Selasa, 16 Juni 2009

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN HABITUS


PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN HABITUS
oleh Agus Suwignyo
Melalui artikel “Simpul Perubahan Habitus” (Kompas, 23/3/2007), Haryatmoko mengangankan praktik pendidikan yang mampu menciptakan “lingkungan budaya” guna mengubah habitus (kebiasaan) buruk, korup, mentalitas jalan pintas, dan politik uang.
“Perubahan habitus mengandaikan pendidikan yang membuat banyak anggota masyarakat mengadopsi kesadaran refleksif yang menempa kemampuan untuk membuka simpul-simpul pengikat praktik-praktik sosial lama,” tulisnya.
Gagasan itu memancarkan optimisme. Pertama, pengikisan kebiasaan, yang secara kolektif telah membudaya tetapi buruk menurut norma masyarakat demokrasi, dilakukan melalui penciptaan habitus baru yang bertumpu kesadaran refleksif individu.
Kedua, penciptaan sikap-mental baru itu hendak disandarkan pada proses pendidikan, yang dalam beberapa segi praktik formalnya di Indonesia saat ini justru masuk bagian habitus lama yang harus dirombak.
Pendekatan apa dalam praktik pendidikan yang dapat dijadikan pintu masuk penumbuhan kesadaran refleksif.

“Oxymoron”?
Di Indonesia hari ini, upaya membangun habitus yang bertumpu individualitas boleh jadi merupakan gagasan kontradiktif dalam dirinya, atau oxymoron.
Masyarakat kita cenderung memegang “kepatutan umum”, alih-alih refleksi kritis, sebagai pijakan perilaku. Aneka ungkapan “biasanya begitu”, “orang lain juga melakukan”, “nggak enak dengan tetangga” menggambarkan ketergantungan individu terhadap “nilai-nilai kepatutan umum” yang telah dipegang teguh sebagai dasar perilaku.
Tentang sinyalemen praktik korupsi di institusi kerjanya, misalnya, seorang pegawai muda kantor bea cukai berkata “you either join the club of corruptors and get rich, or you stay honest and spend your entire career as a clerk in the tax office’s library” (The Jakarta Post, 10/12/2004).
Orientasi pada kolektivitas memangkas kesadaran kritis individu atas konteks perilaku. Kebutuhan untuk “menjadi bagian kumpulan” dianggap bentuk solidaritas, pemberi rasa aman dan kenyamanan. Sementara sikap kritis individu sering menyebabkan keterkucilan.
Dengan habitus baru, kesadaran individu dikedepankan. Sikap dan perilaku individu diharapkan diresapi norma, nilai, dan kaidah hidup bersama demi terwujudnya kebaikan masyarakat (Haryatmoko, “Habitus Baru Melawan Korupsi”, Kompas, 13/1/2005).
Konsep perubahan habitus dilandasi asumsi, masyarakat kita beranggotakan “individu-individu otonom” (Doed Joesoef, Kompas, 24/8/2004) yang mandiri dan menafsirkan kerangka perilakunya sendiri tanpa intervensi kolektif masyarakat.
Selain itu, “aktor-aktor penjaga struktur” (pimpinan pemerintahan, komunitas adat, lembaga keagamaan, kelompok sosial) diandaikan bersikap netral terhadap individu yang memilih tidak mengadopsi kerangka perilaku yang digariskan pimpinan.
Konsep oxymoron karena, pertama, mengabaikan pemahaman dan kesadaran lokal masyarakat atas norma, kerangka sikap, dan perilaku sendiri. Ambil contoh, perilaku yang kini dikategorikan “korupsi” telah lama dipraktikkan masyarakat sebagai bentuk komunikasi sosial.
Merujuk pakar demokrasi pedesaan Prof Suhartono Wirjopranoto, pemberian upeti kepada penguasa yang kini dianggap tindakan suap telah dihidupi sebagai wujud kepasrahan rakyat yang justru dimaknai positif.
Di Jawa, pemakaian akronim bernuansa canda “spanyol” (separo nyolong alias sebagian mencuri) untuk menunjuk penyelundupan-sebagian kayu jati (Siswono Yudo Husodo, Kompas, 18/9/2004), menginsinuasikan minimnya penolakan masyarakat atas praktik tindakan itu.
Kedua, bukan rahasia, budaya panutan berakar kuat dalam tata sosial masyarakat Indonesia. Ucapan dan tindakan pemimpin dijadikan patokan berpikir dan berperilaku individu terpimpin. Perilaku individu terpimpin dianggap benar atau salah tergantung “koridor kebenaran” yang digariskan pemimpin.
Pintu masuk
Misi praktik pendidikan sebagai pintu masuk pembaruan habitus adalah mengangkat “simpul-simpul” kultural perilaku masyarakat dan menyodorkan kembali secara kritis. Seorang mahasiswa yang diingatkan karena memberitahukan jawaban soal ujian kepada rekannya berkata, “Menolong sesama adalah amal ibadah.” Mahasiswa itu jelas sedang tidak bercanda.
Agaknya masyarakat punya pemahaman variatif atas perwujudan nilai-nilai sosial. Dalam sejumlah kasus, konsep “praktik korupsi”, pemahaman itu berbenturan dengan kemauan negara.
Pengangkatan secara kritis “simpul-simpul” kultural mau menegaskan, praktik pendidikan harus mendorong masyarakat mencari kembali makna dan konteks perwujudan nilai-nilai itu dalam tatanan masyarakat baru.
Jika perubahan disposisi moral dan sikap hendak ditekankan, pertama-tama tertuju pada pemimpin, yang dirujuk orang lain sebagai tolok ukur sikap dan perilaku. Di sini diadopsi prinsip pedagogi Freirian. Pemimpin akan mencerahi terpimpin dengan mentalitas baru yang dikehendaki jika sang pemimpin meresapkan mentalitas itu dalam pengalaman hidupnya sendiri.
Agus Suwignyo Alumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige Wetenschappen, Universitas Amsterdam
Dimuat Kompas, 3 April 2007 Pendidikan, “Jalan Baru” Kepemimpinan
Agus Suwignyo
Sebagai “jalan baru” kebangkitan bangsa, wacana kepemimpinan kaum muda perlu disambut untuk meneropong arah pendidikan di Indonesia.
Dalam 40 tahun terakhir, sistem pendidikan kita adalah produk kebijakan opresif Orde Baru (Orba). Sejauh mana sistem pendidikan opresif melahirkan kepemimpinan transformatif?

Politik kekuasaan sering digambarkan mendominasi arah pendidikan nasional melalui aneka kebijakan strategis, seperti kurikulum dan ujian nasional. Namun, sejarah Indonesia menunjukkan, para pendiri dan pemimpin awal bangsa lahir dan dibesarkan dalam alam pendidikan kolonial yang diskriminatif.
Artinya, dampak politik kekuasaan tidak selalu negatif terhadap hasil pendidikan. Meski demikian, dari sistem pendidikan Orba belum terlihat satu generasi pemimpin yang teruji ketangguhan dan integritasnya sebagai agen pembaruan bangsa.
Oleh karena itu, kemunculan pemimpin muda saat ini harus didorong bukan sebagai peralihan kekuasaan antargenerasi per se, tetapi cermin rekonsepsi arah pendidikan sekarang.
Perubahan masyarakat
Pandangan klasik melihat pendidikan sebagai alat reproduksi kelas sosial-ekonomi masyarakat (London, 2002; Fernandes, 1988; Labaree, 1986).
Seseorang memasuki jenis sekolah sesuai derajat sosial-ekonomi orangtua untuk memegang posisi tertentu dalam struktur kelas masyarakat tempat asalnya.
Pendidikan sebagai alat reproduksi kelas membuka peluang mobilitas sosial vertikal. Namun, sistem demikian tidak mendobrak struktur sosial yang menjadi akar penyebab timbulnya kelas-kelas masyarakat.
Pemikiran postmodern merombak pandangan itu. Melalui kajian radikal tentang aspek-aspek hubungan kekuasaan dalam pendidikan, para pedagog dan filsuf pendidikan kontemporer, seperti Caughlan (2005), Schutz (2004), Giroux (2000, 1981, 1980), dan Mangunwijaya (1999), menegaskan pentingnya pedagogi kritis dan transformatif.
Pendidikan ditantang melahirkan insan-insan unggul yang mampu membarui struktur sosial masyarakat agar lebih adil, terbuka, dan partisipatif.
Dalam konteks ini, k(p)emunculan pemimpin baru tidak memerlukan wacana karena pada dasarnya insan-insan hasil pendidikan kritis-transformatif memiliki kualitas kepemimpinan. Pemimpin menjadi sosok utama kumpulan insan unggul yang sama-sama bervisi menciptakan struktur sosial baru.
Pertanyaannya, adakah insan-insan unggul dengan karakter kepemimpinan kritis-transformatif terbentuk selama tiga dekade pemerintahan Orba?
Sama dan berbeda
Dalam hal intervensi terhadap pendidikan, kebijakan Orba mirip kebijakan kolonial. Praktik pendidikan disterilkan dari politik praktis. Kurikulum dan buku pelajaran tertentu disusun menurut versi politik pemerintah.
Seperti kolonial, gaya pemerintahan Orba menimbulkan resistensi kelompok-kelompok kritis terhadap dominasi kekuasaan. Kejatuhan Soeharto oleh aksi mahasiswa 1998 boleh disebut puncak perjuangan panjang aneka kelompok mahasiswa sejak Peristiwa Malari 1974.
Meski demikian, the aftermath perjuangan generasi muda yang dilahirkan sistem pendidikan kolonial dan Orba tampaknya berbeda sama sekali. Setidaknya selama dekade pertama pasca-Proklamasi 1945, Soekarno dan para “aktivis” kemerdekaan Indonesia relatif konsisten, committed, dan “kompak” menjalankan cita-cita kebangsaan. Perbedaan pandangan politik tidak menggoyahkan arah dasar perjuangan apalagi membuat mereka saling menjatuhkan demi kekuasaan.
Sementara itu, para aktivis 1998 (dan Malari) yang kini tersebar di partai politik, LSM, dan ranah publik tidak lagi menunjukkan komitmen perjuangan yang sama (Kompas, 6/11/2007). Cita-cita perubahan sosial, jika pernah mereka miliki, tampaknya melebur ke dalam kepentingan politik kekuasaan kelompok, tempat mereka bergabung.
Merujuk Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 6/11/2007), pemimpin yang muncul dikhawatirkan hanya sosok muda usia, bukan muda politis yang membawa kesegaran gagasan perubahan.
Pendidikan kepemimpinan
Perbandingan itu menegaskan, terbentuknya pemimpin tidak dapat diharapkan secara sambil lalu dari gelombang resistensi terhadap kekuasaan.
Alam kolonial dan Orba sama-sama hegemonik melahirkan dua generasi aktivis dengan ketangguhan komitmen pembaruan yang berbeda. Lebih dari itu, kita tidak mengharapkan hadirnya kekuasaan opresif untuk melahirkan pemimpin baru. Oleh karena itu, pemimpin dan kepemimpinan harus dibentuk dan disiapkan. Di sinilah proses pendidikan seharusnya berperan.
Sudah saatnya praktik pendidikan kita meninggalkan misi reproduksi kelas sosial. Pendidikan harus diarahkan untuk membuka pemahaman kritis dan pencarian alternatif atas keterbatasan struktur sosial dalam menciptakan masyarakat adil, terbuka, dan partisipatif.
Tanpa pendidikan yang memberi arah transformasi sosial masyarakat, 40 tahun ke depan kita akan dihadapkan pada problem yang sama tentang regenerasi kepemimpinan. Saat itu mungkin masih akan terdengar pernyataan naif, pendidikan kolonial lebih berkualitas daripada era Orba dan Reformasi. Atau, Soekarno dan Soeharto muncul sebagai pemimpin bangsa hanya karena wangsit dan keberuntungan.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam; Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru
(Kompas, 20 Nopember 2007)

Tidak ada komentar: