Selasa, 16 Juni 2009

SDM, PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN DAN KITA


SDM, PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN DAN KITA

Sumber Daya Manusia, istilah ini menjadi populer dalam dunia pendidikan diawali sejak Wardiman Djojonegero menjadi menteri pendidikan di zaman Orba, padahal sebelumnya istilah ini lebih banyak dipakai dalam dunia Ekonomi saja, dan menteri-menteri sebelumnya tidak pernah menggunakannya dalam dunia pendidikan. Selanjutnya, setelah KTT APEC (1994) SDM diiringi kata lain seperti: Unggul, Nilai, Kompetensi, Kompetisi, Daya Saing dan Pasar.
Dari peralihan inilah, terjadi adanya reduksi besar-besaran dari konsepsi pendidikan yang diusung oleh Kihajar Dewantara bahwa pendidikan adalah sebagai upaya memerdekakan manusia. Konsepsi manusia yang ada dalam istilah SDM pun jauh berbeda dari apa yang diungkap oleh Paulo Freire, bahwa manusia adalah incomplete dan unfinished beings, artinya ada kemampuan manusia untuk merubah nasibnya dan makna yang tidak akan pernah berhenti terhadap batasan akan hakikat manusia seutuhnya. Atau dalam kata lain, adanya penekanan bahwa pendidikan adalah proses dan selalu melakukan dekonstruksi, sehingga tidak terjajah terus-menerus dan terlena oleh alur realitas.
Apa yang diusung oleh Paulo Freire maupun Kihajar Diwantara memang tidak lain adalah “Pendidikan Yang Membebaskan”, sebuah idealitas pendidikan yang mendambakan penghargaan akan keutuhan manusia, saat dimana manusia memang benar-benar dimanusiakan. Hal ini berbeda dengan yang Indonesia jalani sekarang, konsepsi SDM yang melakukan penyeragaman terhadap bentuk-bentuk manusia, pembatasan manusia yang tercipta seolah-olah hanya untuk menjalankan sistem yang sudah ada, pabrik-pabrik yang disediakan, jabatan-jabatan yang sudah dibuat, bahkan hingga menjadi PNS-pun menjadi mainstream tujuan menempuh dunia pendidikan.
Mari melihat realitas terdekat, kampus. Apa yang sebenarnya kampus inginkan terhadap proses pendidikan yang dijalaninya? Terdapat beberapa hal dalam dunia kampus yang belum mencerminkan pendidikan yang memanusiakan manusia, kampus kemudian menjadi sebuah tempat penataran bukan pembangunan daya pikir dan tindak yang kritis. Kita tengok saja FISIP, sebagai fakultas yang notabene identik dengan mahasiswa kritisnya, ternyata masih ada dosen yang anti kritik.
Dan alangkah lebih baiknya jika mahasiswa tidak mengikuti gaya diatas. Semisal dengan adanya sikap yang inklusif dan tidak membatasi literature yang ditekuni. Bayangkan jika UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), seperti lembaga dakwah kampus dan lainnya membatasi kajian terhadap literature lain dan membatasi perkaderan dengan merekrut orang-orang yang sefaham saja, tentulah hal ini tidak jauh beda dengan yang namanya penataran, bagaimana mungkin akan terjadi proses dekonstruksi jika public sphere tidak tercipta, tidak adanya proses dialektika pada setiap perbedaan yang ada. Paling yang ada hanyalah penataran pemahaman yang ada ke generasi selanjutnya. Tentulah ini tidak jauh berbeda dengan konsep sempit manusia yang diterjemahkan SDM, mereproduksi ulang yang ada, mencipta manusia demi menjalankan sistem yang sudah disediakan sebelumnya.
Secara radiks, konsepsi SDM dalam pendidikan berarti merampungkan konsepsi manusia secara teleologis, artinya pengkajian manusia selesai pada peran-peran yang telah dirijitkan oleh sistem pendidikan. Oleh karena itu janganlah kemudian kita alpa untuk menyikapi ini secara radikal, jangan terlalai seakan-akan konsepsi SDM hanya pada saat pendidikan yang berorientasi pada pasar ekonomi saja, namun perlu diperhatikan secara menyeluruh dalam tiap-tiap sendi pembelajaran. Jangan-jangan model belajar dan mendidik kita diberbagai segi kehidupan kampus secara tidak sadar melakukan seperti dalam konsepsi SDM, menyempitkan makna manusia, mereproduksi ulang yang ada dan sembari melakukan penyeragaman
http://eljudge.co.cc/sdm-pendidikan-yang-membebaskan-dan-kita.html

Tidak ada komentar: