Selasa, 30 Juni 2009

Un, Kebijakan yang Tidak Memanusiakan

Un, Kebijakan yang Tidak Memanusiakan


Mulai bulan Januari tahun ini sekolah termasuk didalamnya Kepala sekolah, guru, dan siswa disibukkan dengan persiapan Ujian Nasional (UN).

Mulai dari pembelian buku-buku (bank-soal UN), mengikuti bimbingan test sampai kepada penambahan jam belajar disekolah.

Berdasarkan peraturan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 72 ayat (1) d yang menyebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi empat syarat. Pertama, telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran.

Kedua, memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional. Maka UN telah resmi menjadi ”anak tangga” terakhir bagi para siswa melalui tingkat satuan pendidikan masing-masing apakah layak melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya atau tidak.

Sejak awal kebijakan UN terus menuai kritik dari para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat. Namun pemerintah tidak pernah mau mendengarkan bahkan terus ”mengeraskan hati”. Mendiknas dan BSNP menetapkan bahwa untuk tahun 2009, peserta UN dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Terjadi peningkatan angka kelulusan dari tahun lalu sebesar 0,25 (nilai rata-rata 5,25 dengan nilai terendah 4,00).

Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN. Sedangkan kriteria kelulusan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) untuk sekolah dasar ditetapkan melalui rapat dewan guru. Penetapan mencakup nilai minimum setiap mata pelajaran yang diujikan serta nilai rata-rata ketiga mata pelajaran, yakni bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Pelaksanaan UN tahun ini untuk SMP, MTS, dan SMPLB pada 27-30 April dan ujian susulan 4-7 Mei. Mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Untuk jenjang SMA dan MA: 20-24 April dan susulan 27 April – 1 Mei. SMK dan SMALB: 20-22 April, susulan 27-29 April. Untuk SMA ada 6 MP yang diujikan, sedangkan SMK ada 3 MP.

Dampak Kebijakan yang Tidak Memanusiakan

Menurut hemat penulis, kebijakan UN cenderung menjadi kebijakan yang tidak memanusiakan. Beberapa alasannya antara lain; Pertama, digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandarisasi, ini merupakan salah satu dampak yang paling eksistensial. UN yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan kebijakan yang tidak menghargai keunikan pribadi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan.

Lewat UN dimensi etis individu tidak diakui lagi. Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreativitas, juga kebebasan dalam mengembangkan diri, penilaian kelulusan yang hanya mendasarkan pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat manusia.

Kedua, terjadinya kriminalisasi pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya memanusiakan manusia. Jadi, ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan, membudayakan, dan mengindonesiakan menghasilkan yang sebaliknya, disitu terjadi kriminalisasi pendidikan.

Ketiga, menipisnya kecintaan siswa kepada sekolah, siswa tidak lagi ”candu sekolah”. Sekolah-rumah kedua bagi siswa-yang seharusnya menyediakan lingkungan, sarana, dan prasarana belajar yang kondusif bagi siswa malah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari Bimbingan belajar (Bimbel).

Keempat, Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi siswa juga terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban siswa.

Kelima, membunuh karakter. Untuk memperoleh hasil ujian sesuai standar, para siswa mengikuti bimbingan belajar alias bimbel, tapi realitasnya adalah bimbingan tes. UN adalah upaya instan yang bersifat darurat hanya untuk lulus ujian, sedangkan bimbel adalah unit gawat daruratnya. Jadi, UN bukanlah sarana pendidikan kerja keras dan semangat bersaing, apalagi sarana pembentukan karakter. Bukannya justru menciptakan etos kerja yang tinggi malah menghasilkan budaya malas. Mau jadi apa anak bangsa ini nanti?
Berharap dari Pemilu

Menurut hemat penulis, salah satu akar permasalahan tersebut adalah ketika orang-orang yang mengisi jabatan di departemen pendidikan bukan mereka yang memahami bahwa pendidikan hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Kesalahan terjadi ketika yang dipercaya menangani pendidikan ternyata tidak peduli falsafah tentang hakikat manusia, realitas kehidupan, dan bagaimana ”ilmu sekolah”dapat berdampak positif dalam peradaban manusia.

Mencuatnya selalu kasus pelaksanaan UN dari tahun ke tahun adalah sebuah ekses dari manajemen pendidikan kita yang tidak visioner, pembentukan kebijakan publik yang dilakukan secara eksklusif, dan menganggap masyarakat semata-mata sebagai objek. Itu dikarenakan penempatan SDM yang tidak tepat. Bukankah menempatkan seorang akuntan menjadi seorang mentri pendidikan sesuatu yang salah ?. Menempatkan orang yang benar pada tempat yang benar merupakan solusi tepat didalam memperbaiki pendidikan Indonesia. Harapan itu ada pada pemilihan umum presiden yang akan datang.

Siapapun presiden yang terpilih mendatang sudah saatnya memberlakukan kebijakan bahwa tidak ada satupun kebijakan publik (termasuk pendidikan) yang dapat diberlakukan tanpa melalui cara-cara yang demokratis. Cara-cara yang demokratis harus memperhatikan pentingnya sosialisasi rencana kebijakan, menjaring dan menyaring masukan publik melalui serangkain konsultasi publik dengan time frame yang memadai, dan memberlakukan kebijakan publik tersebut secara hati-hati dan bertahap. Siapapun yang menjadi presiden mendatang hendaknya menempatkan pendidikan bukan hanya sebatas political will, tapi harus sampai pada political action.

Tidak ada komentar: