Selasa, 07 Juli 2009

engembangkan Model Pendidikan Multikultural
Oleh:Eto'S
Untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, pendidikan bisa berperan membentuk pandangan siswa mengenai kehidupan dan meningkatkan penghargaan terhadap keberagaman. Pendidikan multikultural di Indonesia menghadapi tiga tantangan mendasar.

Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.

Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Penelitian saya atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik (Lie, 2001 dan 2003).

Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.

Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.

Kurikulum multikultural

Tilaar (2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI.

Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.

Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik). Dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.

Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.

Mengenal diri sendiri

Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat).

Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.

Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang multikultural termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning, dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.

Untuk melaksanakan pendidikan multikultural, sejumlah pekerjaan rumah harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum, standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan profesional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan, hingga rancangan monitoring dan evaluasi.

Tidak ada komentar: