Sabtu, 11 Juli 2009

“AGNOSTISISME” INTELEKTUAL”

“AGNOSTISISME” INTELEKTUAL”
oleh: Erinto Suamrdi
Saya kira tugas kesarjanaan memang bukanlah semata-mata ‘merawat’ tradisi yang sudah ada, atau menghafal apa-apa yang kita warisi dari para leluhur. Sebaliknya, membuka wilayah-wilayah baru dalam warisan yang sudah ada itu. Tanpa itu, dunia keilmuan tak akan berkembang. Tentu saja, usaha membuka hal-hal yang baru itu tidaklah mungkin jika semata-mata dilandasi oleh motif ideologis, yakni untuk membela posisi-posisi sosial-politik tertentu, atau bahkan agama tertentu.
Di suatu sore yang dingin, 30 November 2005 lalu, saya menghadiri “job talk”, semacam presentasi profesor yang sedang melamar suatu jabatan tetap sebagai tenured professor di sebuah universitas. Jabatan Professor of Islamic Studies di Department of Religion, Boston University memang akan segera kosong, ditinggalkan oleh Prof. Martin Schwartz, seorang ahli di bidang mazhab Hanbali, lebih khusus lagi Ibn al-Jauzi. Prof Martin mengedit, menerjemahkan, dan mengulas karya Ibn al-Jauzi, Kitab Akhbar al-Shifat.
Presentasi pertama diberikan oleh Dr. Kechia Ali, seorang ahli fikih dan murid Prof. Bruce Lawrence dari Duke University. Berbicara dengan tema “Marriage, Gender, and Ownership in Early Islamic Jurisprudence”, Kechia Ali mengulas tema yang sangat spesifik, yaitu kedudukan budak (riqq), terutama bagaimana hukum Islam menangani kasus perceraian dalam perkawinan budak. Tentu, isu kecil ini kurang begitu menarik pada dirinya sendiri, apalagi sebagai fakta sosial perbudakan dalam pengertian tradisional sudah tak ada lagi. Isu ini menarik karena dipakai oleh Kechia untuk melihat bagaimana hukum Islam berkembang dan berevolusi dari abad ke-2 Hijriah hingga masa-masa sesudahnya. Dia memakai Kitab al Mushannaf karya Abdurrazzaq al-Shan’ani sebagai bahan penelitian awal, kemudian beranjak ke karya-karya lain di lingkungan mazhab Hanafi.
Tentu, berita ini tak terlalu relevan dengan publik Indonesia. Apa artinya sebuah presentasi ilmiah yang dilakukan oleh para profesor yang sedang mencari “kerja”? Tetapi, usai mengikuti diskusi terbatas itu, saya tercenung memikirkan beberapa hal.
Pertama, semua yang disampaikan oleh Kechia Ali itu sudah saya ketahui semua, karena pernah saya pelajari di pesantren. Di pesantren dulu, pembahasan tentang budak yang umumnya secara khusus diulas dalam Kitab Ummahat al-Awlad, biasanya kurang menarik, karena sudah tak relevan dengan keadaan sekarang. Namun, di tangan Kechia, bahan-bahan ‘kuno’ itu menjadi sangat memikat. Saya kira, presentasi Kechia menarik bukan karena tema dan bahan yang dia olah. Sebaliknya, karena sudut pandang dan perspektif yang baru dan segar; karena dia memandang bahan kuno itu dengan lensa yang lain.
Saya kira tugas kesarjanaan memang bukanlah semata-mata ‘merawat’ tradisi yang sudah ada, atau menghafal apa-apa yang kita warisi dari para leluhur. Sebaliknya, membuka wilayah-wilayah baru dalam warisan yang sudah ada itu. Tanpa itu, dunia keilmuan tak akan berkembang. Tentu saja, usaha membuka hal-hal yang baru itu tidaklah mungkin jika semata-mata dilandasi oleh motif ideologis, yakni untuk membela posisi-posisi sosial-politik tertentu, atau bahkan agama tertentu. Syarat seorang sarjana dalam pengertian modern adalah dia harus “agnostik” secara intelektual. Maksudnya, dia tak boleh terikat oleh proyek untuk “mendakwahkan” kebenaran ideologi tertentu. Begitu “pamrih” ini menyelinap ke dalam kerja kesarjanaan, maka tidak bisa lain kecuali terjadi distorsi. Sebagai informasi, Kechia Ali bukanlah semata-mata seorang sarjana yang “dingin” dan “berjarak”, tetapi, dalam tingkat tertentu, dia juga seorang “aktivis” yang membela posisi “ideologis” tertentu. Ini terlihat dari kontribusi dia dalam Progresive Muslims yang diedit oleh Omid Safi, buku yang berisi kumpulan esai para intelektual Muslim yang membela suatu posisi Islam tertentu, yaitu posisi progresif. Tentu tak mudah bagi Kechia menjaga keseimbangan antara tuntutan dunia akademik di satu pihak, dan aktivisme politik di pihak lain. Saya melihat, sore itu, Kechia berhasil tampil penuh sebagai seorang sarjana yang melihat “fakta” secara agnostik dan berjarak.
Kedua, usai mengikuti presentasi yang sangat memikat itu, saya lalu ingat Indonesia: mungkinkah hal serupa terjadi di sana? Mungkinkah studi Islam di Indonesia berkembang lebih baik, karena para sarjana yang terlibat di sana mampu bersikap “agnostik” dan berjarak dalam menghadapi bidang studinya, sehingga bisa membuka sejumlah horison baru?
Sebagai informasi, Kechia Ali sedang menggarap dua proyek. Pertama, yang sudah nyaris rampung, menulis sirah Nabi dengan pendekatan “gender studies”, dengan judul Muhammad as Husband. Yang kedua, yang sedang dikerjakan, biografi Imam Syafii, tentu dengan pendekatan baru. Selain itu, Kechia juga telah merampungkan proyek lain tentang etika seksual dalam Islam, dan akan terbit Maret tahun depan oleh penerbit di Oxford, OneWorld.
Tema-tema yang digarap Kechia itu, tentu, tak asing bagi sarjana Islam di Indonesia. Semua orang membaca sirah Nabi, membaca karya-karya Imam Syafii. Tetapi, pertanyaannya, kenapa di tangan dia, bidang studi yang sudah kita anggap basi itu menjadi begitu menarik? Saya kira, salah satu kata kuncinya adalah etos “agnostik” yang berkembang dalam tradisi akademik di Barat. Etos itu memungkinkan seseorang untuk mengambil jarak kritis terhadap tradisi yang ada, seraya mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pembacaan yang baru.
Kata “agnostik” di sini harap tidak dikaitkan dengan istilah ilhad dalam bahasa Arab. Menjadi agnostik dalam dunia akademik berarti bahwa anda siap mengosongkan diri dari pendapat dan predisposisi tertentu saat menghadapi objek yang sedang anda kaji. Anda terjun di sana bukan dengan “kesimpulan” yang sudah jadi, tetapi dengan pikiran kosong yang secara kritis mencoba membangun kesimpulan akhir berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Itulah agnostisisme intelektual, dan itulah prasyarat penting bagi seorang sarjana.
Di lingkungan kita, terutama di lingkungan akademik Islam, etos yang berkembang tampaknya lain sama sekali, yaitu etos yang, meminjam istilah Prof. Naguib Alatas dari Malaysia, disebut restatement atau taqrir. Yakni, etos mengulang sesuatu yang sudah ada dalam tradisi. Oleh karena itu, ukuran kesuksesan dalam tradisi akademik, terutama di lingkungan perguruan tinggi Islam, adalah kepersisan. Makin persis apa yang anda pikirkan dan tuliskan dengan apa yang ada dalam tradisi, makin suskes jalan anda sebagai seorang sarjana. Begitu anda membuka horison “lain” dan kemudian sampai kepada kesimpulan yang “berbeda” maka anda akan berhadapan dengan tembok tradisi.[]

Tidak ada komentar: