Sabtu, 11 Juli 2009


Beriman tanpa Korupsi
Oleh Erinto Sumardi
Skenario panggung drama sejarah sering menempatkan rakyat sebagai tumbal kepentingan penguasa. Interes politik penguasa menempatkan rakyat pada sudut sejarah yang siap dilupakan. Kemudian, mereka baru kembali diingat saat ada kepentingan lain.
Entah siapa pemilik sah bangsa yang seharusnya mengelola tanahnya demi kepentingan bersama. Apakah para penguasa, agamawan, aristokrat, atau malah rakyat sendiri?
Deskripsi tersebut mengingatkan kita pada realitas objektif kondisi negara ini. Setiap kebijakan politik, ekonomi, maupun sosial tidak pernah didasarkan pada kepentingan rakyat. Rakyat yang merupakan objek sentral kebijakan tidak pernah dijadikan subjek untuk pengambilannya. Rakyat ibarat hewan peliharaan yang siap diberi peraturan apa pun dari empunya.
Korupsi seakan menjadi salah satu iman para pejabat yang mesti dilakukan. Ibarat salat berjamaah, korupsi juga dilakukan secara gotong royong. Karena itu, pengungkapan kasus korupsi menjadi sulit dilakukan.
Padahal, ditinjau dari semua aspek, korupsi adalah kejahatan yang tak bisa ditoleransi. Secara ekonomi, korupsi adalah kejahatan besar yang merugikan pihak lain. Begitu pula aspek teologi menyebutnya. Secara teologi, korupsi masuk ke dalam kategori dosa privat dan dosa sosial. Artinya, di samping berdosa kepada Tuhan, juga telah berdosa kepada seluruh rakyat Indonesia. Pertobatan pun tak cukup hanya dilakukan dengan minta maaf. Tetapi, seluruh harta jarahan harus dikembalikan kepada yang berwenang.
Karena korupsi telah menjadi iman bangsa Indonesia, penyelesaiannya tidaklah mudah. Ada beberapa langkah penting. Pertama, membangun konsolidasi secara masif. Karena kasus korupsi bukan persoalan personal, melainkan melibatkan banyak pihak, menyelesaikannya pun tidak bisa ditangani oleh segelintir orang.
Untuk itu, mengajak sejumlah organisasi lain bergabung memberantas korupsi adalah niscaya. Aliansi lintas agama untuk mengikis budaya korupsi sungguh sangat strategis dilakukan agar titik temu perbedaan teologis dalam agama-agama yang tak jarang menjadi problem maker bisa didapatkan, yakni antikorupsi.
Kedua, kesungguhan dan ketegaran hati. Diakui atau tidak, kasus korupsi bisa menimpa siapa saja. Baik teman, keluarga, istri, maupun suami. Tanpa ada kesungguhan dan ketegaran hati untuk mengadili orang-orang terdekat tersebut, korupsi di tanah air akan terus berkembang.
Dalam konteks itulah, intervensi dari mana pun dan siapa pun untuk menutupi kasus korupsi sungguh tidak bisa dibenarkan. Bukankah dalam agama telah diajarkan untuk memulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga dan orang terdekat lainnya. Maka, terlepas dari segala kepentingan, pengakuan diri sejumlah tokoh seperti Amin Rais perlu disambut baik.
Ketiga, tindakan preventif. Selain mengadili koruptor, hal yang tak kalah penting adalah membangun perangkat-perangkat yang mampu mencegah siapa pun mencuri uang. Selain menuntut pengusutan kasus BLBI, ormas keagamaan mestinya juga berbincang tentang langkah-langkah strategis untuk budaya bersih korupsi.
Revolusi Imaniah
Para koruptor bukan tak tahu bahwa korupsi adalah dosa besar. Tapi, mereka beranggapan bahwa dosa bisa diampuni di tempat-tempat ibadah seperti gereja, masjid, pura, dan lain sebagainya. Tempat-tempat ibadah menjadi tempat pengampunan dosa. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan dalam semua agama, dosa tak bisa terhapus tanpa mendapat ampun dari yang dizalimi sekaligus mengembalikan hak-haknya.
Pandangan yang hanya menempatkan tempat ibadah sebagai tempat pengampunan membawa implikasi serius dalam kehidupan sosial. Orang-orang merasa lebih bebas melakukan hal apa pun yang diinginkan sambil membiarkan orang lain meratap dalam derita. Mereka kehilangan rasa iba terhadap rakyat kecil akibat pemahaman yang keliru.
Model keberagamaan yang seperti itu secara tidak langsung turut menyuburkan budaya korupsi di tanah air. Maka, selain tiga hal di atas, melakukan revolusi imaniah akan menjadi tawaran prospektif untuk memberantas korupsi. Revolusi imaniah yang penulis maksud adalah melakukan perubahan secara mendasar terhadap keberimanan dan keberagamaan kita.
Beragama dan bertuhan bukan hanya ditentukan oleh kuantitas ibadah seseorang. Pengertian Islam dan iman bukan hanya membaca syahadat dan melakukan ritual-ritual yang terkandung di dalamnya.
Lebih dari itu, beragama juga berarti meninggalkan kejahatan kemanusiaan seperti korupsi, pencurian, nepotisme, dan sebagainya. Dengan demikian, orang yang tak bersyukur terhadap nikmat yang didapatkan disebut Alquran sebagai orang kufur. Hal tersebut menunjukkan bahwa tak ada agama yang tak memiliki orientasi kemanusiaan.
Bahkan, Muhamad Imarah dengan tegas menyatakan bahwa teologi memang berasal dari Tuhan. Tetapi, teologi itu berorientasi pada kemanusiaan.
Karena sifat yang demikian, apa pun yang dilakukan oleh manusia, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan maupun antara sesama manusia, akan selalu dipertanggungjawabkan. Kiranya, penting untuk kita renungkan kembali sebuah anjuran moral bahwa setiap manusia bertanggung jawab pada diri sendiri sesuai dengan benih yang ditaburkan, begitulah buah yang Anda petik darinya. Pembuat kebajikan memperoleh kebajikan, pembuat kejahatan akan memetik penderitaan. Taburlah benih dan tanamlah kebaikan dengan baik. Anda akan memetik buah darinya (Samyuta Nikaya).
Alhasil, teologi akan menjadi kekuatan dahsyat untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan, termasuk memberantas korupsi. Itulah yang disebut Peter L. Berger (2003) sebagai "revolusi agama" (religious revolution). Maksudnya, agama dan agamawan mampu menjadi penggerak utama dalam menggerakkan perubahan sosial.
Abd. Muiz Ghazali, mahasiswa STIK An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep.

Tidak ada komentar: