Senin, 15 Juni 2009

FALSAFAH GUNTING


FALSAFAH GUNTING
Oleh:Erinto Sumardi

Negeri kita ini-katanya sekarang telah menapak sebuah era kebebasan, era kemerdekaan dari sebuah rezim yang membelenggu dan meluluhlantakkan demokrasi. Roh dan nuansa demokrasi ini berpuluh-puluh tahun kita rindukan, kita impikan, dengan segenap harap-harap cemes. Tatkala kita masih berkutat dengan belenggu rezim Orba, rezim leviathan-demokrasi itu demikian kita akrabi dalam angan, setengah putus asa tak kunjung tiba. Kita hanya mampu menikmati “orgasme-orgasme demokrasi”, dalam bayangan dan benak yang sempit.
Apakah yang sesungguhnya kita rindukan dan impikan saat itu? Secara esnsial, hanya satu-yaitu kebebasan untuk berbeda, kelulusan untuk menikmati keberagaman, kesempatan untuk mengekspresikan keunikan dari masing-masing sesuai kodrat manusiawi. Kita, saat itu, bahkan tak pernah mampu melakukan proses individualisasi-mengutip konsep Carl Gustav Jung.
Kini, era kebebasan dan keleluasan telah kita raih. Tiba-tiba kita merasakan demikian keberagaman, demikian berbeda satu sama lain. Namun, pada saat bersamaan pula, kita kesulitan menghayati mengelola keberagaman dan segenap perbedaan itu. Kerenanya, mencuat berbagai perpecahan, konflik, turbulensi-nyaris dalam segenap relasi “ipoleksosbudaghankam” (jika meminjam istilah Romo Mangunwijaya).
Era reformasi, yang memberi kita kesempatan untuk menikmati keberagaman dan perbedaan, seharusnya menjadi hari-hari dan masa yang penuh anugrah bagi kita semua warga negara republik ini. Namun, sayang, anugrah itu telah menjadi bencana. Akan tetapi, perubahan anugerah menjadi bencana dalam konteks multikultur negeri kita, bukan melulu kehendak-Nya, kita juga mengambil andil menyebabkan hal tersebut.
Kita semua memang produk sebuah zaman dan rezim yang sama. Rezim yang, sekali lagi, menghianati roh demokrasi kodrati manusia untuk beragaman dan berbeda. Kita, “alumni” sebuah sekolah yang sama, istilah Arief Budiman, Sekolah Orde Baru! Kita adalah alumni yang sama selaki tidak menguasai, mengenal, menghayati,-pendeknya, sesungguhnya punya dasar apa pun untuk menikmati keberagaman sendiri. Oleh karena itu, kita kadang jadi salah tingkah dan kikuk menghadapinya.
Demikian hebatnya totaliterisme serta hegemoni” Homogenitis dan keberagaman” yang di bentang Rezim ORBA sehingga wilayah pribadi kehidupan (personal Space) kita pun diharambahnya. Ketidakmampuan kita semua menghayati dan mengelola keberagaman. Dan perbedaaan inilah yang sesungguhnya salah satu momok paling membahayakan kelansungan kehidupan sosial bangsa dan masyarakat kita saat ini, juga di masa-masa mandatang.
Untuk itu semua, kita segera mencari “falsafah” khusus untuk melandasi diri kita sebagai mahluk social, yang berinteraksi dan melakukan relasi social. Berbagai wacana dan ulasan telah diketengahkan untuk menganalisis dan mengupayakan solusi mengenai esensi kebneragaman dan perbedaan ini. Sering, pemikiran, opini ataupun wacana yang berkembang dari para pakar dan eliti demikian kompleks dan berat.
Karena, merilah kita mencoba membuatnya lebih sederhana. Sudah waktunya kita tinggalkan prinsip kerja kaum birokrat yang sering berkata:”Jika bisa sulit, kenapa harus dipermudah mudah?!” kita coba memakai paradigma sebaliknya. Kita tarik esensi keberagaman atau manusiawi kita ke dalam sebuah komunitas social kecil masyarakat, yakni sebuah keluarga.
Sebuah keluaga, officially –berangkat dari terminology dan konsef sebuah “pernikahan”. Pernikahan adalah sebuah momentum indah, ketika dua buah (esensi) perbedaan mencoba dipertemukan. Suami dan istri, laki-laki dan perempuan, yin dan yang-sungguh ilustrasi perbedaan dalam sebuah keluarga makin intens, ketika sang anak dilahirkan.
Jika sebuah ilustrasi keluarga tak menguasai esensi keberagaman dan perbedaan, serta tak mampu mengelola dengan baik-bisa diprediksikan bahwa ouput dan outcome dan keluarga itu akan sangat jelek, kurang produktif, dan bahkan kontraproduktif.
Masyarakat kita, pada dasarnya merupakan sebuah intitusi social raksasa, yang berisikan sekian banyak institusi-institusi kecil keluarga. Jadi, kini kita tak usah ikut berwacana dilangit tinggi, yang mempersoalkan dan mengurusi keberagaman/perbedaan di aras bangsa. Kita urus dan berwacana di aras-aras social lapis bahwah, yang kecil dan sederhana, lewat esensi keberagaman dan perbedaan sebuah keluarga, lewat pengenalan, penghayatan, dan pengelolaanya pada sebuah momentum pernikahan. Siapa tahu, dengan mengurusi yang kecil-kecil ini, secara akumulatif, bisa memberika konstribusi bearti bagi penyelesaian cerut-merutnya (pengelolaan) keberagaman maupun perbedaan di skala nasional.
Ada dua pesan yang indah dari dua orang”biasa”, namun sangat berhasil dalam kehidupan social dan kehidupan pernikahan atau keluarganya. Keduanya bahkan menjadi inspirasi hebat dalam pernikahan, keluaga, dan masyarakat. Pertama, pendapat dari Charlia Shedd. “pernikahan-katanya-bukanlah mencari orang yang tepat, melainkan menjadi orang yang tepat!” sejak awal manusia dilahirkan, maka sesungguhnya tak pernah ada seorang laki-laki “tepat” untuk seorang perempuan, demikian pula sebaliknya.
Pencaharian kearah itu adalah yang kurang bijak. Pesan Charlie Shedd itu mengisyaratkan tentang sebuah iktikad, kerelaan, proaktivitas untuk senatiasa bergumul, menyesuikan, mengubah, dan mentrasformasikan diri sehingga keseluruhan diri kita bertemu dengan keseluruhan diri pasangnan kita. Pertemuan dengan keseluruhan diri pasangan kita. Pertemuan secara total dua anak menusia ini tetap tidak mengilangkan perbedaan masing-masing.
Jika kita sudah bisa menghayati dan memenuhi pesan pertama, sampai kita pada pesan kedua, yang lebih substanasial dalam konteks tulisan ini. Itulah pesan Sidney Smith. Dia mengatakan, Kita ibratkan saja pernikahan itu sebuah gunting, yang bersatu-padu sehingga tak terpisahkan. Sering bergerak kearah yang berlawanan, tetapi selalu memotong segala yang muncul dan lahir diantara mereka!”
Ya, “falsafah gunting” inilah yang sesungguhnya bisa dijadikan ilham dan pedoman bagi kita semua (dalam semua dimensi kehidupan) untuk mengelola keberagaman dan perbedaan. Semoga diri kita selaku individu dalam keluarga kecil, para pemimpin di level dan jenis organisasi apa pun, petinggi dan elite bangsa-sudi melirik “falsafah gunting” ini. Bagaimanapun, dalam menghadapi keberagaman dan perbedaan di era paling baru sekaligus era multikultur ini, falsafah gunting masih lebih baik dibandingkan dengan falsafah bendil atau bom.
Erinto Sumardi, Mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIN Pontianak

Tidak ada komentar: