Kamis, 07 Mei 2009

SEKOLAH GRATIS, PEPESAN KOSONG

SEKOLAH GRATIS, PEPESAN KOSONG

Oleh:Erinto Sumardi

Begitu mendengar kata gratis, rasa senang langsung menjalar, mata mengerjap berbinar sambil dibarengi sedikit keraguan. Benar gratis? Kata gratis banyak digunakan untuk memikat konsumen dalam iklan barang konsumsi dengan maksud pada kesempatan lain mereka akan teringat pada produk itu dan membelinya lagi.

Wacana sekolah gratis telah membola salju. Di beberapa daerah, seperti Pemerintah Kota Makassar mulai tahun ajaran 2007/2008 telah menggratiskan biaya sekolah SD dan SMP di semua sekolah di pulau-pulau di Makassar (Kompas, 28/3/2007). Bagaimana sekolah gratis diselenggarakan? Bagaimana proses pembelajarannya? Materi apa yang dipelajari? Bagaimana peserta didiknya belajar? Bagaimana kesejahteraan gurunya? Bagaimana hasil ujian nasionalnya? Hal-hal ini kurang diberitakan.

Entah sejak kapan mentalitas ”gratisan” ada dan mendarah daging dalam masyarakat kita. Naik kereta api tanpa membeli karcis, bondo nekad (bonek) menjadi ikon gratisan; mau baca koran tetapi tak mau membeli/langganan. Pemerintah, lembaga, dan orang yang memberi sesuatu dengan gratis merasa sebagai pihak lebih mampu, lebih kaya. Klop. Pemerintah senang membuat program penggratisan: sekolah gratis, kompor gratis, obat gratis.

Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. ”Saya harus berhasil karena orangtua saya telah membayar mahal.” Sebaliknya, jika tanpa membayar sepeser pun, mereka bisa seenaknya, bahkan ”mundur tanpa berita” (muntaber)—”toh tidak rugi”. Bagaimana mau menjadi pejuang tangguh kalau tak membiasakan diri belajar secara cerdas?

Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan. Mereka salah satu yang memungkinkan talenta anak berkembang atau malah mati sebelum berkembang. Guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.

Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pos pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.

Seorang rekan berseloroh, ”Kencing saja bayar Rp 1.000, sekolah kok gratis!” Masyarakat kita dengan senang hati membeli rokok Rp 7.500 per hari, membeli VCD bajakan Rp 5.000 per minggu, namun protes keras saat ditarik biaya Rp 300.000 untuk membeli buku pelajaran yang dipakai selama setahun pendidikan anaknya.

Masyarakat harus cerdas mencermati wacana sekolah gratis, menyikapi kampanye calon kepala daerah yang menjanjikan sekolah gratis. Banyak janji menggratiskan pendidikan di sana-sini. Jika dicermati, dalam janji-janji kampanye tetap ada syarat dan ketentuan, yaitu pendidikan murah, iuran sekolah, bantuan buku, dan warga kurang mampu. Tak semua gratis.

Masyarakat harus cerdas menghadapi fakta, anggaran Depdiknas dipangkas Rp 4,918 triliun untuk penghematan. Langkah ini mengganggu pemberantasan buta huruf, bantuan operasional sekolah, dan tunjangan guru. Masihkah pemerintah bicara sekolah gratis?

Program beasiswa lebih baik daripada sekolah gratis. Etos belajar siswa tinggi karena jika tak bisa mempertahankan prestasi, beasiswa dicabut. Perlu diperluas cakupan penerimanya.

Kita sering saksikan, seorang sukses dengan air mata bahagia menceritakan perjuangan orangtuanya membiayai pendidikannya. Orangtuanya bangga berhasil membiayai pendidikan anaknya hingga jadi ”orang”. Kebanggaan ini pantas ditonjolkan.

Tidak semua orang harus menjalani sekolah formal. Mereka perlu diarahkan memilih atau disalurkan ke pendidikan nonformal yang kontekstual. Pemerintah tinggal mendiversifikasi berbagai kursus.

Seyogianya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk.

Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya....

1 komentar:

Go Persevera mengatakan...

bang, jangan bohongi publik dengan mengganti nama penulis "Sekolah Gratis, Pepesan Kosong" malu dong.

N. Widi wahyono