Selasa, 07 Juli 2009

KAMPANYE TANPA ISU PENDIDIKAN
oleh: Erinto Sumardi
Ada perbedaan signifikan antara kampanye pemilu legislatif dan kampanye pemilu presiden-wakil presiden tahun 2004 dengan tahun 2009. Perbedaannya terletak pada diangkatnya isu pendidikan.
Dalam kampanye tahun 2004, berbagai organisasi politik peserta pemilu serta capres dan cawapres gencar mengangkat berbagai isu pendidikan; khususnya anggaran pendidikan. Mereka berjanji mengalokasikan anggaran pendidikan setidaknya 20 persen dari RAPBN jika menang; bahkan ada yang berani 25 persen. Begitu gencar isu pendidikan ditiupkan sampai ada komentar pendidikan dijadikan komoditas politik.
Sekarang? Kampanye terfokus pada masalah ekonomi. Isu pendidikan hampir tidak pernah ditiupkan ke masyarakat. Benar, Megawati dan Prabowo menyatakan akan menghapus UU BHP Pendidikan, tetapi UU itu bukan isu primer pendidikan nasional.
Tiga isu primer
Masih ada waktu bagi ketiga pasang capres dan cawapres jika ingin meniupkan isu pendidikan. Ada tiga isu primer yang layak disosialisasi; yaitu anggaran pendidikan, partisipasi pendidikan, dan kualitas pendidikan.
Isu primer pertama adalah anggaran pendidikan untuk memberikan kemudahan warga negara dalam mendapatkan layanan pendidikan. Anggaran pendidikan Indonesia sebesar 20 persen dari RAPBN dan RAPBD amat memadai; jarang ada negara yang mampu ”bersaing”.
Masalahnya, meski besar anggaran pendidikan telah dipatok dalam UU Sisdiknas dan UUD 1945, hingga kini tak pernah tercapai. Memang anggaran kita meningkat, tetapi jangan lupa korupsinya, baik yang kasatmata (real corruption) maupun yang tidak (invisible corruption) jumlahnya sangat besar. Alhasil kemudahan mendapatkan layanan pendidikan bagi warga negara belum berjalan mulus.
Isu primer kedua menyangkut partisipasi pendidikan, yaitu bandingan antara anak sekolah dan anak yang seharusnya bersekolah. Partisipasi pendidikan SD/MI di Indonesia kini baru sekitar 93 persen; sedangkan SMP/MTs baru 65 persen.
Jika kita ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, kita masih harus menyekolahkan tujuh dari setiap 100 anak usia SD dan 35 dari setiap 100 anak usia SMP. Ini tantangan amat serius yang perlu dijawab calon pemimpin negeri ini.
Oleh World Bank, UNESCO, dan beberapa lembaga internasional, partisipasi pendidikan atau partisipation rate of education telah dijadikan barometer untuk mengukur sejauh mana negara memberi layanan pendidikan bagi warganya. Artinya, jika partisipasi pendidikan di Indonesia masih rendah, berarti negara kita belum memberi layanan pendidikan optimal bagi warganya.
Isu primer ketiga menyangkut kualitas pendidikan. Banyaknya pejabat yang korup merupakan cermin rendahnya kualitas pendidikan kita. Mengapa? Pendidikan tidak saja terkait kecerdasan dan keterampilan (otak kiri), tetapi juga terkait kejujuran dan perilaku konstruktif lain (otak kanan).
Benar anak kita berhasil memenangi beberapa event internasional, seperti di SD ada Primary Mathematic World Contest (PMWC), SMP ada International Junior Science Olympiad (IJSO), SMA ada International Mathematic Olympiad (IPhO), International Physic Olympiad, dan lainnya. Semua itu perlu disyukuri. Namun, itu adalah prestasi individual yang tak mencerminkan anak Indonesia seluruhnya.
Senyatanya prestasi kolektif kita masih rendah; lihat prestasi matematika dalam Trends of Internasional Mathematic and Science Study (TIMSS), prestasi membaca pada Progress in International Reading and Literacy Study (PIRLS), dan sebagainya.
Perlu diangkat
Kini, ketiga isu pendidikan itu perlu diangkat dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Hal ini bukan hanya untuk mengukur sejauh mana para kandidat memiliki kepedulian pada masalah pendidikan, tetapi lebih daripada itu dapat dijadikan indikator sejauh mana para kandidat memiliki ketepatan strategi untuk mengentaskan bangsa dari keterpurukan.
Secara empirik, negara mana pun di dunia ini sulit maju jika alokasi anggaran pendidikannya rendah, partisipasi pendidikan masyarakat rendah, dan kualitas pendidikannya rendah. Keuntungan lain, jika kandidat presiden dan wakil presiden berani mengangkat isu pendidikan primer itu, rakyat berkesempatan menagih janji jika kelak apa yang dijanjikan saat kampanye tidak dipenuhi dalam praktiknya.
Dalam kondisi bangsa yang sedang terpuruk seperti sekarang, wajar jika rakyat hanya memilih kandidat presiden dan wakil presiden yang memiliki ketepatan strategi untuk mengentaskan dari keterpurukan dengan menyolusi ketiga masalah primer itu.

Tidak ada komentar: