Senin, 29 Juni 2009

MEMPERTARUHKAN MASA DEPAN

MEMPERTARUHKAN MASA DEPAN
Oleh ERINTO SUMARDI

Salah satu ciri khas dari peradaban kontemporer adalah maraknya spesialisasi profesional, berdasarkan pengkhususan perhatian disiplin ilmiah dan pertimbangan efektivitas usaha atau demi efisiensi kerja.
Proses itu berjalan terus, nyaris tanpa kendali dan jumlah jenis profesi di masyarakat terus meningkat. Meski semua itu tidak mutually exclusive, pentingnya kaitan profesional satu dengan yang lain tak selalu ditonjolkan karena khawatir penonjolan itu menjurus ke penentuan signifikansi relatif dari satu spesialisasi terhadap spesialisasi yang lain. Atas berbagai spesialisasi itu, publik umumnya tidak peduli.
Profesi guru
Demonstrasi guru (Kamis, 19 Juli 2007) di Jakarta dan respons pemerintah mendorong kita untuk berpikir, seberapa penting profesi guru di negeri kita.
Signifikansi profesi guru bisa diketahui melalui penyederhanaan jumlah semua profesi di masyarakat. Dari jumlah puluhan itu—di komunitas nasional maju bisa ratusan—dapat direduksi, essentially reasonable, menjadi dua kelompok profesional. Pertama, adalah "guru", yang kedua adalah "dan lain-lain". Kelompok kedua ini meliputi, dari yang tertinggi, yaitu "presiden", sampai yang terendah, "penyapu/pembersih" atau profesi setara.
Pengelompokan yang sekaligus esensial dan reasonable ini bukan bersifat simbolis. Ia adalah riil-historis. Esensial karena tidak akan ada "presiden", "menteri", "jenderal". name it all together, kalau tidak pernah ada "guru" yang mengajari mereka. Reasonable mengingat kerja keguruan yang langsung terkait dengan kegiatan penting manusia yang mencerahkan—pendidikan—untuk terus semakin memanusiakan dirinya sambil menyiapkan sendiri masa depan kemakhlukannya.
Respons pemerintah
Bentuk respons pemerintah terhadap demo dari profesi yang signifikan ini pantas disesalkan, betul-betul unreasonable, tidak bertanggung jawab.
Pertama, bukan Presiden sendiri yang menerima wakil dari ribuan guru yang berunjuk rasa. Presiden tentu sadar, dia bukan hanya Kepala Negara, tetapi juga Kepala Pemerintahan. Pejabat eksekutif nomor satu di republik ini seharusnya tahu, yang berunjuk rasa itu bukan sembarang orang, tetapi yang, by profession, menyiapkan kelangsungan hidup bangsa kita. Dia bisa saja berdalih ada kesibukan lain, tetapi ini adalah sikap resmi Presiden yang untuk kesekian kalinya menunjukkan bahwa dia "terpanggil" untuk memimpin, tetapi bila saatnya tiba, "gentar" memimpin. Dia bisa saja mendelegasikan otoritasnya kepada para menteri sebagai pembantu, tetapi tidak seharusnya mendelegasikan tanggung jawabnya sebagai kepala eksekutif. You may delegate your authority, but never delegate your responsibility.
Kedua, para pejabat yang mewakili pemerintah dengan sadar dan sengaja menyembunyikan kebenaran. Jumlah mereka—sampai empat menteri—tidak bisa menutupi pelecehan pemerintah terhadap profesi guru. Menteri Hatta Rajasa mengungkapkan, hak budget dipegang DPR. Dia sengaja tidak mengatakan, di alam demokrasi, pemerintah berhak menyampaikan anggaran kepada DPR. Bagaimana DPR mau memutuskan jika tidak diusulkan. Selama ini pemerintah belum pernah eksplisit mengetengahkan angka 20 persen sebagai realisasi anggaran pendidikan minimal. Tidak ada uang? Nonsens! Kenyataan ada uang untuk kenaikan gaji menteri dan anggota DPR. Akuilah, yang tidak ada bukan uang, tetapi komitmen, kesungguhan mengakui signifikansi kerja pendidikan bagi masa depan bangsa.
Mencela demo
Tentu ada orangtua yang mencela demo guru sebagai perbuatan tidak terpuji karena bisa berdampak negatif terhadap sikap dan perilaku anak-anak. Kekhawatiran ini benar dan bisa terjadi bila orangtua juga bersikap tidak acuh dan meremehkan signifikansi kerja guru bagi perkembangan kemanusiawian anak-anaknya. Dengan segala keterbatasannya, selama ini para guru telah bertindak sebagai orangtua kedua di sekolah. Alih-alih mencela, kini saatnya para orangtua bersikap sebagai guru kedua di rumah. Terangkan sejujurnya kepada anak-anak, berbagai alasan mengapa guru mereka sampai meninggalkan kelas untuk berdemo di luar sekolah.
Para guru itu bisa saja bukan sanak keluarga dari orangtua yang jengkel atas sikap guru. Namun, mereka telah berbuat banyak, meski dengan keadaan finansial serba minim. Para orangtua ini hendaknya membaca reportase sebab-sebab demo dengan nurani terbuka, tidak hanya dengan mata terbuka, lalu menggugah nurani anak-anaknya untuk memahami penderitaan para guru. Mereka turun ke jalan bukan tanpa alasan. Marilah kita renungi alasan-alasan itu.
Para guru, di mana pun, melalui profesinya, memberi jasa lebih banyak daripada imbalan yang diterima. Artinya, di seluruh dunia, gaji guru selalu relatif lebih rendah daripada orang yang sama tingkat pendidikan praprofesionalnya, tetapi bekerja di bidang nonpendidikan. Namun, di sana, jumlah absolut balas jasanya masih bisa dianggap reasonable. Adapun di sini tidak karena penetapannya dilakukan secara terpisah dengan penggajian di bidang-bidang lain, sama sekali lepas dari asas kesepadanan, kepatuhan, dan keadilan dilihat dari sudut keseluruhan dan kebersamaan tanggung jawab dan hak.
Kita beruntung, dengan sistem balas jasa yang serba pincang ini, masih ada orang yang bersedia menjadi guru. Bersedia memberikan jasa lebih banyak daripada imbalan jasa yang diterimanya. Bersedia mengabdi tanpa menerima tanda jasa apa pun di dadanya sebagai simbol pengakuan terhadap setiap prestasi lebih yang telah diberikan. Para guru ini, melalui dedikasinya, betul-betul telah berusaha menyiapkan masa depan kita semua karena sadar, di sanalah kita semua akan menjalani bersama-sama sisa hidup itu.
Tidak gampang untuk bisa menyatakan apa yang membuat suatu bangsa kukuh dan maju. Namun, mudah sekali untuk mengatakan kapan bangsa ini mulai goyah eksistensinya, yaitu bila generasi yang sedang berkuasa melalaikan pendidikan generasi penerusnya, melalui pelecehan terhadap kinerja pengabdi nomor satu di bidang pendidikan itu, yaitu guru.
Nurani bangsa, di mana Anda? Bangun dan bicaralah!

Tidak ada komentar: