Kamis, 07 Mei 2009

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

KEMERDEKAAN DAN PENDIDIKAN

Oleh: Erinto Sumardi

Bulan Juli lalu, saya sedang berada di Singapura ketika Olimpiade Fisika dimenangkan anak-anak Indonesia. Membanggakan sekali melihat di TV dan membaca di koran kemenangan anak-anak Indonesia.

Pada sore hari saya berkesempatan mengantarkan seorang teman membeli dompet. Ibu yang menjual dompet itu bercerita bahwa semua bahan bakunya dari Indonesia. Kulit sapi, gajah, ular, buaya dan berbagai kulit lainya, diimpor dari Indonesia, lalu oleh Singapura dibuat menjadi dompet yang indah dan berkualitas.

Saya tidak habis pikir, masak iya, bangsa yang menjadi juara Olimpiade Fisika tidak bisa membuat dompet? Itulah kenyataannya. Sudah menjadi rahasia umum, bangsa kita baru mampu mengonsumsi, belum mampu memproduksi. Mengapa? Sumber daya manusia kita belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Baru-baru ini, salah satu TV nasional menyiarkan acara Padamu Negeri, antara lain muncul asumsi bahwa bangsa kita masih didikte oleh bangsa lain terutama Amerika Serikat. Sudah lama diakui bahwa bangsa kita de jure sudah merdeka, tetapi de fakto masih terus terjajah. Mengapa kita bisa didikte? Mengapa kita secara ekonomi dan politik masih terus dijajah? Mengapa kekayaan kita lebih banyak memakmurkan bangsa lain? Semuanya bergantung pada pendidikan. Kemerdekaan yang tidak dibarengi oleh pengembangan sumber daya manusia akan menyebabkan kita terus terjajah, terlepas dari tudingan bahwa rakyat kita juga terus dijajah oleh elite yang berkuasa.

Prioritas Pendidikan

Kita sangat menghargai kebijakan pemerintah dan wakil-wakil rakyat mulai memprioritaskan pendidikan. Keputusan politik sejak tahun 2004 meningkatkan anggaran pendidikan memang melegakan, walaupun sebenarnya sangat terlambat karena kita sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi masih terus terjajah. Sudah lama sekali almarhum TB Simatupang mengingatkan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, melainkan bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.

Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Di zaman Orde Lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga mayoritas buta huruf. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto mencanangkan pengembangan pendidikan dasar dengan membuka SD Inpres di pelosok-pelosok. Di zaman Reformasi dimulai dengan kebijakan meningkatkan pendidikan dasar hingga SMP. Lalu lahirlah kebijakan meningkatkan anggaran pendidikan. Tujuannya tentu saja memajukan pendidikan di Indonesia.

Mencermati kebijakan di bidang pendidikan, UU Sistem Pendidikan Nasional sudah beberapa kali diperbarui antara lain untuk menghapuskan kesan bahwa di Departemen yang maha penting ini jangan lagi terjadi ganti menteri ganti kebijaksanaan. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa pendidikan di Indonesia sangat amburadul, karena itu sulit sekali pendidikan kita maju, sulit sekali mendidik anak-anak kita mampu bersaing dengan anak-anak bangsa lain. Nasib kita bukan terus menjadi bangsa koeli, buktinya anak-anak negeri ini bisa tampil prima, melalui Olimpiade Fisi- ka. Kalau begitu masalahnya apa? Jawaban saya ada dua.

Pertama, kita menyelenggarakan pendidikan yang tidak memerdekakan. Kebijakan pendidikan di Indonesia yang selalu menekankan keseragaman, tanpa disadari membuat pendidikan kita tidak menciptakan kemerdekaan dan kedewasaan, melainkan kebergantungan dan bahkan mentalitas budak.

Kedua, pendidikan modern di Indonesia kurang memperhatikan aspek moral. Walaupun secara teoritis isi pendidikan kita mengharuskan adanya keseimbangan tiga rana yang penting dalam suatu pendidikan yaitu rana kognitif, afektif dan psikhomotorik, namun teori itu tidak ditopang oleh disiplin dan keteladanan sistem maupun para penentu kebijakan pendidikan. Sebagai contoh, pernah ditengarai, Departemen Pendidikan adalah salah satu Departemen yang menjadi sarang korupsi.

Ketika para demonstran yang menolak kebijaksanaan tentang standarisasi baru Ujian Akhir Nasional (UAN) menyampaikan orasinya, salah satu keberatannya adalah misteri di balik ke- bijaksanaan itu yaitu "proyek ujian ulang" yang bernilai miliaran rupiah. Pendidikan memang proyek raksasa karena menyangkut nasib jutaan rakyat dan masa depan bangsa. Sayangnya, proyek-proyek raksasa seperti pembangunan rumah sekolah, pengadaan sarana sekolah dan lain sebagainya, sering menjadi ujian keserakahan para pelaksana proyek. Komersialisasi pendidikan di Indonesia adalah masalah moral yang paling serius.

Moralitas Pendidikan

Persoalan pokok pendidikan kita terletak pada masalah moralitas pendidikan. Moralitas adalah tata tertib tingkah laku yang dianggap baik dan luhur dalam kehidupan masyarakat. Moralitas pendidikan adalah tata tertib tingkah laku para pelaksana pendidikan yang baik dan luhur. Bagaimana mengukur kebaikan dan keluhuran para pelaksana pendidikan? Yaitu kalau memberikan prioritas pada pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri dengan berpatokan pada aturan-aturan main yang disepakati dalam masyarakat, khususnya yang diatur dalam kode etik pendidikan di Indonesia.

Para guru disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Itu suatu penghargaan karena integritas moral para pendidik yang tak bisa dinilai dengan materi. Tetapi ketika guru tidak memperhatikan muridnya dengan baik dan terpaksa harus mencari tambahan untuk kebutuhan hidupnya, kewibawaan mereka merosot.

Para guru disalahkan ketika mutu pendidikan menurun, ketika terjadi tawuran di sekolah. Para pakar mempersoalkan pendapatan para guru sebagai sumber merosotnya mutu pendidikan karena mereka kurang serius mengajar. Memang itu bisa terjadi, guru yang sering di luar dan menawarkan pelajaran tambahan pada murid memang bisa menyebabkan merosotnya mutu pendidikan. Namun mungkin itu hanya satu dua kasus yang suka digeneralisir.

Persoalan pokok ada pada kebijakan pendidikan secara nasional. Pernahkah kita mempersalahkan para petinggi pendidikan pengambil kebijaksanaan dan keputusan-keputusan yang mungkin dibaliknya hanya ada "proyek" komersialisasi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa komersialisasi pendidikan merupakan salah satu borok moralitas bangsa ini.

Baru-baru ini saya sendiri mengalami, di desa di mana kami mendirikan sebuah SMP untuk menolong anak-anak yang putus sekolah karena pemerintah belum mampu mendirikan sekolah negeri di sana. Ketika sekolah ini berjalan enam tahun, tanpa ada percakapan dengan masyarakat setempat, tiba-tiba pemerintah pusat bersama oknum-oknum tertentu membuka Sekolah Menengah Negeri yang langsung mematikan SMP Swasta yang sudah ada tersebut. Inilah contoh kebijakan pendidikan yang sarat dengan komersialisasi.

Perhatian pada dunia pendidikan dengan menaikkan jumlah nominal anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, di satu pihak memang menggembirakan kalau dipergunakan dengan baik. Tetapi di pihak lain, justru memprihatinkan kalau ternyata dana yang terus bertambah itu hanya menambah macam-macam proyek komersialisasi yang semakin menggemukkan oknum tertentu.

Rupanya pembenahan dunia pendidikan di Indonesia harus dimulai dari para pengambil kebijakan pendidikan, dari sekadar menambah anggaran pendidikan dalam APBN. Menambah anggaran pendidikan tanpa membenahi moralitas para penentu kebijakan pendidikan, hanya ibarat "memberi pupuk rumput" komersialisasi pendidikan di halaman Departemen Pendidikan Nasional. Pembenahan moralitas semua pengambil kebijakan pendidikan harus menjadi prioritas utama. Yang harus dilakukan adalah membabat praktek korupsi di dunia pendidikan, pendidik yang berpikiran korup diganti dengan mereka yang berpikiran ideal dan punya komitmen memajukan bangsa.

Menurut John Dewey, salah seorang bapak pendidikan Amerika Serikat, kebebasan atau kedewasaan adalah tujuan hidup manusia. Itu sebabnya ada pendidikan. Pendidikan tidak lain dari pada mengantarkan orang muda bebas dari kebergantungan sosial.

Tidak ada komentar: