Selasa, 30 Juni 2009

Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperialisme Pendidikan

Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperialisme Pendidikan
oleh: Erinto Sumardi

Sebagai sebuah realitas yang tidak dapat ditawar-tawar, pendidikan memiliki peran yang teramat urgen bagi perkembangan pribadi manusia.

Keterbelakangan Pendidikan Rakyat
Pendidikan berakar dari kata didik yang berarti mengarahkan ataupun membimbing. Segala upaya yang diarahkan untuk mendidik ataupun membimbing seseorang merupakan bahagian dari upaya pendidikan. Senapas dengan itu pendidikan tidak lepas dari beberapa komponen yang satu sama lain saling bertautan, jika satu dari mereka tidak ada maka proses pendidikan tidak akan mungkin terjadi.

Komponen tersebut adalah: Pendidik dan peserta didik. Komponen tersebut merupakan bagian yang paling fundamen dari sebuah proses pendidikan. Seorang pendidik bertugas mengarahkan dan mentransformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didiknya, guna mengarahkannya mencapai sesuatu yang bermakna. Dalam kaitan itu seorang pendidik dituntut untuk memiliki kualifikasi dan kompetensi akademis yang memadai.

Dalam Permendiknas Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 28 disebutkan bahwa, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki tujuan pendidikan. Lebih lanjut dalam Pasal 30 dijelaskan, seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, kompetensi tersebut meliputi, kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi propfesional dan kompetensi sosial (UU NO 20 tahun 2003).

Selaras dengan itu seorang Pendidik juga memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk mengetahui sejauh mana anak didiknya bersikap dan berafiliasi dengan teman-temannya yang lain, dalam hal ini aspek Afektif menjadi harga mati dari sebuah proses pendidikan. walapun tetap harus memperhatikan ranah Kognitif dan Psikomotoriknya. Walaupun dalam prakteknya sering terjadi antithesis dalam wilayah Afektif dan Kognitif, yang terjadi adalah pendidik seolah-olah menjadi orang yang paling berkuasa di kelasnya, komunikasi timbal balik tidak berjalan sebagaimana mestinya, penekanan aspek verbal menjadi tuntutan pendidik. Sehingga pencapaian Assessment hanya dilihat dari aspek skor dan nilai dari peserta didik.

Hal tersebut secara tidak langsung akan mematikan kreatifitas peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Perlu untuk digarisbawahi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi alamiah yang berbeda-beda yang jika dipaksakan terhadap sesuatu hal akan mengganggu kejiwaannya. Artinya adalah memberikan mereka kebebasan untuk berkreatifitas dan menunjukan kemampuan terbaiknya merupakan uregensi seorang pendidik.

Sejatinya, seorang pendidik mengarahkan peserta didik untuk lebih mengeksplorasi aspek afektifnya. Pembinaan mental dan sikap merupakan peran utama seorang pendidik yang harus benar-benar berfungsi dengan baik. Sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi manusia yang sadar nilai dan mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang Agung yang tidak berbuat sesuka hati dan menempatkan nilai dan moral di atas segalanya.

Sarana dan Prasana Pendidikan. Tidak berbeda dengan komponen yang telah disebutkan di atas komponen ini juga teramat urgen dalam upaya mengembangkan proses pendidikan. Hal tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik (UU No 20 tahun 2003).

Tanpa adanya sarana dan prasarana yang baik maka upaya pengembangan pendidikan tidak akan terjadi sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terlihat ketika pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh. Berapa banyak Sekolah yang hancur dan berapa banyak sarana dan prasarana pendidikan yang hilang dan rusak parah.

Akibatnya para siswa tidak dapat melaksanakan proses pendidikan sebagaiamana mestinya kalaupun harus dipaksakan mereka hanya bisa bersekolah di tenda-tenda darurat ataupun di gedung-gedung sekolah yang sangat tidak layak. Hasilnya adalah ketika terjadi UAN pada tahun 2006 banyak dari anak-anak Aceh yang tidak lulus pada Ujian Akhir Nasional.

Tidak hanya itu Gempa Bumi dan Tsunami Aceh juga berimbas kepada anak-anak Aceh yang kian terganggu mental dan kejiwaannya, diakibatkan stress maupun trauma yang berkepanjangan padahal potensi intelektual, emosionl dan kejiwaan merupakan potensi sarana dan prasarana yang sangat esensi bagi proses-proses pendidikan.

Komponen tersebut di atas merupakan hal yang sangat asasi bagi kemajuan pendidikan bangsa ini. Itu harus menjadi perhatian pemerintah jika tetap ingin mengembangkan dunia pendidikan di negara ini. Walaupun harus diakui secar jujur bahwa kian hari dunia pendidikan kita nyaris semakin tertinggal. Hal ini dibuktikan dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Hal tersebut semakin diperparah dengan tingkat kemiskinan yang semakin mengelembung, kehidupan masyarakat kumuh yang berbaris semraut di pinggiran sungai malah semakin menggeliat. Di beberapa daerah malah terkuak anak-anak Balita yang menderita busung lapar, kelaparan terjadi di beberapa daerah, bahkan beberapap penyakit menular juga bertubi-tubi menyerang bangsa ini. Masyarakat semakin terperosok jauh ke belakang untuk kemudian meratap sedih terhadap sanak kelurga mereka yang tak berdaya. Alih-alih untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk menghidupi keluarga saja mereka tidak sanggup lagi.

Dan inilah yang terjadi hari ini, betapa tidak pendidikan seyogianya menjadi milik seluruh warga
masyarakat tanpa terkecuali, malah seperti perjalanan panjang yang tanpa garis finish.

Imperialisme Pendidikan
Pasca Revolusi Prancis, Inggris dan beberapa negara Eropa, istilah pembaharuan semakin sering terdengar. Istilah semacam aufklarung, renessaince, revolusi bahkan istilah imperialisme merupakan istilah yang cukup populer di mata bangsa barat. Bahkan kata-kata tersebut menjadi simbol pada setiap pergerakan dan aksi-aksi mereka (baca: barat). Salah satu istilah yang cukup populer adalah imperialisme. Istilah imperialisme merupakan istilah yang digunakan untuk melakukan penjajahan ataupun suatu usaha untuk melakukan penyerangan baik dalam bentuk sosial, budaya, politik, militer, ataupun pendidikan terhadap
wilayah yang dianggap sebagai objek lawan. Intinya adalah mempengaruhi, merusak, menjajakan, serta
menjajah negara lain adalah kata kunci imperialisme.

Imperialisme Pendidikan yang terjadi di negara ini bukanlah barang baru. Jauh-jauh hari bentuk penjajahan ini telah berlangsung lama dan rapi. Bangsa ini dihadapkan pada wajah dunia yang harus
diikuti dan dituruti. Pendidikan seolah-olah milik mereka yang berkuasa, pendidikan seolah-olah hanya milik mereka yang berlatar belakang kaya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Fakih Mansour "Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran aliran positivisme". (Fakih Mansour, 1999:22).

Besarnya biaya pendidikan dari mulai tingkat pendidikan dasar, menegah sampai perguruan tinggi begitu sungguh mengagumkan. Bayangkan saja untuk masuk ke sekolah dasar yang cukup ternama orang-orang tua siswa dipungut beberapa juta rupiah, itu yang terjadi ketika setiap kali tahun ajaran baru dimulai. Begitu juga, kenaikan biaya pendidikan tinggi (perguruan tinggi) juga tidak main-main. Di privatisasinya beberapa perguruan tinggi terkemuka semakin menjadi momok dan monster yang menyeramkan bagi para anak-anak bangsa ini yang hendak mengeyam ke jenjang pendidikan tinggi.

Istilah privatisasi perguruan tinggi merupakan hal yang baru bergulir satu dasarwarsa terakhir ini. Beberapa perguruan tinggi ternama, semisal UI, UGM, ITB, UNPAD, USU dan beberapa perguruan tinggi lainnya resmi menyatakan siap di-privatisasi, dan berubah statusnya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Bahkan untuk beberapa jurusan terkemuka semisal, kedokteran pihak rektorat dengan berani mematokan sekian ratus juta untuk dapat diterima jika memang mereka benar-benar dari keluarga berada namun secara kemampuan kognitif tidak sanggup memasukinya.

Digulirkannya privatisasi perguruan tinggi negeri cukup mendapat respon yang marak dari kalangan mahasiswa, demonstrasi terjadi dimana-mana untuk menolak kebijakan itu. Namun apa lacur, pemerintah tetap memprivatisasi perguruan tinggi yang dianggap mapan dengan beberapa alasan, di antara alasan-alasan itu adalah agar perguruan tinggi baik Dosen-dosen dan aparat Kampus semakin profesional karena dalam hal ini pihak rektorat dapat kapan saja untuk memberhentikan dosen-dosen yang tidak berkualitas.

Hal ini juga ditengarai untuk menghapuskan subsidi pemerintah terhadap perguruan tinggi. Artinya perguruan tinggi harus mampu untuk mencari dan mengembangkan keprofesionalannya sendiri tanpa harus mengemis kepada Pemerintah.

Kebijakan privatiasi tersebut seolah-olah menjadi solusi dan jawaban terhadap sekian persoalan pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Namun secepat itukah. Sudah layakkah beberapa perguruan tinggi negeri tersebut diprivatisasi. Apapun itu, bola telah menggelinding, aksi telah dilakukan, privatisasi telah terjadi. Lihat berapa banyak anak-anak pintar dan cerdas di negeri ini, dikarenakan tidak memiliki cukup dana terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengambil jurusan kedokteran ataupun jurusan bergengsi lainnya.

Pendidikan Untuk Rakyat
Pendidikan memanusiakan kembali manusia dari dehumanisasi struktural dan sistem sosial yang menindas. Begitulah ungkapan Paulo Freire yang hingga kini tidak akan pernah terlupakan. Pendidikan harus mampu menjadi penyelamat manusia dari ketertindasan, kemiskinan, kemelaratan dan marginalisasi.

Upaya untuk memanusiakan manusia merupakan segmen utama dari pendidikan. Dalam UU tentang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pada Pasal 5 dijelaskan, "bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". Itu artinya setiap anak bangsa di negeri ini memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan tanpa melihat latar belakang kehidupannya.

Dengan pendidikan manusia hina menjadi bermartabat, bahkan dengan pendidikan orang-orang jahiliyah di masa Rasul Muhammad SAW, menjadi mulia. Hal itu tidak lepas dari didikan Muhammad SAW terhadap kondisi masyarakat Quraisy yang sangat Jahiliyah. Berawal dari sebuah rumah sederhana milik sahabat Nabi bernama Arkam inilah proses tarbiyah dimulai. Hasilnya adalah betapa dari didikan Rasul, Muhammad SAW ini bermunculan orang-orang besar yang kemudian membesarkan Islam sampai ke penjuru Jazirab Arabiah dan Eropa.

Realitas pendidikan yang kian mensubordinasi dan memarginalisasi masyarakat merupakan ancaman terhadap demokratisasi dan tujuan pendidikan. Sejatinya, masyarakat dapat mengeyam pendidikan sama dengan masyarakat mampu yang lain dikarenakan pendidikan merupakan hak seluruh warga masyarakat. Kalaulah bangsa ini hendak bercermin, bangsa Jerman dapat menjadi sampel bagaimana mereka mampu mengelola pendidikan gratis di negara itu. Walaupun gratis namun dalam tataran kualitas tidak perlu diragukan lagi. Kalaupun upaya untuk menggratiskan seluruh tingkatan pendidikan tidaklah mungkin, minimal pada jenjang pendidikan dasar tidak dipungut biaya (UU NO 20 tahun 2003).

Sudah saatnya pemerintah dan orang-orang yang berkompeten di bidang ini melihat hal itu, memikirkan kembali pendidikan rakyat yang kian terpuruk. Potensi penduduk negara ini yang cukup besar merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk mensuplai orang-orang yang berkualitas. Ragam cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan anak rakyat ini dari kebodohan, ketertindasan, bahkan kejahiliyahan
struktrual yang kian menggelayut. Yang terpenting adalah kesungguhan pemerintah dan kearifan penguasa negeri ini untuk tidak melihat mereka semakin tertindas.***

Tidak ada komentar: