Kamis, 07 Mei 2009

TROMPET KEMATIAN UNTUK PENDIDIKAN

TROMPET KEMATIAN UNTUK PENDIDIKAN

Oleh: Febri Diansyah

Berawal dari dalil telah dirugikan hak konstitusionalnya lantaran aturan yang meletakkan gaji pendidik di luar anggaran pendidikan, seorang guru dan dosen dari Sulawesi Selatan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan pada 20 Februari 2008, melalui putusan 24/PUU-V/2007, MK menyatakan Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sepanjang frase "gaji pendidik dan", bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak punya kekuatan mengikat.

Idenya sederhana, bagaimana mungkin tenaga pengajar, sebagai bagian penting dari sistem pendidikan, justru tidak menikmati alokasi 20 persen anggaran pendidikan. Seperti didalilkan pemohon, jika bangsa ini punya komitmen terhadap pendidikan, seharusnya kesejahteraan guru diperhatikan secara serius. Sehingga, gaji pendidik tidak boleh diatur di luar anggaran pendidikan. Sepintas argumentasi ini masuk akal.

Namun, jika diteliti lebih dalam, argumentasi pemohon yang kemudian dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus sesungguhnya telah berjalan mundur dan mendorong pendidikan Indonesia ke bibir jurang kehancuran.

Dari aspek hukum, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Pendidikan setidaknya mencatat dua persoalan mendasar yang terdapat pada putusan MK.

Pertama, putusan tersebut justru melawan konstitusi dan berdiri berhadap-hadapan dengan UUD 1945. Perhatikan, dalam ketentuan Pasal 28-C ayat 1 dan 28-I ayat 4 UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia. Dan pemenuhan atas hal tersebut merupakan kewajiban negara, khususnya pemerintah. Di titik inilah, sengaja atau tidak, MK telah menafikan jaminan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.

Dalam keadaan belum terpenuhinya kualitas hidup dan kesejahteraan manusia Indonesia yang terlihat pada rendahnya tingkat pemenuhan hak asasi pendidikan warga negara oleh negara, MK justru mengeluarkan putusan yang akan semakin mengeliminasi hak asasi warga negara atas pendidikan. Sebagai hakim yang bijak, MK seharusnya memperhatikan realitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Alokasi anggaran pendidikan Rp 48,2 triliun (11,2 persen dari APBN) di luar gaji guru bahkan masih belum mencukupi kebutuhan pemenuhan hak asasi pendidikan warga negara. Seperti catatan Departemen Pendidikan Nasional, negara ini butuh Rp 136 triliun untuk pendidikan pada 2008. Jika saja MK punya komitmen dan sensitivitas terhadap pendidikan Indonesia, MK akan menghitung dengan cermat 2,8 juta guru di Indonesia, jika rata-rata gaji mereka Rp 2 juta, akan membutuhkan anggaran Rp 56 triliun per tahun. Catatan ini masih mencoba mengesampingkan sejumlah besar gaji guru yang berada di atas Rp 2 juta, dan belum memasukkan tunjangan lainnya.

Dan, ketika memperhatikan ketentuan pada Pasal 1 angka 6 UU Sistem Pendidikan Nasional, bahkan yang dimaksud pendidik bukan hanya guru, tapi juga mencakup dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan lain-lain yang berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan.

Dengan kata lain, dibutuhkan anggaran yang sangat besar untuk menaati kerancuan berpikir para pengawal konstitusi itu. Jika kita taat dengan putusan MK, tidakkah anggaran untuk infrastruktur sekolah, buku, SPP, dan biaya pendidikan yang merupakan hak mendasar siswa akan terabaikan?

Persoalan yuridis kedua terletak pada kewenangan mengadili. MK dapat dikatakan telah mengadili di luar kewenangannya. Seperti dicantumkan dalam pertimbangan hakim, salah satu dasar pengambilan keputusan adalah adanya ketidakkonsistenan antara Pasal 49 ayat 1 dan Pasal 1 angka 3 serta angka 6 UU Sisdiknas. Kalaupun ini benar, seharusnya pengujian konsistensi berada di wilayah praktek, atau merupakan kewenangan pemerintah bersama DPR untuk melakukan executive review.

Selain itu, ketidakmampuan dan ketiadaan komitmen pemerintah memenuhi amanat konstitusi untuk menganggarkan biaya pendidikan 20 persen dari APBN tentu tidak berarti dapat dialihkan pada perampasan hak asasi pendidikan warga negara. Padahal, masyarakat sangat mafhum, tugas pemerintah tidak lain seharusnya adalah menyelenggarakan hak dan kepentingan warga negara, bukan sebaliknya.

Ide penting dari dua argumentasi yuridis di atas terletak pada satu konsep mendasar dalam hukum. Bahwa hukum haruslah hidup dalam masyarakat, dan masyarakatlah yang menjadikan hukum tersebut mempunyai eksistensi, tumbuh, dan ditaati. Substansi hukum adalah untuk kepentingan masyarakat. Salah seorang hakim MK di luar yang menyatakan pendapat berbeda pada putusan 24/2003 bahkan sering kali mendalilkan hal ini. Dan putusan ini adalah putusan kesekian kalinya yang mengingkari konsep mendasar dalam hukum.

Atas dasar itulah, pemerintah disarankan mengabaikan putusan MK. Dua alasan prinsipiil rekomendasi ini terletak pada, pertama, pertimbangan putusan tersebut dinilai berseberangan dan melawan konstitusi itu sendiri, serta MK mengadili di luar kewenangan. Kedua, pengaturan anggaran merupakan kewenangan penuh pemerintah bersama DPR. Khusus poin kedua ini, pertimbangan MK nomor 3.16.6 dalam putusan yang sama juga menegaskan kewenangan pemerintah untuk mengatur pembagian anggaran pada APBN.

Pengabaian dengan dua alasan yang sama tersebut juga pernah dilakukan Mahkamah Agung dalam hal putusan MK tentang unsur melawan hukum pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung saat itu menilai MK mempertimbangkan sesuatu di luar kewenangannya dan pertimbangan tersebut bermasalah secara hukum. Sementara itu, di sisi lain, kewenangan mengadili dan memutus perkara adalah kewenangan MA, sehingga MA dapat mengabaikan putusan MK ketika ia sedang menjalankan "kewenangan mengadili" tersebut.

Mencermati pertimbangan di atas, persoalan berikutnya terletak pada komitmen dan kemauan pemerintah memenuhi amanat konstitusi. Amanat yang tidak hanya soal 20 persen anggaran pendidikan, tapi juga amanat untuk menyelenggarakan dan menegakkan hak asasi manusia Indonesia. Jika komitmen itu ada, pemerintah akan mengabaikan putusan MK. Lagi pula tidak pernah ada larangan untuk itu, sehingga pemerintah tidak akan melanggar apa-apa jika tetap menganggarkan gaji guru di luar alokasi anggaran pendidikan. Jika tidak, maka benarlah bahwa putusan nomor 24 itu adalah terompet kematian untuk pendidikan Indonesia.

http://www.korantempo.com/korantempo/2008/03/04/Opini/krn,20080304,68.id.ht

Febri Diansyah

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Tim Perumus Eksaminasi Putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007



Tidak ada komentar: