LIBERALISASI PENDIDIKAN
Oleh: Erinto Sumardi
Dalam sistem ketatanegaraan, negara membuat undang-undang sebagai rambu-rambu terhadap tata kehidupan bermasyarakat. Pembuatannya merupakan wujud suatu tindakan mengatur (governing), yang merupakan kewajiban dan tugas pemerintah (government) untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan (governance). Begitulah halnya ketika negara Republik
Mari kita lihat, apakah penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air berjalan seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dalam satu sistem untuk membuat rakyatnya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab serta mempunyai kesadaran nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Benarkah bahwa di Republik
Sekolah Nasional Plus
Fenomena kebebasan dalam penyelenggaraan pendidikan dimulai oleh lembaga sekolah swasta. Tantangan globalisasi serta tuntutan modernisasi pendidikan pada era teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan, pada awal 1990-an, masyarakat penyelenggara sekolah swasta merintis pendidikan berciri internasional. Memakai bahasa pengantar bahasa Inggris, menyewa guru ekspatriat, serta mengedepankan aplikasi teknologi informasi. Dengan era reformasi, gejala pembukaan sekolah sejenis semakin menjamur. Mereka menamakan diri Sekolah Nasional Plus, membuat kombinasi kurikulum asing dengan kurikulum nasional, dan membentuk asosiasi dengan nama Association of National Plus School, disingkat ANPS. Istilah "plus" dipakai di situ untuk menunjukkan "kelebihan" dibanding sekolah biasa. Jumlah sekolah ini sudah mencapai ratusan di seluruh
Salah kaprah
Karena merasa mempunyai kelebihan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan proses pembelajaran oleh guru-guru ekspatriat, sekolah-sekolah swasta semacam itu ada yang menyebut dirinya sekolah internasional. Kekacauan penggunaan istilah "internasional" ini dimulai dari Sekolah Asing Expatriate, yang diizinkan beroperasi di
Sistem yang betul-betul internasional adalah yang disebut International Baccalaureate Program, yang disingkat IB. Institusi ini dibentuk pada 1968 dan berpusat di Swiss. Beberapa negara maju, termasuk di dalamnya beberapa lembaga pendidikan, pada waktu itu bersepakat membentuk wadah pendidikan yang memungkinkan lulusannya dari mana pun memiliki akses ke perguruan tinggi di negara-negara maju tanpa harus mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi yang bersangkutan. Program IB inilah yang betul-betul internasional dan sudah dilaksanakan oleh lebih dari 100 negara di dunia.
Di Indonesia, program IB sudah dipakai oleh beberapa sekolah swasta. Program IB ini sangat berat persyaratannya. Hanya sekolah kaya yang mampu menyelenggarakan dengan biaya pendidikan sangat tinggi. Sekolah-sekolah penyelenggara program IB ini harus mendapat sertifikasi dari International Baccalaureate Organisation atau IBO dengan pengawasan berkala yang cukup ketat.
Pendidikan kewarganegaraan
Sekolah-sekolah yang menyebut diri sekolah nasional seharusnya berjalan menurut rambu-rambu UU Sistem Pendidikan Nasional. Bagi Sekolah Nasional Plus, yang bobot nasionalnya masih tebal, ketentuan-ketentuan dari Sisdiknas, dalam hal ini kurikulum nasional, masih diikuti dengan patuh, di samping kurikulum asing yang diberikan dalam bentuk "plus" tersebut. Murid-muridnya disiapkan untuk mengikuti ujian nasional sebagai ketentuan Sisdiknas.
Namun, seiring berjalannya waktu banyak, Sekolah Nasional Plus menipis nasionalismenya dengan mengurangi bahkan mengabaikan kurikulum nasional. Sebagian dari mereka bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah. Apakah hal ini bukan suatu bentuk liberalisasi pendidikan di Tanah Air, walaupun bukan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan itu? Siapa yang dapat menjamin pembentukan nation and character building setiap warga negara dapat terlaksana dengan baik apabila yang diajarkan sehari-hari dalam proses pendidikan adalah ideologi, materi, atau "isme" yang bukan isi kurikulum nasional yang berbasis Pancasila? Apakah laissur fair di bidang pendidikan itu dapat dibenarkan? Dengan dilaksanakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), liberalisasi pendidikan ini nyaris sempurna, karena KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah.
Perizinan sembarangan
Menurut undang-undang, setiap pembukaan lembaga pendidikan baik prasekolah, sekolah, maupun perguruan tinggi harus melalui perizinan, terlepas dari siapakah yang harus memberi izin, pemerintah pusat atau pemerintah daerah, karena desentralisasi kepemerintahan. Pembukaan suatu sekolah memerlukan berbagai pertimbangan, baik menyangkut masalah infrastruktur dan lingkungan sekolah, tenaga pendidik/pengajar, kurikulum, visi dan misi sekolah, potensi peserta didik, maupun pembiayaan dan lainnya.
Namun, berbagai pertimbangan itu banyak diabaikan sehingga banyak kita jumpai sekolah yang dibuka di ruko, rumah tinggal, atau lahan yang sempit, dan mengganggu lalu lintas serta membuat gaduh lingkungan, sehingga seolah-olah pendidikan/sekolah merupakan home industry belaka.
Pembelajaran yang disertai bahasa Inggris atau dengan embel-embel tambahan latar belakang agama semacam ini sangat laris manis diserbu para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, dari prasekolah bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Suatu kebanggaan sosial bagi orang tua kalau anaknya sudah bisa bicara sedikit-sedikit bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, yang diajarkan di play group atau taman kanak-kanak.
Mengambil contoh bagaimana leadership dari pemimpin-pemimpin Prusia telah membentuk warga negara Jerman yang tangguh nasionalismenya, John Dewey mengatakan: "Under the influence of German thought in particular, education became a civic function, and the civic function was identified with the realization of the ideal of the nation state... to form the citizen, not the ‘man’ became the aim of education." Tujuan pendidikan nasional tidak sekadar membentuk kepribadian manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar