Senin, 15 Juni 2009

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN HABITUS

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN HABITUS
oleh :Erinto Sumardi

Melalui artikel “Simpul Perubahan Habitus” (Kompas, 23/3/2007), Haryatmoko mengangankan praktik pendidikan yang mampu menciptakan “lingkungan budaya” guna mengubah habitus (kebiasaan) buruk, korup, mentalitas jalan pintas, dan politik uang.
“Perubahan habitus mengandaikan pendidikan yang membuat banyak anggota masyarakat mengadopsi kesadaran refleksif yang menempa kemampuan untuk membuka simpul-simpul pengikat praktik-praktik sosial lama,” tulisnya.
Gagasan itu memancarkan optimisme. Pertama, pengikisan kebiasaan, yang secara kolektif telah membudaya tetapi buruk menurut norma masyarakat demokrasi, dilakukan melalui penciptaan habitus baru yang bertumpu kesadaran refleksif individu.
Kedua, penciptaan sikap-mental baru itu hendak disandarkan pada proses pendidikan, yang dalam beberapa segi praktik formalnya di Indonesia saat ini justru masuk bagian habitus lama yang harus dirombak.
Pendekatan apa dalam praktik pendidikan yang dapat dijadikan pintu masuk penumbuhan kesadaran refleksif.

“Oxymoron”?
Di Indonesia hari ini, upaya membangun habitus yang bertumpu individualitas boleh jadi merupakan gagasan kontradiktif dalam dirinya, atau oxymoron.
Masyarakat kita cenderung memegang “kepatutan umum”, alih-alih refleksi kritis, sebagai pijakan perilaku. Aneka ungkapan “biasanya begitu”, “orang lain juga melakukan”, “nggak enak dengan tetangga” menggambarkan ketergantungan individu terhadap “nilai-nilai kepatutan umum” yang telah dipegang teguh sebagai dasar perilaku.
Tentang sinyalemen praktik korupsi di institusi kerjanya, misalnya, seorang pegawai muda kantor bea cukai berkata “you either join the club of corruptors and get rich, or you stay honest and spend your entire career as a clerk in the tax office’s library” (The Jakarta Post, 10/12/2004).
Orientasi pada kolektivitas memangkas kesadaran kritis individu atas konteks perilaku. Kebutuhan untuk “menjadi bagian kumpulan” dianggap bentuk solidaritas, pemberi rasa aman dan kenyamanan. Sementara sikap kritis individu sering menyebabkan keterkucilan.
Dengan habitus baru, kesadaran individu dikedepankan. Sikap dan perilaku individu diharapkan diresapi norma, nilai, dan kaidah hidup bersama demi terwujudnya kebaikan masyarakat (Haryatmoko, “Habitus Baru Melawan Korupsi”, Kompas, 13/1/2005).
Konsep perubahan habitus dilandasi asumsi, masyarakat kita beranggotakan “individu-individu otonom” (Doed Joesoef, Kompas, 24/8/2004) yang mandiri dan menafsirkan kerangka perilakunya sendiri tanpa intervensi kolektif masyarakat.
Selain itu, “aktor-aktor penjaga struktur” (pimpinan pemerintahan, komunitas adat, lembaga keagamaan, kelompok sosial) diandaikan bersikap netral terhadap individu yang memilih tidak mengadopsi kerangka perilaku yang digariskan pimpinan.
Konsep oxymoron karena, pertama, mengabaikan pemahaman dan kesadaran lokal masyarakat atas norma, kerangka sikap, dan perilaku sendiri. Ambil contoh, perilaku yang kini dikategorikan “korupsi” telah lama dipraktikkan masyarakat sebagai bentuk komunikasi sosial.
Merujuk pakar demokrasi pedesaan Prof Suhartono Wirjopranoto, pemberian upeti kepada penguasa yang kini dianggap tindakan suap telah dihidupi sebagai wujud kepasrahan rakyat yang justru dimaknai positif.
Di Jawa, pemakaian akronim bernuansa canda “spanyol” (separo nyolong alias sebagian mencuri) untuk menunjuk penyelundupan-sebagian kayu jati (Siswono Yudo Husodo, Kompas, 18/9/2004), menginsinuasikan minimnya penolakan masyarakat atas praktik tindakan itu.
Kedua, bukan rahasia, budaya panutan berakar kuat dalam tata sosial masyarakat Indonesia. Ucapan dan tindakan pemimpin dijadikan patokan berpikir dan berperilaku individu terpimpin. Perilaku individu terpimpin dianggap benar atau salah tergantung “koridor kebenaran” yang digariskan pemimpin.
Pintu masuk
Misi praktik pendidikan sebagai pintu masuk pembaruan habitus adalah mengangkat “simpul-simpul” kultural perilaku masyarakat dan menyodorkan kembali secara kritis. Seorang mahasiswa yang diingatkan karena memberitahukan jawaban soal ujian kepada rekannya berkata, “Menolong sesama adalah amal ibadah.” Mahasiswa itu jelas sedang tidak bercanda.
Agaknya masyarakat punya pemahaman variatif atas perwujudan nilai-nilai sosial. Dalam sejumlah kasus, konsep “praktik korupsi”, pemahaman itu berbenturan dengan kemauan negara.
Pengangkatan secara kritis “simpul-simpul” kultural mau menegaskan, praktik pendidikan harus mendorong masyarakat mencari kembali makna dan konteks perwujudan nilai-nilai itu dalam tatanan masyarakat baru.
Jika perubahan disposisi moral dan sikap hendak ditekankan, pertama-tama tertuju pada pemimpin, yang dirujuk orang lain sebagai tolok ukur sikap dan perilaku. Di sini diadopsi prinsip pedagogi Freirian. Pemimpin akan mencerahi terpimpin dengan mentalitas baru yang dikehendaki jika sang pemimpin meresapkan mentalitas itu dalam pengalaman hidupnya sendiri.

Tidak ada komentar: