Jumat, 05 Juni 2009

SEKOLAH UNTUK PERUBAHAN
Oleh:Erinto Sumardi
Banyak orang berfikir bahwa sekolah adalah sarana utama mencapai sukses masa depan. Sekolah menjadi tumpuan menggapai cita-cita itu, walaupun untuk menggapai sekolah sampai taraf yang tinggi bukanlah hal yang mudah –khususnya bagi masyarakat miskin. Apapun akan dilakukan oleh banyak orang tua, bahkan dari keluarga miskin, agar anak-anaknya bisa meraih masa depan, yang lebih baik dari orang tuanya, dimana sekolah menjadi salah satu tambatan yang dipercaya.
Itu adalah cita-cita yang sangat mulia, tentunya. Cita-cita yang tidak hanya berdampak secara individu tetapi juga berdampak bagi kemajuan bangsa. Andai saja semua warga negara –tanpa kecuali mereka yang miskin– bisa mencapai sekolah tinggi, dalam arti pendidikan yang baik, kayaknya bisa diramalkan tentang kemajuan suatu bangsa. Indonesia, sebagai sebuah kumpulan bangsa-bangsa ataupun sebagai sebuah negara, akan mengalami kemajuan yang luar biasa seandaianya semua warga negara mendapatkan pendidikan yang tinggi –dan baik tentunya.
Namun kenyataan tidaklah selalu seiring sejalan dengan idealnya. Karena (1) kini sekolah semakin mahal biayanya. Tidak hanya bermodalkan kepandaian, yang terukur dalam nilai-nilai rapor dan UAN, untuk bisa masuk ke sekolah yang bagus, tetapi juga membutuhan uang yang cukup banyak. Mereka yang pandai dalam disiplin ilmu biologi dan fisika misalnya, tetapi tidak punya uang untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, nampaknya kepandaian itu –sebagaimana dikatakan sebagian orang– tidak akan berguna, kecuali bila ada yang mau memberikan beasiswa. Tetapi sebandingkah beasisiwa dengan jumlah orang demikian?
Tidak hanya itu, (2) meraka yang telah melewati level tinggi sekolahnya juga banyak yang tidak bisa mendapatkan cita-cita yang mereka inginkan. Misalnya, mereka yang bercita-cita menjadi abdi negara (PNS), ternyata tidaklah mudah karena harus bersaing dengan sekian banyak orang yang bercita-cita sama. Tidak cukup modal jiwa nasionalis untuk bisa duduk sebai abdi negara, melainkan harus bersaing dahulu dengan ratuan, bahkan kini ribuan orang yang juga menginginkan “posisi terhormat” sebagai abdi negara itu.
Demikian juga, banyak orang harus bersaing untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Tingginya angkatan kerja serta tidak memadainya lapangan untuk menapung mereka merupakan problem riil yang memupuskan cita-cita banyak orang terdidik. Memang sebuah problem yang konon susah dipecahkan serta susah dicarikan solusinya, namun, apapun alasannya, persoalan itu haruslah bisa ditemukan pemecahannya. Pemerintah bertanggungjawab untuk masalah ini (setuju?)
Selain dua realitas itu, (3) ada realitas lain yang nampaknya sering luput dari perhatian. Realitas itu terwujud dalam bentuk –misalnya– semakin sepinya kampung ditinggalkan oleh warganya. Tidak hanya meraka yang terdidik yang meninggalkan kampung, tetapi juga meraka yang sekolahnya rendah, atau bahkan tidak tamat sekolah dasar pun, banyak yang akhirnya ber-urban atau ber-imigran demi mencari sesuap nasi untuk bisa menyambung hidup di masa mendatang. Syukur-syukur lebih dari itu.
Sepinya kampung, apa hubungannya dengan sekolah?
Nampaknya tidak ada hubungan antara sepinya kampung dengan sekolah. Sepinya kampung adalah satu hal; sedang sekolah adalah hal lain. Atau bila ada hubungan, adalah hubungan sebab akibat dimana sepinya kampung adalah akibat dari adanya sekolah. Argumentasinya berikut ini.
Sekolah adalah media untuk meciptakan orang pintar. Kepintaran dalam masyarakat yang makin kapitalistik (indonesia makin kapitalis kah hari ini?) adalah –diakui atau pun tidak– capital untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, dimana kehidupan yang lebih baik itu terwujud dalam “kepunyaan pekerjaan yang layak sesuai dengan sekolahnya” yang ujungnya adalah kehidupan ekonomi yang cukup untuk menyambung hidup.
Situasi kampung hampir tidak memungkinkan kalangan terdidik untuk bisa hidup disana. Bukan kesalahan si orang terdidik jika tidak bisa hidup di kampung, melainkan karena memang situsi sosial, ekonomi dan budaya –disadari atau tidak– makin tertata demikian. Hidup di kampung dalam kontek ini bukan dalam arti semata tinggal di kampung, melainkan tinggal dan bekerja di kampung. Nampaknya semakin sedikit, atau malah hampir tidak ada ya?, orang terdidik mau menjadi –misalnya– petani, apalagi dengan kepemilikan lahan yang semakin sempit.
Karenanya tak heran bila –seperti telah disinggung di atas– banyak orang terdidik, dan sebenarya juga hampir kebanyakan orang, lho– yang akhirnya hijrah ke kota, dan konsekuensinya adalah sepinya kampung. Ini adalah realitas yang –diakui atau tidak– makin nyata kita lihat di banyak perkampungan.
Lho, apa hubungannya sekolah dengan sepinya kampung?
Terhadap pertanyaan itu, saya baru bisa membayangkan bila pendidikan, dalam hal ini “penidikan = sekolah”, berorietasi pada pembangunan masyarakat kampung, bisa jadi situasinya berbeda. Sekolah berorientasi pada pembangunan masyarakat kampung bukan terwujud dalam bentuk, misalnya, sekolah pertanian dengan alasan karena kampung adalah –sebagian besar masih— merupakan masyarakat yang berpenghasilan petani. Bukan pula sekolah dalam arti semisal STPMD (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa) Yogyakarta.
Tetapi sekolah pada umunya, yang kurikulumnya memberikan inspirasi bagi peserta didik untuk mampu merubah tatanan kampung menjadi area yang pada satu sisi menyenangkan, sedang pada sisi lain, bisa menghidupi warganya. Ini nampaknya mustakhil, tapi bukankah “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum bila kaum itu tidak mau merubah sendiri?” Dan, sekolah –sebagi laboraorium kepintaran yang sampai kini masih dipercaya banyak orang– seyogyanya menjadi alat untuk itu.
Saya kira, gagasan yang sering saya dengar tentang kurikulum yang berbasis kearifan lokal itu bisa berfokus pada pembangunan ini. Hanya saja, siapa yang akan memulai? Siapa ang akan melaksanakan? Dan adakah orang tua –dalam masyarakat yang makin kapitalistik ini– yang mau mensekolahkan anak-anaknya di sekolah macam demikian?
Marilah kita bereksperimen!

Tidak ada komentar: