Kamis, 07 Mei 2009

LIBERALISASI PENDIDIKAN

LIBERALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Erinto Sumardi

Dalam sistem ketatanegaraan, negara membuat undang-undang sebagai rambu-rambu terhadap tata kehidupan bermasyarakat. Pembuatannya merupakan wujud suatu tindakan mengatur (governing), yang merupakan kewajiban dan tugas pemerintah (government) untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan (governance). Begitulah halnya ketika negara Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuannya jelas, supaya penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air berada dalam rambu-rambu satu sistem, yang disebut pendidikan nasional.

Mari kita lihat, apakah penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air berjalan seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dalam satu sistem untuk membuat rakyatnya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab serta mempunyai kesadaran nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Benarkah bahwa di Republik Indonesia tidak ada sistem lain, yang bukan Sisdiknas, dan beroperasi dengan leluasa karena pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, tampaknya meliberalkan pendidikan di wilayah Tanah Air ini? Sebab, plural system telah terjadi di beberapa sekolah negeri dan swasta.

Sekolah Nasional Plus

Fenomena kebebasan dalam penyelenggaraan pendidikan dimulai oleh lembaga sekolah swasta. Tantangan globalisasi serta tuntutan modernisasi pendidikan pada era teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan, pada awal 1990-an, masyarakat penyelenggara sekolah swasta merintis pendidikan berciri internasional. Memakai bahasa pengantar bahasa Inggris, menyewa guru ekspatriat, serta mengedepankan aplikasi teknologi informasi. Dengan era reformasi, gejala pembukaan sekolah sejenis semakin menjamur. Mereka menamakan diri Sekolah Nasional Plus, membuat kombinasi kurikulum asing dengan kurikulum nasional, dan membentuk asosiasi dengan nama Association of National Plus School, disingkat ANPS. Istilah "plus" dipakai di situ untuk menunjukkan "kelebihan" dibanding sekolah biasa. Jumlah sekolah ini sudah mencapai ratusan di seluruh Indonesia. Mereka bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Singapura, India, bahkan Turki guna memperoleh akreditasi dan franchising. Selain bahasa Inggris, bahasa-bahasa asing lainnya juga diajarkan, seperti bahasa Cina-Mandarin, Jepang, dan Arab.

Salah kaprah

Karena merasa mempunyai kelebihan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan proses pembelajaran oleh guru-guru ekspatriat, sekolah-sekolah swasta semacam itu ada yang menyebut dirinya sekolah internasional. Kekacauan penggunaan istilah "internasional" ini dimulai dari Sekolah Asing Expatriate, yang diizinkan beroperasi di Indonesia. Sekolah internasional sebagai nomenklatur ini merujuk pada nationalities murid-muridnya, bukan sistem pendidikannya. Misalnya, Jakarta International School itu adalah sekolah Amerika, Nederlandse Internationale School adalah sekolah Belanda, Deutsche Internationale Schule adalah sekolah Jerman, dan lain-lainnya. Murid mereka terdiri atas berbagai kebangsaan. Jadi bukan sistem pendidikannya yang internasional.

Sistem yang betul-betul internasional adalah yang disebut International Baccalaureate Program, yang disingkat IB. Institusi ini dibentuk pada 1968 dan berpusat di Swiss. Beberapa negara maju, termasuk di dalamnya beberapa lembaga pendidikan, pada waktu itu bersepakat membentuk wadah pendidikan yang memungkinkan lulusannya dari mana pun memiliki akses ke perguruan tinggi di negara-negara maju tanpa harus mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi yang bersangkutan. Program IB inilah yang betul-betul internasional dan sudah dilaksanakan oleh lebih dari 100 negara di dunia.

Di Indonesia, program IB sudah dipakai oleh beberapa sekolah swasta. Program IB ini sangat berat persyaratannya. Hanya sekolah kaya yang mampu menyelenggarakan dengan biaya pendidikan sangat tinggi. Sekolah-sekolah penyelenggara program IB ini harus mendapat sertifikasi dari International Baccalaureate Organisation atau IBO dengan pengawasan berkala yang cukup ketat.

Pendidikan kewarganegaraan

Sekolah-sekolah yang menyebut diri sekolah nasional seharusnya berjalan menurut rambu-rambu UU Sistem Pendidikan Nasional. Bagi Sekolah Nasional Plus, yang bobot nasionalnya masih tebal, ketentuan-ketentuan dari Sisdiknas, dalam hal ini kurikulum nasional, masih diikuti dengan patuh, di samping kurikulum asing yang diberikan dalam bentuk "plus" tersebut. Murid-muridnya disiapkan untuk mengikuti ujian nasional sebagai ketentuan Sisdiknas.

Namun, seiring berjalannya waktu banyak, Sekolah Nasional Plus menipis nasionalismenya dengan mengurangi bahkan mengabaikan kurikulum nasional. Sebagian dari mereka bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah. Apakah hal ini bukan suatu bentuk liberalisasi pendidikan di Tanah Air, walaupun bukan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan itu? Siapa yang dapat menjamin pembentukan nation and character building setiap warga negara dapat terlaksana dengan baik apabila yang diajarkan sehari-hari dalam proses pendidikan adalah ideologi, materi, atau "isme" yang bukan isi kurikulum nasional yang berbasis Pancasila? Apakah laissur fair di bidang pendidikan itu dapat dibenarkan? Dengan dilaksanakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), liberalisasi pendidikan ini nyaris sempurna, karena KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah.

Perizinan sembarangan

Menurut undang-undang, setiap pembukaan lembaga pendidikan baik prasekolah, sekolah, maupun perguruan tinggi harus melalui perizinan, terlepas dari siapakah yang harus memberi izin, pemerintah pusat atau pemerintah daerah, karena desentralisasi kepemerintahan. Pembukaan suatu sekolah memerlukan berbagai pertimbangan, baik menyangkut masalah infrastruktur dan lingkungan sekolah, tenaga pendidik/pengajar, kurikulum, visi dan misi sekolah, potensi peserta didik, maupun pembiayaan dan lainnya.

Namun, berbagai pertimbangan itu banyak diabaikan sehingga banyak kita jumpai sekolah yang dibuka di ruko, rumah tinggal, atau lahan yang sempit, dan mengganggu lalu lintas serta membuat gaduh lingkungan, sehingga seolah-olah pendidikan/sekolah merupakan home industry belaka. Ada kemungkinan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mempunyai izin. Ini terjadi terutama di tingkat play group dan taman kanak-kanak, yang merupakan komoditas menguntungkan secara bisnis bagi penyelenggaranya.

Pembelajaran yang disertai bahasa Inggris atau dengan embel-embel tambahan latar belakang agama semacam ini sangat laris manis diserbu para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, dari prasekolah bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Suatu kebanggaan sosial bagi orang tua kalau anaknya sudah bisa bicara sedikit-sedikit bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, yang diajarkan di play group atau taman kanak-kanak. Gaya hidup metropolitan orang tua modern mendorong menjamurnya industri pendidikan semacam ini. Kalau gejala sosial di kota-kota besar di Indonesia seperti itu tidak segera ditata dan diarahkan secara konstruktif, dikhawatirkan liberalisasi pendidikan yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang ada akan berdampak jauh bagi hari depan bangsa Indonesia. Pendidikan bukan sekadar menjadikan siswa cerdas, tapi juga menjadikan mereka warga negara, artinya warga dari suatu negara dan bangsa yang memiliki jati diri bangsa, bukan warga dengan jati diri yang lain. Dalam bukunya Democracy and Education: an Introduction of the Philosophy of Education (1915), John Dewey (1859-1952), seorang filosof Amerika, telah mengingatkan bahwa kondisi kritis suatu masyarakat demokratis dan industrial itu memerlukan penanganan pendidikan yang baru. Dia mengatakan: "The agencies of democratic and industrial society demanded new educational techniques."

Mengambil contoh bagaimana leadership dari pemimpin-pemimpin Prusia telah membentuk warga negara Jerman yang tangguh nasionalismenya, John Dewey mengatakan: "Under the influence of German thought in particular, education became a civic function, and the civic function was identified with the realization of the ideal of the nation state... to form the citizen, not the ‘man’ became the aim of education." Tujuan pendidikan nasional tidak sekadar membentuk kepribadian manusia Indonesia yang baik, tapi juga menjadikannya seorang warga negara yang baik.

Tidak ada komentar: