lokasi pedalaman. Inilah bentuk oposisi sejati yang patut dicontoh, oleh mereka yang berkata oposisi tetapi tidak mau melakukan kerja tandingan, di mana kebanyakan mengimplemetasikan oposisi hanyalah kepada praktik kritik-mengkritik yang ujungnya menjadi ajang berebut kuasa.

Adanya diskriminasi pendidikan berjalan lurus dengan adanya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, lebih bijak untuk diselesaikan lebih dulu dibandingkan dengan menjebakkan diri pada persoalan-persoalan elite lainnya. Karena pendidikan sudah banyak yang menyepakatinya sebagai sebuah pondasi utama kemajuan sebuah bangsa, maka yang ingin dan berkoar-koar akan memajukan bangsa ini harus memberi kesempatan untuk semua lapisan masyarakat mendapatkan haknya untuk cerdas baik secara intelektual, emosional, juga secara spiritual. Sebagai catatan penting, adanya diskriminasi akan mengarah pada terciptanya emosi yang labil, maka anarkisme yang tercipta subur di masyarakat adalah hasil dari diskriminasi tersebut.***

Tidak ada komentar: